Penulisan dan Presentasi Ilmiah
Dampak
Pembangunan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) terhadap Hak
Asasi Masyarakat di desa Zanegi
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Papua
adalah bagian dari daerah Indonesia yang terkenal dengan sumberdaya alamnya
berupa pangan lokal , kayu hutan, dan tambang emas. Selama lebih dari satu
dekade, masyarakat asli Papua telah mengalami penderitaan dibawah militerisasi,
pelanggaran HAM, eksploitasi dan diskriminasi. Pada tahun 1998, Indonesia
memasuki proses Reformasi dan demokratisasi yang memperbaiki aturan aturan HAM
dan perkembangan institusi. Akan tetapi, di provinsi paling Timur wilayah
Indonesia, masyarakat asli Papua tetap menjadi subjek pelanggaran HAM yang
serius dari aparat keamanan dan negara Indonesia. Sampai sekarang, pemerintah
Indonesia sangat membatasi akses jurnalis, organisasi kemanusiaa dan HAM
Internasional di Tanah Papua (franciscans international : 2010).
Pada tanggal 11 Agustus 2010, Menteri
Pertanian secara resmi meluncurkan Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), mega proyek yang mencakup 1,28
juta hektar lahan di Kabupaten Merauke, Papua bagian selatan. MIFEE adalah
himpunan perkebunan komersial yang dimaksudkan agar menjadi bagian dari visi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk "feed Indonesia, feed the world (lumbung pangan Indonesia, lumbung
pangan dunia)". Sejauh ini ada 36 investor yang telah mengantongi izin,
kebanyakan dari investor tersebut adalah dari perusahaan Indonesia, akan tetapi
perusahaan perusahaan Jepang, Korea, Singapura dan Timur Tengah juga turut
ambil bagian (BAPINDA, Mei 2010 dan Warta Ekonomi, Maret 2010). Proses
pembangunan MIFEE tidak lepas dari masyarakat pribumi di Papua itu sendiri.
Dalam tulisan kali ini akan dijelaskan tentang dampak dari pembangunan MIFEE
terhadap masyarakat sekitar di Papua.
1.2 Rumusan
Masalah
·
Apa
saja dampak MIFEE terhadap pelanggaran yang terjadi di desa Zanegi?
1.3 Tujuan
penulisan
·
Untuk
mengetahui dampak MIFEE terhadap pelanggaran yang terjadi di desa Zanegi
BAB
2
ISI
Proyek lumbung pangan dan energi terpadu Merauke atau Merauke Integrated Food and Energy
Estate (MIFEE) yang diluncurkan pada bulan Agustus meliputi perubahan
sejumlah besar lahan, termasuk hutan untuk dijadikan perkebunan untuk ditanami
berbagai tanaman untuk pangan, energi dan tanaman produktif lainnya (BAPINDA, Mei 2010 dan Warta Ekonomi,
Maret 2010). Proyek ini menimbulkan
ancaman bagi kelangsungan ekonomi, sosial, dan budaya dari masyarakat asli
bagian Selatan Papua. Namun masyarakat setempat tidak memiliki informasi cukup
yang mereka perlukan untuk mengetahui dampak dari MIFEE (Ginting and Oliver Pye
: 2011). Pelaku utama dalam MIFEE memiliki koneksi politik. Comexindo Group,
misalnya dimiliki Djojohadikusumo, saudara mantan jenderal kopasssus dan
menantu Suharto, Prabowo Subianto . Gambaran diatas juga dijelaskan Joan
Martinez Alier (2002) dalam definisi political ecology sebagai studi konflik
distribusi ekologi. Maksudnya adalah konflik terjadi karena over access dan kontrol lebih pada
sumberdaya alam khususnya sumber kehidupan. Kecenderungan kelompok yang
memiliki power (rich groups) lebih
dominan untuk mengontrol sumberdaya (Escobar, 2006:7-8).
2.1 Perampasan
Lahan
Dibawah hukum Papua, masyarakat adat memiliki
hak atas tanah warisnya, yang dikenal dengan hak ulayat. Jika sebuah perusahaan
ingin menggunakan lahan tersebut, yang harus mereka lakukan pertama adalah
meminta ijin dari pemegang hak ulayat. Tiap marga memiliki ketua, masing-masing
memegang haknya di area yang berbeda-beda, yang menjadi lahan tempat mereka
berburu, serta menjadi tempat dimana mereka mencari sumber makanan lain. Para
perusahaan pun berusaha untuk mendapatkan tanda tangan dari para ketua-ketua
marga.
Contohnya,yang dilansir oleh the jakarta post, terjadi di desa Zanegi
pada tahun 2009. Medco memberikan 300 juta rupiah pada warga desa dan ‘selembar
piagam penghargaan’. Dari situ warga membacanya sebagai langkah yang baik.
