UAS Antropologi
Budayanya Mahasiswa
365
hari, bukan waktu yang singkat untuk merantau, berlayar di tengah lautan ragam
manusia, tenggelam dalam larutan keringat yang bercampur antara orientasi
materi ataukah jati diri. Bila dihitung-hitung, jumlah per sekonnya sudah
mencapai: 365 x 24 x 60 x 60. Kalkulasi alat mengeluarkan nominal 31.536.000
detik, yang belum terhitung dengan tambahan persentasi relativitas rasa, di mana
1 detik, bisa saja terasa seperti 1 menit bahkan 1 jam, dan
sebagainya. Dan, dari jumlah tersebut, cuma satu hal yang saya
butuhkan: menepi. Hanya demi beristirahat di sebuah dermaga, cuma
sekadar bersandar di sebuah batu karang raksasa, atau menikmati burung camar
yang mencoba merunduk lalu mendarat. Hanya untuk memejamkan mata, menengadahkan
wajah ke angkasa, lalu merasakan sayup angin sepoi-sepoi yang sedang berkejaran
di antara ilalang, lantas terlelap sampai ke sebuah dunia, yang disebut dimensi
pikiran manusia. Lalu menghela nafas. Dan merebahkan tubuh. Dan kemudian
merasakan bahwa Tuhan itu ada, tidak cuma saya, anda, dunia dan media-medianya.
Sebuah media itu yang menjadi cara untuk memberitahukan apa yang sedang terjadi
dan menjadi cara dalam menyampaikan suatu budaya (Kottak, 2011:326).
Langkah
awal pemikiran otoetnografi tentang apa yang terjadi disekitar saya saat ini,
sebuah kehidupan kampus yang terdiri dari berbagai budaya yang tergabung di
suatu daerah tertentu. Budaya itu dipelajari, bersifat simbolik, dan bersifat
turun temurun (Kottak, 2011:27-29). Dimulai dari awal perjalanan menjalani
ospek hingga budaya budaya baru yang saya pelajari dalam kampus.
OSPEK
Orientasi
studi dan pengenalan kampus atau yang disingkat menjadi OSPEK, merupakan sebuah
kata yang tidak asing di dengar khususnya mahasiswa baru. Tahun ini saya
memasuki jenjang kampus dan merasakan bagaimana menjadi mahasiswa baru yang
mengalami masa OSPEK. Ospek merupakan gerbang awal yang di depannya telah
tersedia berbagai syarat agar kita dapat masuk didalamnya. Ospek sejatinya juga
merupakan suatu kegiatan dimana mahasiswa baru diberikan pemahaman tentang
lingkungan kampus, tentang norma-norma
yang berlaku di kampus, tentang bagaimana kehidupan akademis berjalan dan
berbagai pengenalan lainnya. Namun sayangnya, praktek Ospek yang paling umum
ditemui adalah berupa perploncoan mahasiswa baru. Para anak baru itu
diperintahkan untuk membawa dan atau mengenakan barang-barang aneh yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan hal-hal yang berbau intelektualisme, padahal
kampus dan sekolah (seharusnya) adalah tempat pembibitan intelektual.
Ospek
yang sesungguhnya saya alami saat memasuki jenjang kuliah. Dimana sebelumnya
saat masa putih merah saya masih terlalu awam untuk mengerti apa itu ospek.
Saat memasuki jenjang sekolah dasar dahulu, saya masih ingat dimana ibu saya
mengantar saya hingga saya menempati kursi di dalam kelas saya. Bahkan kadang
di awal masa sekolah saya masih dapat melihat ibu menunggui saya di depan
kelas, bahkan seskali menengok ke dalam hanya untuk melihat apakah anaknya
baik-baik saja. Perkenalan saya dengan teman saya melalui perantara ibu-ibu
yang sedang menunggui anak-anaknya. Dimana, kebanyakan dari kami saat itu masih
didampingi dengan orangtuanya. Ibunya bertanya kepada ibuku tentang siapa
namaku begitu juga sebaliknya. Dari hal ini pula, terlihat adanya peran gender
dalam budaya sehari hari yaitu suatu peran dimana perempuan mendominasi dalam
mengurus anak-anak (Kottak 2011: 213). Perkenalan kami berlangsung sendirinya setelah
itu, dengan perasaan mau tidak mau aku sudah duduk di sampingnya. Apa adanya, tanpa rasa canggung. Dan intinya,
tak ada yang dinamakan ospek di masa putih-merahku.
Masa
putih-biru saya duduk di bangku Tsanawiyah, yang bernuansa islami sehingga
praktik pengenalan sekolah dilakukan hanya dalam forum seminar dan diskusi.
