analisis kasus aceh singkil dengan sosiologi hukum


Analisis Kasus Aceh Singkil dengan Materi Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum merupakan hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya terutama dengan struktur sosial dan dinamika sosial. Dalam kasus peristiwa konflik dan pembakaran gereja di Aceh Singkil dapat kita analisis dalam ilmu semiotika  yang berupaya menemukan makna dalam terjadinya suatu berita. Dalam hal ini kita dapat menafsirkan “tanda” yang ada dengan melihat apa yang ada di belakang dan melihat “tanda-tanda” kedepannya seperti apa yang akan mungkin terjadi kemudian hari. Charles Sander Pierce, salah seorang pendiri semiotika, pernah berkata “....dunia ini bertaburan dengan tanda-tanda, jika tidak tersusun dari tanda-tanda yang ekslusif”. Oleh karenanya, amat logis bagi kita untuk memahami apakah tanda-tanda itu dan bagaimana mereka berfungsi. Akhirnya manfaat dari semiotika adalah untuk menggali dan mengerti tentang sesuatu dari tanda-tanda yang menarik dan mengandung petunjuk tentang kita sendiri sebagai manusia.
Hukum tidak dapat dilepaskan dengan masyarakat, baik dalam pembuatan hingga pelaksanaannya. Hukum pula disamping memiliki sifat normatif tetapi hukum juga memiliki dimensi empiris. Dalam kasus ini hukum yang normatif yang tercantum dalam undang-undang adalah tentang kerukunan ibadah beragama dan pembangunan rumah ibadah. Dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh dalam bidang agama, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama dan kemudian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus di Aceh dinilai sudah cukup sebagai dasar hukum pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
“Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa Aceh bebas untuk menjalankan hukum Allah SWT bagi seluruh rakyatnya. Siapapun anda, suku apa saja, muslim atau non muslim harus patuh dan taat terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di Aceh,” tegas Juru Bicara FUI, Hambalisyah Sinaga juga Ketua Front Pembela Islam (FPI) Aceh Singkil dalam CNN Indonesia. Soedarmo menjelaskan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika membangun rumah ibadah. Syarat tersebut sesuai dengan kesepakatan antara Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri yang tercantum dalam Peraturan Bersama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 soal kerukunan beragama dan pembangunan rumah ibadah. Syaratnya itu di antaranya harus mendapatkan persetujuan dari warga setempat paling sedikit 60 orang dan mendapatkan 90 KTP dan tanda tangan dari umat," ujarnya.
Pendirian rumah ibadah masih menjadi polemik dimana pendirian rumah ibadah saat ini masih berada di bawah peraturan bersama menteri. Aturan ini perlu dievaluasi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Emile Durkheim bahwa hukum sebagai moral sosial, pada hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial. Hukum sebagai moral sosial karena hukum harus dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat maka timbul nilai-nilai solidaritas masyarakat. Dalam mengungkapkan gagasannya tentang hukum, Durhkeim bertolak dari penemuannya di masyarakat. Dengan metode empirisnya ia membuat kesimpulan bahwa hukum sebagai moral sosial pada hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan solidaritas. Menurut Durkheim, dalam solidaritas ada konsep kolektif atau kesadaran bersama (common consiousness), yang merupakan hasil kepercayaan dan perasaan dari seluruh anggota masyarakat. Menurut Durkheim, terkait dengan hukum, dalam masyarakat terdapat dua jenis solidaritas, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis dapat ditemukan ekspresinya dalam pelanggaran kaidah hukum yang bersifat represif. Solidaritas ini untuk menanggulangi ancaman-ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang disebut kesadaran nurani kolektif.
Sementara itu, dengan perkembangan kerja yang semakin cepat, individu-individu tidak akan selamanya sama, sebab pekerjaan mereka mengikuti fungsi spesifik. Akan tetapi, perasaan solidaritas mengikuti pembagian kerja, yang membawa pada posisi saling melengkapi. Hal inilah yang menyebabkan kegiatan bersama sebagai sumber perasaan solidaritas dari macam-macam peradaban tertentu. Sebagai pengganti saling bertentangan dan saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga pembagian kerja menentukan bentuk kontrak moral baru antara individu. Durkheim menamakan ini sebagai solidaritas organis. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Mayjen Soedarmo mengatakan kasus yang terjadi di Aceh Singkil terjadi karena warga menolak adanya gereja tersebut. Penolakan tidak mendapatkan respon yang baik dari pemerintah daerah setempat sehingga warga bersikap anarkis.

"Perlu ditegaskan, tidak ada maksud untuk tidak mengurus izin gereja. Tetapi realitasnya, pengurusan izin mendirikan rumah ibadah sangat sulit dan bahkan sering tidak diperolehkan walau sudah diupayakan maksimal," ungkap dia dalam siaran pers PGI (13/10).

Hal ini berkaitan dengan apa yang dikatakan Karl Marx bahwa hukum adalah alat yang menyebabkan timbulnya konflik dan perpecahan, seperti diutarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang menyayangkan kekerasan ini. Pasalnya, sebelum kejadian sudah ada kesepakatan antara Bupati Aceh Singkil, Muspida, Ulama dan sejumlah kelompok tentang pembongkaran gereja. Dalam penilaian Henriette, kejadian itu juga tak tak lepas dari sulitnya mendapat izin mendirikan bangunan (IMB) di tempat tersebut. Terhitung, sejak tahun 1979, 2012 hingga sekarang, pihak gereja selalu ditolak mendirikan bangunan. Kesulitan-kesulitan yang timbul terhadap izin mendirikan bangunan dipengaruhi oleh birokrasi yang ada. Dimana dalam hal ini Marx berpendapat bahwa hukum merupakan alat integrasi, akan tetapi hukum pula yang merupakan pendukung ketidaksamaan yang dapat membentuk perpecahan kelas yang dalam hal ini pihak pemerintah bisa saja mempersulit izin tersebut dengan alasan-alasan untuk melindungi kelompok dominan. Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu tentu saja peranan hukum dalam masyarakat teratur dalam masyarakat cukup penting.

Sedangkan bagi kaum postmodem, “perbedaan” ini merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah dalam mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati. Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Para penganut critical legal studies mengkritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan negara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, dimana terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktifitas negara yang bersifat normatif. Kedepannya diharapkan kejadian ini tidak terulang lagi yaitu dengan mengedepankan toleransi antar umat beragama. Negara mesti hadir sebagai perekat kohesivitas sosial. Peraturan, regulasi, ketentuan terkait dengan pendirian rumah ibadah itu tetap diperlukan. Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang mengatur regulasi pendirian rumah ibadah merupakan sesuatu yang sudah disepakati bersama dan melalui proses yang panjang. Peninjauan ulang itu tidak harus berujung pada dicabutnya PBM tersebut. Jadi evaluasi itu harus dilakukan, karena kemudian kita akan melihat apakah ada bagian-bagian tertentu yang harus disempurnakan dari PBM itu. Tapi tidak menghilangkan semuanya, tapi justru bagaimana penyempurnaan-penyempurnaan.
Sumber:
Materi dalam PPT pada Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Komentar

Postingan Populer