berita dan cerita kejahatan

Furinkazan

11 Februari 2004
Korban pertama. Sosok laki-laki ditemukan tidak bernyawa di dalam mobil yang terparkir di dalam garasi rumahnya sendiri. Kondisi mobil saat itu dalam keadaan AC dan mesin mobil menyala. dan saat ditemukan kondisi korban mengenaskan dengan kepala terbungkus plastik dan direkati lakban hitam. Kematian korban selain disebabkan luka bekas jeratan tali, diperkuat dengan kondisiorgan dalam saluran napas paru-paru dan jantung menghitam. Ditemukan pula luka bekas ikatan di tangan kanan dan kiri korban. Setelah diperiksa, ternyata korban bernama Midi, laki-laki berumur 38 tahun. Korban sehari-hari menjadi ustadz kondang yang ceramah di sekitar Kota Semarang.
19 Februari 2004
Korban kedua. Sesosok laki-laki tanpa identitas ditemukan mengambang di Pinggir Sungai Citarum sekitar pukul 07.30 Pagi. Mayat tanpa identitas ini ditemukan warga mengenakan baju berwarna hitam dan celana jeans, yang diperkirakan korban berusia 25-30 tahun. Di tubuh korban yang terikat ditemukan batu di dalam tas ransel yang dipakai korban yang diduga digunakan sebagai pemberat untuk menenggelamkan tubuh korban.
23 Februari 2004
Korban ketiga. Kebakaran hebat terjadi di salah satu rumah mewah kosong di kawasan kampung Pucang. Kebakaran rumah terjadi saat padam aliran listrik. Kebakaran itu baru diketahui setelah api sudah meliputi halaman belakang rumah dan atap. Awalnya polisi mengutarakan bahwa tidak adanya korban jiwa dalam kebakaran ini dikarenakan rumah itu sudah kosong ditinggal pemiliknya selama 1 bulan ke luar negeri. Namun, saat polisi mengevakuasi tempat kejadian keesokan harinnya dari puing-puing ruang tidur dibelakang rumah ditemukan sesosok mayat yang sudah gosong. Polisi kesulitan untuk mengidentifikasi korban dikarenakan tubuhnya yang telah hancur. Namun dipastikan mayat adalah laki-laki.

Perkenalkan aku Mahesa, detektif kepolisian yang baru saja dipindah tugaskan di kampung Pucang sebulan yang lalu tapi sudah harus menghadapi 3 kasus pembunuhan yang sadis serta misterius. Terdapat kesamaan dalam kasus ini yaitu korbannya semua adalah berjenis kelamin laki-laki. Korban 1 dan 2  merupakan ustadz yang dikenal oleh masyarakat. Korban 1 dan 2 ditemukan sama-sama terikat dengan tali berwarna hitam. Dugaan sementara ini merupakan pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seseorang. Anehnya, berkembang mitos di masyarakat bahwa segala kejadian ini berkaitan dengan hantu “Tek” yang sedang mencari mangsa. Kepercayaan seperti inilah yang kemudian membuat kami jajaran kepolisian sulit untuk mengungkap kasus yang ada. Setiap bertanya pada masyarakat pasti sebagian besar menjawab
“Mas mau nyari pelakunya? Yakin mas? Mending ga usah mas, susah! Palingan juga “Tek” sedang nyari mangsa” kebanyakan itu yang akan didapatkan kalau nanya sama sesepuh desa di sekitar kampung. Untungnya ga semuanya punya pikiran begitu, perkembangan zaman yang sudah modern menjadikan beberapa warganya pun bersikap kritis. Tapi biasanya kalangan menengah yang punya televisi di rumah dan pendidikannya lulus dari SD. Hantu “Tek” diperccaya merupakan titisan dari orang Jepang yang ingin membawa keluarganya untuk pindah bersama mereka di alam yang lain.
