UTS Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana



JAKARTA, KOMPAS.com — Akhir November tahun lalu, publik dikejutkan dengan aksi tolak kriminalisasi dokter. Sejumlah dokter dan rumah sakit menggelar aksi sebagai bentuk solidaritas terhadap dihukumnya tiga dokter ahli kandungan, Dewa Ayu Sasiary, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian oleh Mahkamah Agung. Menteri Kesehatan tidak mau  kalah dengan demo dokter. Pernyataan seperti “tidak mungkin seorang dokter akan niat membunuh. Profesi dokter adalah pekerjaan mulia” menambah kisruh dari persoalan diatas. Belum lagi tuduhan cukup serius bahwa hakim tidak mengerti dengan urusan medis, harusnya cara ini harus diselesaikan dengan Majelis Kode Etik Dokter. Sehingga hakim dianggap tidak boleh memutuskan masalah medis. Ketiga dokter itu sempat dibebaskan oleh majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado. Majelis hakim menyatakan, tiga dokter spesialis itu tidak terbukti melakukan kelalaian. Namun, oleh majelis kasasi, putusan itu dibatalkan. Tiga hakim agung (Artidjo Alkostar, Dudu Duswara Mahmudin, dan Sofyan Sitompul) menemukan kekeliruan penafsiran oleh hakim PN Manado. Majelis menyatakan, tiga dokter itu terbukti melakukan kesalahan seperti diatur dalam Pasal 359 KUHP. Maka, majelis kasasi menjatuhkan hukuman kepada tiga dokter muda itu pidana penjara masing-masing 10 bulan (www.kompas.com edisi 27 November 2013).

Didalam ilmu hukum pidana, kita mengenal kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur didalam buku 2 KUHP. Sedangkan Pelanggaran diatur didalam buku 3 KUHP.
Dalam praktek, kejahatan merupakan kesalahan yang disebabkan dari kesengajaan dan kelalaian. Untuk menentukan apakah perbuatan dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dan kelalaian selain rumusan tersebut telah diatur didalam peraturan perundang-undangan, juga dapat dilihat dari berbagai doktrin para ahli yang merumuskannya.
Bentuk-bentuk kesalahan :
1.      Dolus/opzet/intention/kesengajaan
Dolus atau kesengajaan adalah niat/itikad yang diwarnai sifat melawan hukum, kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak.
Menurut Prof Satochid : kesengajaan adalah melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak.
Ilmu hukum pidana membedakan kesengajaan dalam tiga tingkat
·         Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (dolus als oogmerk atau opset als oogmerk) : Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suau tindakan pidana, si pelaku pantas dikenakan hukum pidana karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi di pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
Ciri-cirinya: tindakan melakukan sesuatu/tindakan tidak melakukan sesuatu, tindakan yang menimbulkan akibat yang dilarang, dikehendaki/niat (mens rea), dimengerti atau paham dan tahu bahwa tindakan tersebut melanggar hukum.
Contohnya: si A membunuh B dengan menikamnya dengan pisau. Terhadap terbunuhnya B hal ini merupakan kesengajaan dengan tujuan.
·          Kesengajaan sebagai kepastian (opzet met zekerheidsbewuszijn atau noodzakelijkheidbewustzijn) : Kesengajaan ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Dengan kata lain, bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain. Tapi pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain demi tercapai tujuan itu.
Ciri-cirinya: akibatnya bukan tujuan, paham (akibat yang terjadi), “kepastian” konteks sangat besar kemungkinan terjadi.
Contohnya: si A ingin membunuh B di suatu ruangan maka A harus merusak pintu ruangan tersebut kemudian membunuhnya. Membunuh si B merupakan kesengajaan sebagai tujuan, tidak akan terjadi tanpa masuknya si A diruangan tersebut yaitu dengan merusak pintu ruangan tersebut. merusak pintu ruangan tersebut merupakan kepastian terjadi jika si A ingin membunuh si B.
·         Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk opzet), Kesengajaan ini yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
Ciri-cirinya: akibat dari tindakan bukan tujuan, akibat yang bukan tujuan tersebut tidak diyakini terjadi atau tidak dibayangkan kepastiannya.
Contohnya: si A bermaksud membunuh B dirumahnya dengan bom, Bom dipasang dirumahnya. Akibat ledakan bom memungkinkan sekali akan mengenai orang-orang selain B seperti anaknya (si C) yang bermain didalam rumah.
Ada kesengajaan sebagai tujuan dalam matinya si B dan kesengajaan kemungkinan terhadap kematian anaknya (si C).

Dalam dolus eventualis dikenal teori “apa boleh buat” (iknkauf nehmen) yakni untuk mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan disamping maksudnya itupun diterima karena kalau resiko yang diketahui kemungkinan akan adanya itu sungguh-sungguh timbul (disamping hal yang dimaksud), apa boleh buat, dia juga berani pikul resiko (Teori Prof.Moeljatno, SH)

Selain itu, sifat kesengajaan juga terbagi menjadi dua berdasarkan sadar atau tidaknya si pelaku melakukan tindak pidana yang melawan hukum,yaitu:
1. Sifat kesengajaan yang berwarna (gekleund) Teori ini dianut oleh Sevenbergen yang mengatakan: Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, yang berarti sengaja untuk berbuat jahat (boos opzet), sehingga dalam kesengajaan harus adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan. Sifat kesengajaan yang berwarna menjelaskan bahwa harus ada hubungan antara keadaan batin si pelaku dengan melawan hukum perbuatannya, dimana untuk adanya kesengajaan, si pelaku perlu menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang.
2. Sifat kesengajaan yang tidak berwarna (kleurloos) Teori ini dianut oleh Simons, Pompe, Jonkers, dan M.v.T. Teori ini menyimpulkan bahwa cukuplah pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang dan tidak perlu mengetahui perbuatannya itu dilarang.

Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesengajaan (dolus) mengenal berbagai macam kesengajaan, antara lain:
a)      Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
b)      Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
c)      Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
d)     Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang.
e)      Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
f)       Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
g)      Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).

2.      Kelalaian/culpa Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), kelalaian biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 359 KUHP, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, yang mengatakan bahwa “karena salahnya” sama dengan kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian. Kelalaian ini dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan dengan tidak sengaja itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin (dengan sengaja/niat) pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.


Daftar Pustaka

Hamzah, Andi. 1991. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Rineka Cipta. Jakarta. 2002), h. 132

Marpaung. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik). (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 192

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.




Komentar

Postingan Populer