Begitupula di masa putih-abu abu, saya mendapatkan beasiswa untuk dapat
bersekolah di pulau seberang teptnya di Gorontalo, Sulawesi Utara. Pengenalan
sekolah hanya dilakukan dalam suatu rangkaian kegiatan yang dinamakan MOS (masa
orientasi siswa). Tanpa embel-embel disuruh membawa makanan ataupun membuat
atribut-atribut aneh seperti kebanyakan sekolah lainnya, hal ini dikarenakan
kami hidup berasrama. Senioritas dalam dunia SMA tidak terlalu menonjol. Bahkan
tidak ada yang berperilaku membentak atau kasar pada kami. bahkan kami
diberitahu bagaimana cara beradaptasi terhadap lingkungan baru yang ada disana.
Ospek
kampus saya terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama adalah gerbang awal memasuki
unversitas, kedua fakultas, ketiga adalah jurusan. Kegiatan ospek itu lebih
mirip kegiatan yang memberatkan mahasiswa ketimbang kegiatan untuk mempersiapkan
memasuki dunia baru intelektual. Walaupun dalam rangkaian acara ospek ada juga
kegiatan yang "agak ilmiah", berupa ceramah umum atau acara-acara in
class dengan topik-topik tertentu. Tapi acara-acara itu lebih terasa sebagai
selingan belaka dari sebuah acara inti ospek. Misalnya kami diperintahkan untuk
membuat atribut yang diharuskan sama persis dengan perintah tanpa ada kesalahan
sedikitpun. Memakai nametag disekitar kampus yang menunjukkan identitas kami
sebagai mahasiswa baru. Dalam waktu yang ditentukan pula kami harus
mengumpulkan sejumlah tanda-tangan senior, dan untuk mendapatkan tanda tangan
tersebut kami diharuskan wawancara dengan menanyakan minat dan bakat kakak
senior, bertanya tentang ini itu sehingga terkadang menghabiskan waktu saya
yang seharusnya berleha-leha di kamar malah sibuk di kampus demi segelintir
tanda tangan .
Sedikit
cerita di akhir masa ospek fakultas yang terjadi di hari terakhir. Yang saya
ingat pada masa itu kami dikumpulkan di suatu lapangan futsal, dan
diperintahkan untuk melakukan yel-yel yang kami buat. Kurang lebih 350-an
mahasiswa baru diharapkan melakukan gerakan yang sama, namun sayangnya tidak
mudah menyatukan kami dalam jumlah besar tersebut untuk bergerak serentak.
Akhirnya kami ‘dinasihati dengan suara keras’ dikarenakan tidak menghafal
yel-yel dan sejumlah gerakan yel-yel yang angkatan kami buat. Alhasil, kami
semua diharapkan untuk menghafal yel-yel angkatan kami demi yang namanya
solidaritas angkatan. Saya ingat pula di siang yang terik itu satu-dua dari
kami jatuh pingsan, entah karena tidak tahan panas yang ada atau bahkan tidak
tahan dengan suasana yang memanas pada saat itu.
Pada
saat itu pula kegiatan tersebut memakan waktu yang ada untuk melakukan ibadah
shalat dzuhur. Tak jarang dari kami pada waktu itu bertanya “kak, kapan waktu
shalat?” dan kakak senior hanya menjawab “iya, nanti ada waktunya’ dan sepatah
dua patah kata lainnya yang mengabaikan waktu beribadah. Sebagai mahasiswa baru
(junior) yang pada saat itu merasa masih belum berani untuk memberontak,
akhirnya kami hanya mengikuti rangkaian kegiatan tersebut hingga akhir. Dan
budaya inilah yang sesungguhnya masih melekat pada diri kita dimana yang benar
masih belum berani untuk bicara, dan masih tunduk pada sistem senioritas yang
ada. Akhirnya kami melakukan shalat dzuhur diwaktu pergantian mendekati shalat
ashar, bagaimana tidak? Setelah saya selesai shalat dzuhur, sekitar 10 menit
kemudian terdengar suara adzan shalat ashar. Dalam hal ini, terlihat bahwa
kepentingan beribadah sering dikesampingkan oleh kebanyakan orang.
Dalam
praktiknya ospek semakin membudaya, sejumlah alasan dikemukakan untuk
membenarkan tindakan ini, seperti hal ini dilakukan turun temurun dan menjadi
budaya yang di lestarikan, atau acara ini dimaksudkan untuk mendekatkan keakraban
antara senior dan juniornya. Budaya merupakan sesuatu yang di bagi oleh anggota
kelompok kepada penerusnya (Kottak, 2011:28). Praktek ini tak lebih dari ajang
balas dendam senior atas apa yang mereka alami dulu ketika waktu masih junior.