Warga tidak menyadari bahwa surat yang mereka tandatangani akan menghapus hak
mereka atas tanah, serta menyetujui untuk diberikan ganti rugi atas kayu
sebesar 2500 rupiah per meter kubik. Harga yang sangat kecil jika dibandingkan
dengan yang mereka peroleh ketika menjual batang kayu ke pedagang kayu secara
perorangan.
Meski seluruh desa akan kalah jika hutan
dibabat, tetapi perusahaan berusaha untuk meyakinkan para ketua komunitasnya
(baik kepala kampung maupun kepala adat dan ketua marga) untuk menandatangani
pembebasan lahan. Para pemimpin komunitas ini telah diterbangkan oleh
perusahaan untuk mengunjungi perkebunan-perkebunan lain untuk diberi kepastian
bahwa pembangunan ini tidak akan merugikan warga setempat.
Perusahaan juga telah membuat janji untuk
membangun berbagai fasilitas desa. Biasanya, daftar yang dijanjikan terdiri
dari pembangunan sekolah, rumah sakit, gereja, perumahan, jalan, listrik dan
fasilitas olah raga. Ketika kesepakatan sudah ditandatangani, fasilitas baru tidak terwujud, atau hanya satu gereja yang dibangun.
Kompensasi yang telah dibayarkan oleh
perusahaan jumlahnya beragam, namun akhir-akhir ini berkisar antara Rp.
300.000,- per hektar. Ketika sudah dibagikan ke semua anggota keluarga dalam
marga, jumlah tersebut tidaklah sebanding dengan kehilangan lahan yang harus
mereka tanggung untuk melanjutkan hidupnya (Ginting and Oliver Pye : 2011).
Bahkan uang yang diterima secara sekaligus, biasanya akan habis dengan cepat.
2.2 Pemiskinan
Sejak perusahaan mulai masuk,
masyarakat setempat mulai belajar tentang kemiskinan. Sepanjang sejarah, hutan
sudah ada sejak dulu, dengan sagu berlimpah yang menjadi sumber makanan dan
binatang hutan yang mudah diburu. Dengan menjual hasil hutan seperti gambir dan
damar, warga bisa mendapat uang untuk membeli keperluan lain. Ketika hutan
hilang, makanan menjadi sulit dicari, ironisnya hal ini terjadi sebagai akibat
dari suatu proyek yang direncanakan untuk menjamin keamanan pangan, dan
masyarakat pun menjadi ketergantungan pada ekonomi uang (Harian
Kompas, 6 Agustus 2010).
Kemiskinan terutama terlihat jelas di desa Zanegi. Ketika hutan hilang,
makanan pun sulit dicari. Anak-anak banyak yang dilaporkan menderita akibat
gizi buruk, dan kondisi ini telah meningkatkan tajam sejak perusahaan mulai
masuk. Di semester pertama tahun 2013, lima anak kecil meninggal karena gizi buruk atau infeksi saluran
pernapasan di desa Zanegi (Ginting and Oliver Pye : 2011).
Proses pemiskinan sudah mulai meski hutan
belum ditebang. Dengan dibangunnya infrastruktur untuk mendukung MIFEE dan
pejabat perusahaan, para tentara pengawal dan transmigran mulai berpindah
memasuki tanah orang-orang Malind, mereka juga mengonsumsi hasil hutan seperti
daging dan ikan. Kondisi tersebut menyebabkan warga setempat kesulitan untuk
mencukupi kebutuhan mereka dari hutan, dan lebih menekan warga untuk lebih
terlibat dalam ekonomi uang, yang berujung pada penjualan tanah mereka pada
perusahaan.
Ketika akhirnya masyarakat menjual dengan
paksaan, nilai uang yang mereka terima sangatlah sedikit jika dilihat sebagai
pengganti atas seluruh hutan yang bisa menjadi sumber hidup selama berpuluh
tahun dan kini hanya diganti dengan uang yang dibayar tunai. Masyarakat
mengetahui bahwa mereka harus menggunakan uangnya secara bijak. Sering kali
terjadi, warga kehabisan uangnya dengan cepat ketika para pedagang datang dari
kota dan membujuk warga untuk membeli barang-barang mahal, dan masyarakat pun
tidak memiliki apapun kecuali uang ganti rugi yang sangat kecil dari
pohon-pohon yang ditebangi.