Pak Tatoi, salah satu marbot masjid di sana pernah bercerita kepadaku kalau dulunya kampung ini itu adalah kampung orang-orang Jepang. Bahkan banyak yang saling menikah dan punya keturunan kemudian membangun rumah disini, seperti keluarga Mbah Katu, kakek dari Pak Midi yang merupakan salah satu keluarga yang memiliki keturunan Jepang. Hantu “Tek” digambarkan sebagai sosok yang tinggi hitam, dan berpakaian hitam-hitam membunuh orang. Namun, sekali lagi kebanyakan warga percaya bahwa itu adalah makhluk halus yang tidak bisa ditangkap oleh siapapun. Dalam kepolisian, hal seperti ini dalam masyarakat sering terjadi tapi secara rasional kami tidak percaya dengan makhluk halus yang membunuh manusia dengan cara mengikat dan segala macamnya. Aku selalu percaya bahwa ini adalah perbuatan manusia yang di dalamnya ada niat buruk yang tiba-tiba hadir.
3 Maret 2004
Hari ini aku berfikir untuk jalan-jalan di sekitar desa. Kasus 3 pembunuhan berantai itu membuatku pusing, hanya ada sedikit petunjuk dan pelakunya bahkan mengemasnya dengan rapi tiap kejadian. Hanya ada satu kesamaan yang selalu ada di TKP yaitu baju ataupun accecoris yang ada pasti menyimbolkan suatu huruf tertentu. Di korban pertama ada tulisan “Gaha” yang ditulis dalam bahasa Jepang pada kaca spion mobil sebelah kanan. Sedangkan korban kedua menggenggam sebuah kertas yang bertuliskan “Ara”. Dan yang ketiga, ditemukan dilemari sebelah tempat tidur korban yang tidak  terbakar tulisan “Mika” seperti digores dengan menggunakan pisau. Jika digabung akan terbentuk kata Gaha-Ara-Mika. Kata ini sudah aku cari di internet pun tak ada kata-kata yang dimulai dengan hal tersebut. Sore itu aku berjalan jalan menuju hutan jati yang ada di tengah desa bersama Aldi. Ia adalah anak kepala desa Pucang, perawakannya tinggi sekitar 170an dan berkulit gelap. Aldi baru pulang dari kota, setelah di PHK menjadi buruh pabrik rokok. Ia kembali ke kampungnya untuk meneruskan ayahnya menjadi kepala desa.
Sore itu aku diajak untuk melihat benteng peninggalan Jepang yang berada di dalam hutan. Letaknya jauh turun ke sebuah lembah sehingga saya harus hati-hati menuruni setapak tanah seadanya yang tertutupi guguran dedaunan jati. Ini pertanda jarang terlewati, jarang terambahi. Ternyata benteng ini adalah benteng untuk penyimpanan logistik senjata dan amunisi. Oleh karena itu letaknya pun seluruhnya terpendam di dalam tanah. Juga tidak menghadap ke laut agar logistik terlindungi apabila ada serangan langsung musuh dari laut.
“Ini namanya benteng Takeda Shingen, benteng sudah berumur kurang lebih 7 dasawarsa dan masih saja terlihat kokoh. Benteng ini dibangun menggunakan nama kepala desa saat itu, Takeda Shingen yang dikenal sebagai kepala desa yang bijaksana dan menjadikan kampung Pucang ini sebagai salah satu penghasil kayu jati di Indonesia. Oleh karena itu saat masa pembantaian terhadap orang-orang Jepang tiba, Takeda Shingen menggunakan benteng ini bersembunyi bersama keluarganya dan membawa beberapa barang pribadinya.” Ujar Aldi memulai cerita tentang benteng ini.
Walaupun umurnya sudah 7 dasawarsa lebih namun bangunan ini terlihat kokoh dan kuat. Di bagian luar tembok benteng menghitam karena pengaruh cuaca. Ketika mengelilingi benteng, saya berfikir kenapa ada selokan di dekat benteng ini
“itu selokannya namanya lograk, yakni parit-parit yang menghubungkan antar benteng. Jika terjadi serangan, lograk ini menjadi jalan para serdadu Jepang dari satu benteng ke benteng lain sekaligus sarana pertahanan terhadap musuh. Lograk didesain untuk menyerang tetapi musuh tak tahu dari mana diserang karena tersembunyi di tanah.” Jawab Aldi. Ternyata ia tahu apa yang ingin saya tanyakan. Tak terasa kita sudah berjalan mengelilingi benteng. Aku dan Aldi sudah sampai diujung benteng, disebelahnya terdapat semacam prasasti yang terbagi menjadi 4 kotak. Tiap kotak terdapat gambar. Saat aku memegangnya Aldi melanjutkan bercerita tentang apa ini
“itu istilah orang Jepang namanya Furinkazan, semacam strategi Perang zaman Jepang. Secepat angin, setenang hutan, seganas api, dan sekokoh gunung.” Tutur Aldi menjelaskan
“Pak Takeda juga yang menciptakan strategi ini?” tanyaku penasaran
“Kalo ini mah strategi perang yang terkenal dari Sun Tzu” Jawab Aldi. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Apa mungkin pelaku kejahatannya satu orang yang sama dan membunuh 3 orang? Apa jangan-jangan pelakunya menggunakan strategi Furinkazan ini?
