Psikologi Kriminal

BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan majunya perkembangan zaman maka semakin tinggi pula kriminalitas yang ada dalam masyarakat. Perkembangan ini menimbulkan berbagai bentuk kejahatan yang berkembang semakin beragam bentuknya. Setiap hari kita mendengar dari media massa pemberitaan mengenai berbagai tindak kejahatan baik itu pembunuhan, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tanga. Peristiwa ini menunjukkan perlaku agresif  dalam masyarakat menujukkan peningkatan kualitas, dengan arti hingga mengorbankan nyawa orang/diri sendiri (Sarlito, 2009). Kejahatan kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam masyarakat yang perkembangannya semakin beragam baik motif, sifat, bentuk, intensitas maupun modus operandinya. Sebagai suatu kenyataan sosial masalah kriminalitas ini tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga menimbulkan keresahan karena kriminalitas dianggap sebagai suatu gangguan terhadap kesejahteraan masyarakat serta lingkungan-nya.
Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual yang merupakan salah satu bentuk kejahatan kekerasan, bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong di bawah umur (anak-anak). Kejahatan kekerasan seksual ini juga tidak hanya berlangsung dilingkungan perusahaan, perkantoran, atau ditempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan keluarga (Gosita 1993 : 77). Dalam beberapa tahun terakhir ini, pelaku kejahatan seksual menjadi fokus perhatian bagi sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana juga yang mengelola pelaku kejahatan seksual mengenai bentuk penghukuman seperti penahanan, pengawasan masyarakat, dan perawatan khusus (Knopp, Freeman-Longo dan Stevenson, 1992).



BAB II
ISI

Penyimpangan seksual merupakan substitusi dari relasi kelamin heteroseksual yang biasanya bersifat kompulsif, dan menetap. Karena itu disfungsi seksual dan penyimpangan seksual itu merupakan satu aspek dari gangguan kepribadian dan penyakit neurotis yang umum. Pada seseorang mungkin terdapat penyimpangan seksual yang majemuk, sekalipun salah satu dari deviasi tersebut bersifat dominan. Misalnya gejala fetishisme dan ekshibisionisme biasanya akan bersamaan dengan tingkah laku homoseksual; ataupun homoseksualitas dan biseksualitas dapat bersamaan dengan heteroseksualitas yang memuaskan (Kartono 1989, 272). Beberapa perspektif penyimpangan yang menjelaskan penyebab kondisi sosial yang mendasari penyimpangan hingga membuat kejahatan terjadi:
  1. Perspektif biologis
Perspektif biologis menentukan posisi berlawanan dengan aspek psikologis dan teori sosiologis perilaku manusia. Teori ini mempengaruhi asal mula kejahatan dalam banyak hal seperti ciri-ciri warisan genetik, hormon, tipe tubuh, neuropsikologis (otak), komposisi jaringan tubuh kimia, variasi dimensi fisik lainnya. Berbagai pengamat juga menjelaskan tentang kriminalista berdasarkan tipe tubuh, patologi otak dan anomali kromosom (Brennan, Mednick, dan Volavka, 1995 dalam Clinard, 2008).  Jadi berdasarkan perspektif ini kejahatan memiliki penyebab biologis yaitu berupa adanya refleksi dari dorongan seksual yang tinggi di dalam diri individu.
2.      Perspektif psikodinamika
Dalam perspektif ini terdapat 2 sebab yaitu id,ego, dan superego yang bertentangan dan pengalaman masa lalu pada diri individu. Psikodinamik menekankan, bahwa kondisi penentu pada tingkah laku seksual yang menyimpang itu sudah diletakkan pada pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak yang sangat muda. Hal ini menjadi suatu keberlanjutan yang dimodifikasi dari seksualitas masa kecil (Clinnard, 2008: 74). Fantasi menyimpang kemudian merepresentasikan usaha untuk menguasai trauma pada masa kecil. Hal ini kemudian yang menyebabkan displace objek atau korban menjadi yang ada pada saat ini. contohnya, pada masa lalu memiliki permusuhan terhadap ibunya sehingga ditularkan terhadap masa kini yang melakukan pemerkosaan terhadap perempuan yang ada. Sedangkan psikoanalitik mengasumsikan bahwa di dalam diri individu terdapat id, ego dan super ego. Hal ini menurut Freud dimana id seringkali bertentangan dengan ego dan superego beroperasi secara sadar menengahi konflik. Hal ini yang kemudian apabila superego tidak bertindak secara tepat maka menjadikan suatu bentuk penyimpangan.
3.      Perspektif pembelajaran
Teori-teori belajar menekankan pada masalah pengalaman-pengalaman belajar sosial. Jadi pola tingkah laku menyimpang ini dipelajari, atau buah dari proses belajar. Kegiatan imitasi dan identifikasi terhadap tingkah laku orang tua dan orang dewasa membuahkan proses sosialisasi diri dalam perkembangan psikoseksual, baik yang bersifat normal maupun yang menyimpang. Teori belajar sosial dari Bandura juga dapat menjelaskan bagaimana agresivitas sebagai tingkah laku sosial yang dipelajari (Bandura, dalam Sarlito,2009: 150 ). Salah satu pemahamannya adalah tingkah laku agresi yang merupakan bentuk tingkah laku yang sulit, oleh karena itu diperlukan pembelajaran yang berarti agresivitas tidaklah alami. Contohnya Tayangan-tayangan yang penuh kekerasan tampaknya menjadi salah satu pemicu. Sehingga peran orang tua juga penting dalam terbentuknya tingkah laku agresif terutama remaja (Sarlito,2009).
4.      Teori-teori sosiokultural
Teori sosiokultural menekankan bahwa kultur/budaya yang ada mempunyai peran penting dalam mempromosikan perilaku menyimpang. Dalam hal ini banyak dipakai pada pandangan feminis yang berpandangan bahwa pemerkosaan merupakan ekspresi dari hubungan kekuasaan dari budaya patriarki yang ada. Hal ini biasanya diterapkan dalam lagu dan media massa di masyarakat.




