Penjelasan Viktimologi
VIKTIMOLOGI
Referensi : Mustofa, Muhammad.2010.KRIMINOLOGI EDISI KEDUA.Bekasi:Sari
Ilmu Pratama (SIP)
Setiap
tindak kejahatan pasti akan menimbulkan korban, karena sesuai dengan definisi
kejahatan itu sendiri membutuhkan faktor korban sebagai terciptanya suatu
kondisi tersebut. Kejahatan muncul dikarenakan adanya pelaku, korban, dan
reaksi sosial. Dalam kajian kriminologis, analisa mengenai korban kejahatan
dikaji tersendiri. Pengkajian mengenai korban kejahatan disebut dengan
viktimologi. Penelitian secara sistematis terhadap korban kejahatan secara
serius baru dilakukan pada tahun 1940-an. Dengan dimulainya penelitian
sistematis terhadap korban kejahatan, maka penelitian kriminologi terhadap
gejala kejahatan dapat dikatakan menjadi lebih objektif dan memperoleh
keseimbangan pembelajaran. Dengan pendekatan yang lebih objektif ini, diketahui
bahwa korban kejahatan dapat saja berperan aktif dalam timbulnya suatu
kejahatan. Peran tersebut bervariasi tingkatnya yang dapat diketahui melalui
viktimisasi atau proses menjadi korban kejahatan.
Sejarah
bangiktnya viktimologi diawali pada saat Von Hentig (1941) menerbitkan makalah
yang berjudul “Remarks on the Interaction of Perpetrator and Victim” dalam
Jurnal of Criminal Law, Criminology, and Police Science,1941, 31 (March-April).
Makalah tersebut telah memicu terjadinya perdebatan, penelitian, dan diskusi
yang meliputi berbagai topik, yaitu peran korban, kedudukan korban dalam hukum,
hubungan antara korban kejahatan dengan pelaku kejahatan, masalah tanggung
jawab pidana dan sebagainya. Korban kejahatan tidak dibatasi pengertiannya pada
individu atau orang, tetapi dapat juga berupa kelompok orang dan organisasi.
Sementara itu disadari pula terdapat bentuk-bentuk kejahatan yang tidak
menimbulkan korban (Drapkin, Viano, 1974:xi). Von Hentig sendiri sebagai
pelopor viktimologi, disamping menerbitkan makalah tersebut diatas, pada tahun
1948 ia menerbitkan buku yang mempelajari korban kejahatan dengan judul The
Criminal and His Victim. Semenjak itu berbagai tulisan mengenai korban
kejahatan bermunculan (Drapkin, Viano, 1974:xi).
Dalam
kehidupan praktis dunia hukum. Perhatian terhadap korban kejahatan dalam hukum
ini dipelopori oleh Margery Fry, seorang pembaharu hukum di Inggris yang pada
tahun 1955 menuntut perlindungan kepentingan korban kejahatan yang lebih baik.
Namun negara pertama yang membuat peraturan perundang undangan yang memberikan
kompensasi keuangan terhadap korban kejahatan atau terhadap ahli warisnya
adalah New Zealand pada tahun 1963 kemudian disusul dengan negara lainnya. Di
Indonesia sendiri baru sampai menyelenggarakan loka karya korban kejahatan pada
tahun 1990, dan menerbitkan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Nomor 26 tahun 2000, yang dalam pasal 34 dan 35 memberikan kompensasi bagi
korban pelanggaran HAM berat.