2.3 Lingkungan
Perkembangan perkebunan mengakibatkan
kerusakan lingkungan yang meluas yang secara langsung juga mempengaruhi
masyarakatnya. Di Kampung Zanegi, pestisida dari bibit-bibit pohon milik Medco mencemari rawa dan
menyebabkan sakit pernapasan yang mempengaruhi kematian bayi dan penyakit
kulit, selain itu, masyarakat yang berada di hulu sungai Bian dan Kumb juga
mengalami gejala serupa, diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit dan area
transmigrasi yang berada di hilir sungai (Ginting and Oliver Pye : 2011) . Ikan
besar dan buaya sekalipun sudah ada yang dilaporkan mati di Sungai Bian, yang
berada dekat dengan perkebunan Korindo dan Daewoo, dan juga sungai Kumb dan
Digul. Warga yang berada di area di hulu sungai Bian mengatakan bahwa mereka tak lagi dapat menggunakan airnya untuk keperluan minum,
memasak dan mandi. Mereka harus berjalan sepanjang beberapa kilometer untuk
mendapat air bersih (Ginting and Oliver Pye : 2011).
Di dekat pantai, tak jauh dari perkebunan
tebu Rajawali, sungai-sungai kecil yang berada dekat Kampung Onggari dan Kampung
Kaibuze menjadi kering karena irigasi dialirkan untuk keperluan perkebunan dan
perkembangan pertanian di wilayah transmigrasi. Banyak yang mengatakan bahwa
burung-burung juga sudah tak lagi nampak di sekitar area MIFEE, suara mereka
sudah tak terdengar lagi seperti dulu.
2.4 Bekerja
di Perusahaan
Supaya bisa tetap mencari nafkah setelah
kehilangan lahan, warga pun diiming-imingi dengan janji-janji di perkebunan
jika perkebunan sudah beroperasi. Namun kenyataannya, kebanyakan pekerjaan di
perkebunan sudah terisi oleh para pendatang yang sudah mendapat pelatihan dan
pengalaman bekerja di perkebunan. Warga setempat tidak selalu mendapatkan
pekerjaan. Jika dapat pekerjaan, itu pun tanpa kontrak. Hanya dipekerjakan
dengan sistem harian lepas jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Pekerjaan yang biasanya melibatkan warga setempat biasanya pekerjaan yang
terkait dengan program-program CSR, mendukung tim survei, mengemudi, satpam,
kuli, pekerja perkebunan yang memasukkan benih ke kantung insulasi atau menyiapkan
kebun percontohan, menguliti kayu dan mengoperasikan gergaji mesin.
Jika gaji yang mereka terima sesuai dengan
upah minimum regional, maka untuk pekerja yang tidak memiliki keahlian mendapat
1.710.000 rupiah per bulan atau setara dengan 70.000 tiap hari kerja. Namun di
pedesaan Papua, harga-harga jauh lebih tinggi dari pada di daerah mana pun di
Indonesia. Itu artinya, gaji tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
dasar sehari-hari seperti makanan.
Dalam surat kepada Komisi PBB tentang Penghapusan
Diskriminasi Rasial, 27
organisasi memperkarakan para pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan
MIFEE terhitung sebagai pekerja paksa yang bisa dilihat sebagai sejenis
perbudakan gaya baru. Yang dijadikan argumen dasar adalah bahwa lahan yang
dimiliki masyarakat setempat direbut dari mereka tanpa ada Persetujuan Bebas, didahulukan
dan diinformasikan, ruang hidup mereka kini tak dapat dipertahankan, sehingga
mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima pekerjaan apapun yang
diberikan oleh perusahaan. Biasanya satu-satunya pekerjaan yang disediakan
perusahaan adalah pekerjaan kasar dengan gaji rendah. Kalaupun ada tawaran
untuk menjadi petani sawit atau tebu yang menjual hasil kebunnya kepada
perusahan seperti kemauan dari pemerintah setempat, maka yang terjadi masih
sama, yakni tergantung pada perusahaan, namun dengan sistem perbudakan feodal.
2.5 Perempuan
dalam Perubahan Ekonomi Pedesaan
Sebuah penelitian yang dilakukan Sayogjo
Institute menempatkan fokus pada isu spesifik mengenai persoalan yang dihadapi
para perempuan setelah masuknya banyak perusahaan. Penelitian tersebut melihat
adanya ekonomi rumah tangga pada umumnya sebelum banyak perusahaan yang masuk,
dimana terdapat pembagian berdasar gender, peran dari perempuan dan laki-laki
keduanya penting. Para lelaki berburu, sementara para perempuan harus memancing
dan memangkur sagu meski dibantu lelaki yang masih berusia lebih muda. Ketika
para lelaki mempunyai pekerjaan di ladang, para perempuan juga membantu. Para
perempuan juga berkewajiban dalam pekerjaan rumah tangga, seperti mengumpulkan
kayu, memasak dan bersih-bersih.