Kasus Pelaku Kejahatan Seksual
Kejahatan kekerasan seksual yang banyak berkembang di Indonesia adalah kejahatan seksual terhadap anak. Dalam kejahatan ini anak menjadi pihak yang rentan untuk menjadi korban kejahatan. Contoh kasus yang akan dibahas saat ini adalah “Kasus Pedofil melalui Skype”, yang dilakukan oleh Denny Agus (41), di Kalimantan Timur. Kejahatan ini diungkap setelah tim Cyber Crime Polda Metro Jaya bekerjasama dengan US ICE Homeland Security. Pelaku menjadikan anak dan keponakannya sebagai objek pornografi. Modusnya adalah pelaku membuat gambar atau foto dan video pada saat melakukan tindakan persetubuhan dan sodomi dengan anak kandung dan keponakannya, setelah itu pelaku mengirimkan rekaman tersebut ke Skype, WhatsApp, dan Telegram.[1] Tindakan pencabulan pada anak kandungnya dilakukan sejak korban berumur 2-17 tahun sedangkan pada keponakannya pelaku cabuli sejak korban berumur 7-10 tahun. Keponakannya merupakan anak yang berkebutuhan khusus yang tinggal bersama pelaku sejak umur 7 tahun. Pelaku kerap mengambil foto telanjang dan bagian kemaluan korban, yang kemudian mengirimkan foto dan video ke grup internasional seperti grup WhatsApp Internasional Pecinta seks anak-anak dengan total member 4221 orang. Tidak hanya itu dikirimkan pula ke puluhan grup telegram internasional pecinta seks anak-anak atau pedofilia dengan total member 14.045 dan ke grup skype internasional pecinta seks anak-anak dengan member 1023 orang.[2]
Penanganan terhadap pelaku kejahatan seksual
Pada pelaku “Kasus pedofil dalam Skype” Pelaku akan dikenakan Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan Pasal 6 juncto Pasal 32 UU RI Nomor 44/2008 tentang Pornografi. Lalu Pasal 27 ayat 1 juncto 45 ayat 1 juncto 52 ayat 1 UU RI tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan Pasal 76D juncto Pasal 81 UU RI Nomor 35/2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan dalam tataran aturan hukum presiden sudah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Perlindungan Anak. Di dalamnya memuat hukuman tambahan pemberat berupa hukuman kebiri kimia, hukuman seumur hidup, hingga hukuman mati. Jadi, selain ada hukuman pokok yang diatur KUHP, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual ditambah hukuman pemberat tersebut. Perppu itu mengisi kekosongan atas hukuman yang dinilai terlalu minim untuk sebuah kejahatan seksual yang di luar batas kemanusiaan. KUHP, UU Perlindungan Anak, dan UU Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak memberi sanksi berat bagi pelaku kejahatan seksual (Parlementaria Edisi 138, 2016: 8).
Di Indonesia sendiri fokus isu penanganan terhadap pelaku kejahatan masih amat minim. Dalam hal ini penanganan medis seperti kebiri pun masih menimbulkan kntroversi. Penanganan yang digunakan lebih bersifat hukuman penjeraan terhadap pelaku. Sedangkan dalam psikologi kriminal terdapat penanganan terhadap pelaku kejahatan seksual yang perlu dilakukan diantaranya:
·         Penanganan organis (medis) dengan operasi, kebiri, dan medikasi antiandogren
·         Penanganan psikoterapi sepeti pendidikan, rasionalisasi dan konseling
·         Terapi berdasar perilaku kognitif
Dengan cara:
1.      Mereduksi gairah seksual. Dengan syok listrik, degan covert sensitisation (penghukuman tersembunyi) yaitu pasien membayangkan perilaku negatif dan kulminasi dengan konsekuensi negatif. Hal ini terutama berhasil pada exhitionism dan paprafilia, yaitu dengan terapi malu. Diminta verbalisasi (direkam) dengan ORC
2.      Peningkatan heteroseksual yaitu dengan training (latihan)
Pelaku Kejahatan Agresif
Murray dan Fine (dalam Sarlito, 2009) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap induvidu lain atau terhadap objek-objek. Contoh kasus adalah perkosaan, pencabulan, hingga pembunuhan kepada siswi SD yang dilakukan oleh Ican (45). Ican mengaku bertemu korban saat bermain di dekat rumahnya. Tersangka memanggil korban untuk dibelikan rokok namun ditolak. Korban pun ditarik tersangka ke dalam kamar dan diancam untuk diam. Korban yang memberontak menyebabkan tersangka naik pitam, hingga mulut korban dibekap dan lehernya dicekik. Kemudian tersangka memerkosa korban dan mencekik korban hingga tewas. Kemudian korban dimasukkan di dalam karung dan disimpan dibawah ranjang.[3] Pelaku yang mengalami frustasi, kemudian dia tidak juga bisa melakukan hubungan seksual. Frustasinya itu kemudian mengakibatkan tindakan penyimpangan seksual. Kasus diatas menjadi contoh bahwa pelaku frustasi yang kemudian menimbulkan perilaku agresif terhadap korban. Dalam hal ini terdapat gabungan masalah antara seksualitas dan agresivitas pelaku. Bahwa bukan hanya nafsu seksual yang berlebihan tapi juga kecenderungan pelaku untuk melakukan secara agresif. Nafsu seksual yang berlebihan seharusnya dapat dikanalisasi dengan cara yang tidak menimbulkan kekerasan.