Dalam
ospek yang terjadi kami mengenalnya dengan bahasa halus sebagai mabim (masa
bimbingan). Pada awalnya saya mengikuti kegiatan itu dengan lancar namun
seiring dengan berjalannya waktu, saya pun mundur dari kegiatan tersebut.
Menurut saya yang notabenenya tidak pernah mengalami kegiatan ospek ini merasa
bahwa apa gunanya saya pulang malam hanya untuk mendapatkan tanda tangan
senior. Untung saja, kegiatan ini tidak terlalu memaksakan kami untuk ikut.
Kami berhak memilih untuk ikut atau tidak dalam kegiatan tersebut. Saya
mengalami apa yang dinamakan cultural shock dimana pada saat itu saya tidak
siap dengan budaya baru yang ada sehingga saya hanya bisa menarik mundur diri
saya kemudian menyibukkan diri dengan aktifitas perkuliahan yang statusnya
akademik. Adanya stratifikasi status tertentu yang tercipta dari kegiatan
tersebut, dimana kami mulai bergabung dengan kelompok-kelompok teman yang
memiliki pemahaman yang sama. Semua memiliki resiko pastinya, begitupula dengan
keputusan saya ambil.
Resiko
yang mulai terlihat adalah dimana saya tidak terkenal atau tidak populer dalam
kelompok tersebut. Apakah suatu pertemanan harus diawali dengan kegiatan
seperti itu? Mengapa kita melihat senior sebagai sosok yang harus disegani dan
diikuti perintahnya? Hingga nasihatnya untuk tidak berteman dengan kami yang
tidak mengikuti kegiatan tersebut? Inilah asas yang menurut saya senioritas
menimbulkan suatu sikap penanaman nilai nilai yang tidak sesuai tapi terus
dilakukan secara turun temurun.
Harapannya
terhadap ospek kedepan adalah tanpa menjadikan tugas-tugas menjadi beban secara
fisik dan psikis. Menghilangkan kegiatan yang sifatnya menekan. Diganti dengan
agenda yang mengakrabkan antara senior dan junior seperti kelompok mentoring
juga merupakan bagian salah satu bentuk keakraban terhadap senior. Nilai plus
yang kita dapat peroleh dari OSPEK itu sendiri adalah adanya peran pengenalan
seluk-beluk apa yang ada di dalam kampus. Bagaimana jika tidak ada OSPEK?
Apakah kaum cendekiawan kita hanya akan dibangun dengan rasa individualistis, yang
kerjanya di kampus hanya mengejar IP tinggi dan dapat gelar sarjana? Karena
kita makhluk sosial maka sepantasnya kita harus dapat berperan dalam kegiatan
kampus.
Mahasiswa dan aksi unjuk rasa
Baru-baru
ini saya melihat media massa yang kerap memberitakan tentang aksi demo yang
dilakukan oleh generasi-generasi muda bangsa, yaitu para mahasiswa (Republika
online 2014). Unjuk rasa merupakan suatu bentuk partisipasi rakyat yang
diwujudkan dalam bentuk verbal. Namun sebenarnya bentuk aspirasi rakyat tidak
hanya dikeluarkan dalam bentuk unjuk rasa, ada juga dalam bentuk seni yang
lebih halus seperti seni suara, menyanyi seperti lagu-lagu yang dibuat Iwan
Fals, seni gambar misalnya yang berbentuk grafiti di jalanan. Namun kebanyakan
mahasiswa menyalurkan aspirasinya dengan cara unjuk rasa yang menimbulkan
banyak akibat. Unjuk rasa yang berujung anarkis dilakukan untuk menolak
kenaikan BBM yang menurut saya merupakan suatu pergerakan yang amat tidak
cerdas.
Dalam
sistem politik kegiatan demo ini merupakan bentuk dari kontrol sosial terhadap
pemerintahan yang ada (Kottak, 2011:202) Namun apakah benar mahasiswa
menyuarakan aspirasi rakyat? Apakah harus dengan tindakan anarkis dengan
membakar ban yang kemudian menimbulkan kemacetan, global warming bahkan ketakutan
di masyarakat? Jika pergerakan seperti ini dinilai berperan dalam partisipasi
politik yang ada maka akan terjadi lagi sebuah kekuatan massa seperti tahun
1998. Kekuatan yang hanya bisa menggulingkan kekuasaan tapi tidak bisa
diandalkan untuk membangun negeri. Dimana budaya masa lampau dijadikan sebagai
suatu kekuatan tertentu yang dapat diikuti masa setelahnya (Kottak, 2011:72). Mentang-mentang
tahun demo 1998 menjadi titik tonggak reformasi maka lahir pula demo-demo yang
selalu menuntut kebijakan pemerintah?