Ketika hutan hilang, masyarakat menjadi
tergantung pada perusahaan yang memberikan mereka pekerjaan. Pada kasus Medco
di desa Zanegi, kebanyakan pekerjaan hanya untuk para pria. Memang perusahaan
telah mengeluarkan kebijakan untuk tidak mempekerjakan perempuan desa setelah
seorang perempuan non-Malind yang bekerja sebagai staf dapur dihamili oleh staf
lain. Perempuan masih bisa bekerja untuk subkontraktor namun ketika penelitian
lapangan, semua pekerja berasal dari luar.
Sebagian besar perempuan juga tidak
dilibatkan dalam pembuatan keputusan seputar boleh tidaknya menjual tanah pada
perusahaan. Meski masyarakat Malind seringkali mengidentikkan tanah sebagai
ibu, kepemilikan tanah dibawah sistem marga masih patrilineal, dimana perempuan
sangat terbatas, dengan hak penggunaan lahan dalam kondisi tertentu, tanpa hak
kepemilikan tanah. Meski mereka tidak punya suara dalam kesepakatan jual beli
tanah, perempuan sering kali menjadi korban kemiskinan yang diakibatkan oleh
perusahaan yang sudah mulai masuk. Hal ini juga sudah terlihat di desa Zanegi,
sewaktu terjadi kelangkaan makanan. Para perempuan akan memprioritaskan lelaki
dan anak-anak untuk makan terlebih dahulu, dan kadang mereka hanya makan sehari
satu kali. Dalam sehari, para perempuan hanya mengunyah tembakau dan buah
pinang, kemudian berhutang di warung hingga bayaran dari pembabatan pohon
diberikan, mereka pun menjadi terlihat lebih kurus karena keadaan ini.
Sementara itu, para remaja laki-laki tak
jarang yang menggunakan uang mereka untuk membeli alkohol dan membayar pekerja
seks. Akibatnya, lima perempuan Zanegi telah terinfeksi HIV positif, yang
kemungkinan tertular dari suami mereka. Beberapa remaja perempuan yang masih
berusia sekolah juga sudah dijadikan target seksual oleh orang-orang yang
bekerja di perusahaan.
BAB
3
Penutup
3.1
Kesimpulan
MIFEE
menggambarkan tantangan dan acaman yang nyata terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi penduduk asli desa Zanegi di Papua. pemerintah dan perusahaan yang
berkepentingan merencanangkan mega proyek pangan mengakibatkan hilangnya lahan, mata pencaharian, sumberdaya
dan pelanggaran HAM.
3.2 Saran
Dalam masalah ini seharusnya pemerintah tahu
bahwa setiap masyarakat beserta kebudayaannya memiliki indigenous knowledge tersendiri untuk memperbaharui sumberdaya alam
mereka agar tetap sustainable. Dari sini pemerintah bisa menggabungkan indigenous knowledge dengan pengelolaan
perkebunan secara finansial. Seperti pendirian perusahaan otonom oleh local communities. Tentunya dengan
berbekal pengetahuan memadai yang diberikan pemerintah. Misalnya local communities tetap mendapat hak
atas tanah mereka dengan batas-batas sesuai peraturan yang disepakati seluruh
pihak. Selain itu dalam pendirian perusahaan pasti ada masyarakat yang
dirugikan, entah pengaruh polusi, kenyamanan atau batas wilayah. Inilah yang
mesti ditanggulangi pemerintah dengan memberi jaminan sosial atau ganti rugi
seperti dengan mempekerjakan masyarakat sebagai pegawai atau keharusan
perusahaan membangun fasilitas di kampung. Pemerintah harus bisa mengakomodir
kepentingan yang berbeda antara penduduk asli dengan pekerja migran. Dan monitoring
pengelolaan SDA secara berkala yang dilakukan pemerintah.
Daftar Pustaka
Buletin
DTE Edisi Khusus.2011.”Tanah Papua: perjuangan
yang berlanjut untuk tanah dan penghidupan”. November 2011 (www.forestpeople.org) diakses pada 27 September 2014 pukul 16.50
WIB
Ginting,
Longgena. And Oliver Pye. 2011. Resisting
Agribusiness Development: The Merauke Food and Energy Estate in West Papua,
Indonesia.
Lihat
Franciscans International 2011 (www.franciscansinternational.org) diakses pada tanggal 28 September
2014
Harian Kompas, 6 Agustus 2010
The Jakarta Post. 2011. “MIFEE must
benefit indigenous papuans everyone”.(http://www.thejakartapost.com/news/2011/04/30/mifee-must-benefit-indigenous-papuans-everyone.html)
Komentar