Penanganan pelaku sampai saat ini masih berdasarkan KUHP yang ada. Dalam psikologi kriminal, penanganan pada pelaku kejahatan agresif diantaranya:
1.      Penanganan psychoparmalogical. Dengan tujuan terhadap suasana hati, pengaruh emosi hanya muncul pada psikiatri dengan menenangkan/memabukkan. Kemudian muncul isu etis yaitu potensi menghukum tidak jelas, tidak memperhatikan penyebab dari lingkungan, dampak samping seperti tremor, mulut kering dan saraf. Penggunaan obat-obat dengan pendekatan pragmatis
2.      Intervensi psikodinamik. Pertumbuhan kepribadian dan terapi. Isu yang muncul terapi kelompok yaitu memotivasi pasien dan kapasitas untuk berubah, tekanan keluarga dan pengadilan, kesuksesan bergantung pada ego pasien, terapi tidak mengubah kepribadian.
3.      Behavioural dan kognitif (self instruction)
Dari ketiga bentuk penanganan ini belum ada bentuk penanganan yang diterapkan didalam penanganan pelaku kejahatan agresif di Indonesia.
Pelaku Kejahatan dengan Diagnosa Gangguan Kepribadian Anti Sosial (Anti Social Personality Disorder)
Orang yang mengalami gangguan kepribadian tidak menyadari dirinya sakit. Ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, sehingga orang seperti ini tidak akan datang ke psikiater atau psikolog klinis untuk meminta disembuhkan. Hal ini membuat orang dengan gangguan kepribadian memiliki kemungkinan sembuh yang kecil. Gangguan kepribadian yang banyak dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan kriminalitas adalah gangguan kepribadian antisosial. Bila mengalami gangguan ini, individu tidak mampu untuk mentaati norma-norma sosial yang ada di masyarakat. Walaupun banyak dihubungkan dengan tindakan-tindakan kriminal, bukan berarti gangguan ini sama artinya dengan kriminalitas. Kejadian gangguan kepribadian ini di dalam masyarakat adalah sekitar 3 persen untuk laki-laki dan 1 persen untuk perempuan (Robins, Locke & Reiger, 1991) dalam Nevid, dkk 2005. Biasanya terjadi di daerah urban yang miskin atau tingkat ekonomi sosialnya rendah. Beberapa perilaku yang sering terjadi pada individu dengan gangguan ini adalah ; berbohong, kekerasan terhadap orang lain, kabur dari rumah, pencurian, berkelahi, penggunaan narkoba dan aktivitas-aktivitas melanggar hukum. Beberapa laporan mengatakan, perilaku tersebut dimulai bahkan saat masa kanak-kanak. Individu yang mengalami gangguan seperti ini tidak mengalami gangguan kecemasan atau depresi akibat perbuatannya. Penjelasan yang terkadang di luar akal sehat tentang perbuatannya seringkali membuat ahli kesehatan jiwa berpikir apakah ini suatu gangguan skizofrenia. Tetapi dari pemeriksaan mental biasanya tidak pernah ditemukan adanya waham ataupun pikiran-pikiran tidak rasional. Bahkan, seringkali individu dengan gangguan ini menunjukkan adanya daya pikir yang tinggi dan kemampuan berbicara yang melebihi rata-rata. Untuk itulah, sering ditemukan perilaku yang manipulatif terhadap orang lain.
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap pelaku kejahatan ini diantaranya:
1.      Psikoparmacologi.
2.      Psikoterapi individual. Hal ini tidak dapat digunakan juga karena manipulatif, tidak membentuk kedekatan dengan terapis, karena mereka egosentris.
3.      Pendekatan komunitas terapis. Seperti therapeutic community (terapis dipilih dalam latar belakang berbeda-beda. Terkadang warga juga diminta, bagian dari self-help philosophies, efektif pada pengguna alkohol. Model Therapeutic Community: atmosfir informal, harus rutin, penjelasan progress, residen sebagai terapis yang membantu. Masyarakat diikutkan karena tanggung jawab individu juga tanggung jawab lingkungan.
4.      Pendekatan cognitive-behaviorial. Bagaimana belajar pemain peran tertentu