Jika
mahasiswa terus bertindak seperti ini yang mengutamakan demo-demo yang diliputi
kekerasan dan anarkis maka simpati masyarakat akan berkurang dengan sendirinya.
Mahasiswa bukan lagi menjadi agent of
challenge akan tetapi menjadi agent
of terror. Menurut saya, masyarakat tidak membutuhkan demo atau turunnya
BBM, akan tetapi lebih membutuhkan tangan tangan yang mendampingi mereka di
tengah kesulitan, menyiasati beban hidup yang berat dan membuka lapangan
kesempatan berkarya. Bagaimana sistem ekonomi saat ini bekerja lebih
memaksimalkan kepada sumber daya yang ada dan mencari pengganti sumber daya itu
dengan sumber daya yang lainnya (Kottak, 2011:171). Sebuah pergerakan yang
terjun langsung kepada rakyat, bukan tindakan anarkis pada pemerintah yang
bahkan belum tentu di dengar. Seharusnya dalam konteks kenaikan BBM ini para
generasi-generasi muda memiliki pemikiran kritis tentang bagaimana adaptasi ekonomi
yang harus dilakukan selanjutnya (Kottak, 2011:157). Minyak bukanlah barang
kebutuhan yang terus-terusan selalu ada dalam hidup akan tetapi seharusnya ini
menyadarkan kepada kita bahwa tidak selamanya kita bisa tergantung pada minyak.
Justru dengan adanya kelangkaan ini para generasi muda seharusnya memiliki
penemuan terbaru untuk menanggulangi permasalahan yang ada.
Titip Absen
Suatu
hari dikelas dosen datang dan memberikan buku absensi untuk ditandatangani
satu-satu. Ketika absen itu sampai ke tangan saya yang kebetulan menjadi orang
terakhir untuk menandatanganinya, sekilas saya melihat buku tersebut penuh
padahal dari jumlah yang ada saat ini di kelas hanya sedikit yang datang.
Budaya yang menjamur pada saat kuliah seperti ini adalah titip absen atau yang
sering disebut dengan tipsen atau TA. Saya hanya heran kenapa beberapa
mahasiswa melakukan hal tersebut padahal jika hanya memenuhi absen, dapat nilai
A, dapat ijazah buat apa kuliah? Perlu adanya pola pikir dimana kuliah
merupakan tempat untuk menimba ilmu bukan sekedar tanda tangan absensi. Praktik
korupsi terkecil justru dimulai dari mahasiswa. Yang menurut saya korupsi ada
di dalam diri sendiri. Saya merasakannya, dimana mulai dari diri saya segan
untuk menegur teman yang menyontek, titip absen dsb. Mahasiswa mana yang berani
pernah melaporkan temannya menyontek? Bisa bisa nanti diberi julukan pengadu,
penjilat, sok suci dsb. Ya itulah realitanya dimana masih sedikitnya orang yang
berani dalam menegakkan kebenaran. Saya jadi ingat kata-kata dari sosok menteri
kita bapak Anies Baswedan dimana beliau berkata “Janganlah apatis kawan, kampus
adalah miniatur dari negara kita. Sebuah negara akan hancur karena orang-orang
baik DIAM”.
Penutup
Dunia
kampus adalah suatu dunia heterogen, dimana kebudayaan-kebudayaan berbeda
tercampur menjadi satu dalam suatu sistem yang ada. Saya yang notabenenya
merupakan anak yang dididik dengan sistem aturan disiplin dari dalam keluarga
melihat fenomena ketidakdisiplinan tersebut menjadi suatu hal yang tidak harus
dilestarikan dan perlu ditindaklanjuti. Mahasiswa yang dipandang sebagian
masyarakat sebagai masyarakat yang berilmu diharapkan dapat mengaplikasikan apa
yang sudah dipelajari kepada masyarakat secara baik dan benar. Diharapkan juga
mahasiswa dapat berpikir secara lebih kritis dalam menanggapi suatu masalah
tertentu.
Daftar
Pustaka
Philip, Kottak. 2011. Cultural Antrhropology: Appreciating
Cultural Diversity. New York: Mc Graw Hill.
Effendi, Tyas. 2012. “Titip absen budaya
yang menjamur dikalangan mahasiswa”. (sosbud.kompasiana.com) diakses pada
tanggal 15 desember 2014
Jafkhairi. 2014. “aksi demo mahasiswa di
berbagai daerah tolak kenaikan harga bbm”. (http://www.republika.co.id/)
Komentar