Viktimologi
sebagai disiplin bagian integral dari kriminologi berkembang sangat pesat. Hal
ini ditunjukkan dengan dengan diselenggarakannya pertemuan internasional secara
berkala, pertama kali diselenggarak di Jerussalem pada tahun 1973. Semenjak itu
simposium viktimologi diselenggarakan secara berkala oleh Asosiasi Viktimologi
Internasional. Pada tahun 1974, Israel Drapkin dan Emiliano Viano menyunting
beberapa karya ilmiah di bidang viktimologi dalam sebuah buku yang diberi judul
Victimology. Simposium viktimologi yang kesebelas diselenggarakan di
Stellenbosch Afrika Selatan pada bulan Juli 2003. Simposium ke duabelas
rencananya akan diselenggarakan di Orlando Amerika Serikat. Di Indonesia badan
pusat statistik semenjak tahun 1982 telah melakukan survei terhadp korban
kejahatan yang merupakan bagian dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Dalam pekembangan viktimologi dikenal istilah
viktimisasi, yaitu pengalaman menjadi korban, viktimitas yaitu faktor-faktor
yang mempengaruhi timbulnya pengalaman viktimisasi. Terdapat 3 teori
viktimisasi kriminal. Yang pertama adalah teori terpaan gaya hidup yang
menjelaskan bahwa gaya hidup dan aktivitas-aktivitas seseorang akan mudah
untuk menjadi korban dari suatu kejahatan. Dari gaya hidup seseorang
dengan penampilan super mewah dan sering berada di tempat rawan kejahatan juga
mempengaruhi sesorang untuk menjadi korban dari kejahatan (Burke, T,,2009). Viktimisasi berganda atau continuing victimization yaitu peristiwa pengulangan
menjadi korban kejahatan, hingga kemudian lahirlah beberapa teori viktimisasi
kriminal diantaranya Teori Terpaan Gaya Hidup yang dirumuskan oleh, Hindelang, Gotfredson dan Garofalo yang
mengatakan bahwa perbedaan resiko orang dalam menghadapi viktimisasi kejahatan
dipengaruhi oleh adanya perbedaan gaya hidup dari orang tersebut. Kemudian pada
tahun 1979 muncullah Teori Aktifitas Rutin yang
diungkapkan oleh Cohen dan Felson menurut Cohen dan Felson
hal yang mempengaruhi tingkat kejahatan melalui pemusatan tiga unsur langsung
kejahatan jalanan, yaitu adanya calon pelaku, adanya sasaran yang cocok, dan
ketidakcukupan pengawasan terhadap pelanggaran, pada waktu dan tempat tertentu.
Kemudian gabungan dari kedua teori tersebut adalah munculnya teori Model Viktimisasi Pilihan
Struktural yang
dikemukakan oleh Meier danMiethe (1993) yang
menekankan pada pentingnya faktor kedekatan fisik korban (calon korban),
paparan dengan lingkungan resiko tinggi viktimisasi criminal, daya tarik
sasaran kejahatan, serta ketiadaan pengawasan. Untuk memahami pola viktimisasi
secara lebih sistematis, beberapa sarjana menyusun tipologi korban kejahatan,
diantaranya menurut B. Mendelshon sebagai
pelopor viktimologi merumuskan tipologi korban kejahatan, menjadi : 1). The completely innocent
victim. 2). The victim with minor guilt, due to this ignorance. 3). The victim
as guilty as the offender 4). The most guilty than the offender a. the provoker
victim. b. the imprudent victim. 5). The most guilty victim, guilty alone .6).
The simulating victim, imaginary victim.
Mempersalahka korban
kejahatan dalam kasus apapun sering terjadi, yang sebagai bentuk gagasan,
pandangan ini tidak didukung oleh realitas empiris mengapa orang menjadi korban
kejahatan. Menurut William Ryan (1971) dalam karyanya “Blamming the Victims”,
pelopor kajian ilmiah ini cenderung mempermasalahkan korban kejahatan sebagai
salah sendiri. Konsep salah sendiri
korban ini juga diterapkan pada korban ketidakadilan struktural seperti kaum
miskin, baik yang merupakan akibat dari kemiskinnan buatan maupun kemiskinan
alamiah. Meskipun kubu yang tidak sependapat umtuk memyalahkan korban pada
umunya bersikap pada pandangan bahwa korban kejahatan, korban diskriminasi,
korban ketidakadilan, korban pelanggaran HAM tidak dapat dipersalahkan dan
justru harus dilindungi hak-haknya.