BAB III
PENUTUP

Di Indonesia Psikologi Kriminal masih amat minim digunakan dalam penanganan pelaku kejahatan yang ada. Hal ini dikarenakan beberapa hal yang menjadi Isu penanganan pada psikiatri forensik. Yang pertama, terdapat perbedaan dalam tujuan penanganan. Di Indonesia ada dua lembaga yaitu hukum (Sistem Peradilan Pidana) dan psikiatri forensik. Psikiatri forensik bertujuan untuk kesembuhan dan tidak melakukan kejahatan yang sama. Sedangkan para penegak hukum bertujuan untuk residivisme.
Kedua, indikator kesuksesan. Psikiatri forensik mengidentifikasi orang sembuh berdasarkan data empirik dan kemajuan penanganan dengan salah satunya tes MMPI-wawancara, sedangkan penegak hukum mementingkan pada tidak ada residivisme. Psikolog tidak membedakan instrumen antara pasiennya dan pelaku kriminal. Banyak pelaku kejahatan seksual mengingkari kejahatannya atau tidak melihat sebagai masalah seksual. Sehingga hal ini membuat pelaku kejahatan tidak ingin melakukan terapi.
Di Indonesia pengetahuan mengenai psikologi kriminal masih sangat minim, apabila jika berhadapan dengan sistem peradilan pidana yang ada maka tidak memiliki kekuasaan dalam menentukan kebijakan penanganan terhadap pelaku kejahatan.


Daftar Pustaka
Gosita,Arif. (1983). Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan Edisi Pertama, Akademika Pressindo, Jakarta
Kartini Kartono. (1983) . Patologi Sosial.  Jilid I Jakarta: CV Rajawali,
Kartini Kartono. (1989) . Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Jakarta: CV Rajawali.
Knopp, F.A., Freeman-Longo, R., and Stevenson, W.F. (1992). Nationwide survey of Juvenile and adult sex offender treatment programs and models. Orwell, VT: Safe Society Press.
Majalah Parlementaria. (2016). Edisi 138
Nevid, S.F, Rathus, A.S., Greene, B. (2003). Psikologi Abnormal Edisi Kelima, Erlangga: Jakarta.
Robert F. Meier and Marshall B. Clinard. (2008). Sociology of Deviant Behavior. USA: PrePressPMG
Sarwono, Sarlito W., dan Meinarno,Eko A. (2009). Psikologi Sosial, Salemba Humanika, Jakarta.


Komentar

Postingan Populer