“mikir apa Hes?” tanya Aldi kepadaku.
“kasus pembunuhan itu, apa mungkin hal itu berkaitan dengan strategi ini? Korban yang tewas terbakar bisa digambarkan jadi simbol api. Dan mayat yang ditemukan di sungai bisa disimbolkan dengan gunung karena posisinya kaku dan tegak berdiri, persis seperti apa yang dimaksud dengan kokoh.” Jawabku menjelaskan pada Aldi
“berarti pak Midi bisa diibaratkan dengan setenang hutan karena ia berada di garasi rumah yang kondisinya tenang seperti hutan? Kata Aldi penasaran.
“itu bisa jadi, atau pak Midi menjadi secepat angin? Tapi aku masih tidak tau apa relevansinya kalau itu” jawab aku sambil menggaruk kepala.
Kringggg...... bunyi nada pemberitahuan whatsapp ku berbunyi.
Pak Jendral: pengidentifikasian korban di sungai telah diketahui. Namanya Amri, dia bekerja sebagai guru TPA di kampung Sari, Demak. Sosoknya dikenal ramah, rajin dan penyayang pada anak-anak. Dia hidup sendiri di rumahnya. Berdasarkan keterangan saksi yang melihatnya terakhir kali, Amri meliburkan TPA yang ia kelola selama tiga hari karena ia berpesan pada muridnya, bahwa ia akan mengunjungi saudaranya yang sakit di Kota. Ia meninggalkan rumahnya tepat pada saat Midi ditemukan tewas yaitu 11 Februari. Seminggu kemudian tidak kembali ke kampungnya, Amri yang tinggal seorang diri pun tidak dicari oleh keluarganya. Tetangga sekitar menyangka bahwa Amri masih mengunjungi saudaranya di Kota.
Pak Jendral: Korban ke3 yang ditemukan hangus di rumah  di jalan Sun merupakan seorang Ustadz Muallaf dari kampung sebelah, kampung Anom. Ia diketahui bernama Kansuke, setelah memeluk islam berganti nama menjadi Muhammad Ilham. Berdasarkan keterangan istrinya, ia masuk islam dikarenakan ingin menikahi istrinya. namun sudah 5 tahun menikah mereka belum dikarunia anak, sehingga akhir-akhir ini sering terjadi cekcok apalagi dengan berkurangnya job pekerjaan sebagai ustadz . Berdasarkan keterangan Maimun istrinya, Ilham meninggalkan rumah pada Rabu siang untuk pamit mengisi ceramah di Kota. Ilham berangkat sendiri menggunakan mobil, dan itu terakhir kalinya Maimun melihat Ilham, karena malamnya Ilham sudah ditemukan tewas terbakar di dalam rumah.
“Hes, pulang yuk kita. Udah mau maghrib” Aldi menepuk pundakku dan mengajakku pulang.
“Yuk deh, udah puas liat hutan dan bentengnya. Nambah pinter deh aku ini karena kamu, Di. Makasih lho ya sharing ilmuya” ujarku sambil menutup whatsapp grup tersebut dan berjalan pulang.