Reaksi Masyarakat terhadap
Kejahatan
Devi Afithasari 1406618436
Referensi : Mustofa, Muhammad.2010.KRIMINOLOGI EDISI KEDUA.Bekasi:Sari
Ilmu Pratama (SIP)
Reaksi
Masyarakat terhadap kejahatan adalah pola bentuk tindakan yang dilakukan oleh
warga masyarakat secara bersama-sama, dalam rangka menghadapi atau menyikapi
kejahatan. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dapat disebut juga pengendalian
sosial terhadap kejahatan. Reaksi
masyarakat tersebut dikelompokkan dalam tiga bentuk yaitu
1.Reaksi masyarakat terhadap kejahatan yang
bersifat formal, yaitu kejahatan adalah pola bentuk tindakan masyarakat
yang dilakukan oleh lembaga masyarakat yang dibentuk secara formal oleh lembaga
negara untuk menanggulangi kejahatan. Contohnya : Sistem Peradilan dan KUHP.
Jadi berdasarkan KUHAP lembaga-lembaga dalam sistem peradilan pidana bekerja
bila terjadi pelanggaran hukum pidana, sedangkan prosedur atau proses
penanganannya berdasarkan hukum acara pidana.
2.Reaksi masyarakat terhadap kejahatan yang
bersifat informal adalah bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga resmi dalam sistem peradilan pidana terhadap pelaku kejahatan,
tetapi tindakan tersebut tidak mengacu kepada ketentuan hukum yang
berlaku. Seseorang anak-anak bila
melakukan pelanggaran tidak selalu diproses dan diajukan ke pengadilan
melainkan polisi memanggil orangtua kemudian mediberi teguran agar mengawasi
dan mendidik anaknya dengan lebiih baik. Reaksi informal polisi juga ada yang
sifatnya melembaga yaitu kasus-kasus pecandu narkotika diberikan tempat yaitu
ruang rehabilitasi untuk menanggulangi dan supaya tidak mengulanginya lagi.
3.Reaksi masyarakat terhadap kejahatan yang
bersifat non-formal adalah berbagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh warga
masyarakat secara langsung terhadap pelaku kejahatan maupun terhadap gejala
kejahatan tanpa ada kaitannya dengan hukum pidana. Reaksi masyarakat yang
melanggar hukum akhir-akhir ini sering terjadi yakni dengan cara mengeroyok
atau membakar tersangka pelaku kejahatan yang tertangkap. Dalam bentuk yang
tidak melanggar hukum, reaksi non-formal dapat berbentuk tindakan meningkatkan
keamana rumah dari resiko kejahatan dengan memasang alarm tanda bahaya,
meningkatkan keamanan dan menyelenggarakan sistem keamanan lingkungan
(siskamling). Reaksi non-formal terhadap kejahatan yang tidak melanggar hukum
kini semakin dibutuhkan, karena di negara manapun di dunia jumlah polisi tidak
akan mencukupi untuk melakukan tindakan kepolisian, dari represif, preventif
dan pre-emptif. Reaksi non-formal kejahatan dapat juga ditujukanuntuk isu
kejahatan tertentu, misalnya korupsi. Biasanya reaksi non-formal yang terbentuk
unjuk rasa atau demonstrasi. Perasaan takut terhadap kejahatan yang disebabkan
oleh berbagai macam faktor, juga merupakan bentuk reaksi non-formal pasif
masyarakat terhadap kejahatan.
Ada pula Restorative Justice sebagai
bentuk reaksi paripurna terhadap kejahatan. kata Restorative Justice pertama kali diungkapkan oleh John Braithwaite pada tahun 1990-an. definisinya adalah
usaha untuk mengembalikan kepentingan dari korban kejahatan dan keluarganya
agar supaya kerugian yang dideritanyadapat dipulihkan. (Siegel,2000:279 dikutip
dari kriminologi edisi kedua : Prof Dr. Mustofa:90)
Komentar