SumberGlagah dan Kusta
“Sumberglagah dan
pelajaran hidupnya”
Sumberglagah. Desa yang sebagian penghuninya adalah orang yang pernah mengalami kusta. Kalian tahu kusta nggak?
Kalau dulu penyakit ini sering dibilang penyakit “kutukan”, hal ini kemudian
berakibat orang takut dan malu untuk memeriksakan diri ke puskesmas atau dokter
terdekat. Akibatnya penanganan terhadap penyakit kusta yang terlambat diobati
kemudian menimbulkan dampak lain seperti penyakit yang makin parah sehingga
menyebabkan harus diamputasi. Oiya di Sumberglagah ini terdapat Rumah Sakit
Kusta, beberapa orang setelah berobat dari sini enggan untuk kembali ke daerah
asalnya. Katanya mereka malu. Katanya banyak yang ngomongin mereka dan gamau
berinteraksi sama mereka. Mereka dikucilkan dari lingkungan. Hingga akhirnya
mereka memutusskan untuk tinggal di daerah ini, bersama yang lainnya. Yang
mempunyai nasib sama. Dan yang “katanya” itu ternyata nyata. Masih ada diluar
sana orang yang tanpa mereka sadari ketakutan yang mereka buat menjadi
perlakuan diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta. Padahal saat
ini zaman sudah maju, penyakit kusta sudah ada obatnya. Ga menular, ga
semenakutkan itu. Mereka juga manusia. Kita sama dan mereka minta diperlakukan
sama.
Banyak hal yang kemudian aku dapat dari warga disini.
Pelajaran hidup untuk tetap bertahan dalam berbagai masalah dari banyaknya
diskriminasi. Terus berjuang dan lebih banyak bersyukur tiap harinya.
Seperti cerita dari sepasang suami-istri
yang sudah hampir 30 tahun bersama. Ibu Sugiyatin dan Bapak Lamin yang kemudian
memutuskan untuk menikah saat keduanya bertemu di sebuah ruangan di Rumah Sakit
Kusta saat keduanya masih menderita kusta kala itu. Jatuh cinta pada pandangan
pertama kata Bapak Lamin. Kalau Ibu Sugiyatin bilang, karena disaat tidak ada
yang mau menerimanya, masih ada Bapak yang memandang ibu seperti manusia biasa.
Ibu dan bapak memulai membangun semuanya dari awal bersama-sama tanpa bantuan
keluarga. Saat ini mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang berusia
hampir sama denganku, sehingga akupun kadang dianggap seperti anaknya sendiri.
Keluarga yang begitu hangat. Walau dengan banyaknya keterbatasan yang ada, Ibu
yang mulai agak sulit berjalan, bapak mulai mengalami kebutaan, dan kelumpuhan
kaki tapi aku tetap melihat cinta itu tak pernah pudar. Dengan berbagai macam
cobaan yang menimpa bapak dan Ibu, pesan Ibu kepadaku “Ikhlas nduk. Allah
memberikan ujian pasti kita bisa melewatinya”. Ah sampai mana ikhlasku hari
ini?
Cerita lain dari mbah Sukardi yang saat ini
hidup sendiri di rumahnya. Setelah penyakit kusta tersebut menimpanya, istrinya
meninggalkannya. Anaknya saat ini tinggal di kota, kadang tiap sebulan sekali
mengirimkan uang atau bahan makanan untuk Mbah. Di umurnya yang sudah mau
menginjak 70 tahun, Mbah Sukardi selalu sudah siap di depan rumahnya mengenakan
baju koko, sarung dan berpeci lengkap menunggu adzan berkumandang. Tak ada lagi
yang bisa dikerjakannya di rumah. “sedang mempersiapkan bekal untuk rumah nanti
(akhirat)” katanya. Hatiku terketuk lagi. Sejauh mana persiapanku kali ini?
Aku tidak tahu sebenarnya langkah konkrit
dan cepat apa menghapus diskriminasi dan mindset orang-orang terkait orang yang
pernah menderita kusta. Tapi setidaknya dengan kegiatan ini menyadarkanku bahwa
pemuda perlu bergerak. Dimulai dari yang kami bisa. Kami berusaha membangun
bersama kembali, mengupayakan membangun fasilitas masyarakat seperti jalan agar
mudah dilalui warga, berkunjung ke rumah warga dan mendengar cerita mereka,
makan bersama mereka, tertawa bersama hingga kehangatan itu timbul bagai
saudara yang lama tak berjumpa. Perlahan, dengan niat menghapus rantai
diskriminasi itu. Kadang, perjalanan ini kemudian menyadarkanku bahwa menjadi volunteer bukanlah sekadar kita berbagi
tapi harusnya kita yang merasa perlu lebih banyak pelajaran yang kita ambil
dibalik penatnya aktivitas yang kita lalui saat ini. Menepilah dan buat
pengalaman baru. Untuk kamu yang membaca
ini, maukah ku perkenalkan Sumberglagah itu? Sumberglagah menjadi tempat nyaman
untuk kembali dengan keramahannya dan kehangatannya.
“karena menjadi
relawan adalah panggilan dari hati, saat ada rasa terpaksa, namanya bukan
rela(wan) tapi paksa(wan) hehe. Jadi setelah cerita ini, kamu sudah ada
panggilan hati?”
Devi Afithasari
Volunteer of 4th SumberGlagah Work Camp
Komentar