Sesampainya di kamar, selepas shalat maghrib aku langsung mencari artikel mengenai Furinkazan di internet. Api. Gunung. Angin. Hutan. Jika memang ini benar maka korban ke 4 akan ada hubungannya dengan angin, tapi apa? Kalau pak Ilham diibaratkan Api karena ia terbakar maka apa hubungannya dengan huruf Mika yang ada ditangannya. Saat sedang mencari, aku mengetik keyword “Takeda Shingen” untuk mengetahui lebih lanjut benteng tua yang unik di dalam hutan itu. Ah! Ya. Takeda merupakan orang yang ahli perang dan........ salah satu nama perangnya adalah Mikatagahara. Ya, kata-kata misterius yang ditemukan itu berarti salah satu peperangan yang diikuti oleh Takeda. Lalu korban selanjutnya pasti akan menulis huruf Ta. Tapi apa cluenya disini? Itu ga menunjuk kesatu orang. Aku mulai berfikir keras. Sambil terus mencari di internet. Aku melihat gambar pasukan sebuah kastil yang sepertinya aku pernah melihatnya. Ah tapi dimana. Dan kenapa semua korban yang terbunuh merupakan orang yang alim seperti ustadz Midi, Ustadz Ilham dan Pak Amri. Apakah mereka mempunyai kesamaan? Kembali ku ketik nama ustadz Midi untuk mencari beberapa foto yang mungkin bisa menghubungkan mereka bertiga.
Dan, kau tau apa yang ku temukan? Terdapat foto Ustadz Ilham, Ustadz Midi, Pak Amri, Pak kepala desa, dan Pak Tatoi. Tiba tiba aku merasakan pula benda dingin berada di kepalaku.
“kau sudah tau, kalau aku pelakunya?” Ujar pak Tatoi sambil mengarahkan moncong pistolnya ke kepalaku. Tangan kirinya kemudian mengarahkan ke pada layar monitor yang kemudian memperbesar foto yang tadi aku buka. Ah iya, dalam foto itu mereka terlihat akrab dan tersenyum bersama. Dan Mikatagahara, huruf yang hilang adalah huruf Ta. Dan itu ada pada pak Tatoi
“mayat kepala desa sudah ada di hutan, di pinggir dekat kau duduk tadi sore dekat benteng. Kau jadi orang pertama yang kuberitahu, tapi kau tidak bisa jadi orang pertama yang beritahu hal ini ke orang lain haha” tawa pak Tatoi semakin keras. Clue selanjutnya adalah hutan, ya bukan angin. Karena ustadz Midi terbunuh dalam kondisi mobil masih menyala dan artinya AC pun menyala yang mengartikan itu angin. Ah kenapa aku tidak menyadari itu sejak awal. Dan juga semua pembunuhan terjadi saat listrik padam.
“mikir apa kamu Mahesa? Mau jadi sok pinter lagi? Mau jadi kayak mereka?” tunjuk pak Tatoi pada foto-foto itu.
“mereka semua pembohong, mereka hanyalah orang-orang licik yang menjual tanah rakyat untuk diri mereka sendiri. kau tahu itu? Hah! Detektif sepertimu tidak akan tahu hal ini. ku beritahu yaa, mereka menjual tanah hutan disana kepada pemerintah untuk dijadikan perumahan. Padahal tanah itu milik nenek moyang kami ber5. Harusnya itu semua dibagi rata bukan? Tapi apa? Aku tidak dapat sepeser pun! Tanggal 5 Februari kemarin mereka semua menandatangani kesepakatan tersebut. Puluhan milyar siap turun ke tangan mereka. Tapi aku? Aku hanya marbot masjid yang tidak mereka anggap. Padahal aku saudara mereka. Ah kau jadi tau segalanya Mahesa, nanti mulutmu itu akan bocor pada orang-orang kampung bukan?”
DOR! Tiba tiba dapat kurasakan peluru menembus tubuhku, dapat kudengar desingnya lewat disamping telingaku. Aku pun jatuh ke lantai kamarku. Ku lihat Pak Tatoi tertawa terbahak-bahak. Pandanganku mulai memudar, yang kurasakan saat itu adalah adanya benda dingin itu ditanganku, dibantu dengan tangan pak Tatoi pistol itu mengarahkan moncongnya ke kepala pak Tatoi. Dan DOR! Pak Tatoi pun tergeletak di lantai. Ya, Pak Tatoi membuat ini seolah seperti pembunuhan yang aku lakukan terhadapnya.

Sekian.

Komentar

Postingan Populer