Deliquency and Juvenile Deliquency
DELINQUENCY
& JUVENILE DELINQUENCY
Bynum dan Thompson (1996,
hlm 5-15), mengartikan perilaku delinkuensi dalam tiga kategori, yaitu the legal definition, the role definition, dan the societal response definition. Ketiga
kategori tersebut memiliki pengertian masing-masing, yaitu :
1.
The
Legal Definition (Definisi Legal)
Secara
legal perilaku delinkuensi diartikan sebagai segala perilaku yang dapat menjadi
kejahatan jika dilakukan oleh orang dewasa atau perilaku yang oleh pengadilan
anak dianggap tidak sesuai dengan usianya, sehingga anak tersebut
dipertimbangkan melakukan perilaku delinkuensi berdasarkan larangan yang
diberlakukan dalam undang-undang status perilaku kriminal dari pemerintah
pusat, negara dan pemerintah daerah. Namun, tidak semua perilaku pelanggaran
dapat dikategorikan sebagai kriminal. Perilaku delinkuensi merupakan perilaku
yang dilakukan remaja, yaitu meliputi pelanggaran peraturan yang diberlakukan
bagi anak seusianya.
2.
The
Role Definition (Definisi Berdasarkan Peran)
Segi
peran memfokuskan arti perilaku delinkuensi pada pelaku antisosial daripada
perilaku antisosial, pengertian ini mengungkap, ”Siapakah yang melakukan
perilaku delinkuensi?”. Pengertian mengacu pada individu yang mempertahankan
bentuk perilaku delinkuensi dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga
kehidupan serta identitas kepribadiannya terbentuk dari perilaku menyimpang
(deviant). Konsep sosiologis yang berhubungan dengan pengertian peran dalam
mendeskripsikan perilaku delinkuensi, yaitu status sosial dan peran sosial.
Status sosial merupakan pengaruh posisi seseorang dalam hubungannnya dengan
orang lain dalam kelompok sosial atau masyarakat. Peran sosial diartikan
sebagai perilaku yang diharapkan untuk ditunjukkan dari seseorang yang memiliki
status dalam suatu kelompok sosial atau masyarakat.
3.
The
Societal Response Definition (Definisi Berdasarkan Respons Masyarakat)
Pengertian
dari segi societal response, menekankan pada konsekuensi sebagai akibat dari
suatu tindakan dan/atau seorang pelaku yang dianggap melakukan suatu perilaku
menyimpang atau delinkuensi, dimana audience yang mengamati dan memberi
penilaian terhadap perilaku tersebut. Audience adalah kelompok sosial atau
masyarakat dimana pelaku menjadi anggotanya.
Berdasarkan ketiga kategori
pengertian di atas, Bynum dan Thompson (1996), mengartikan perilaku delinkuensi
dengan mengkombinasikan ketiga kategori tersebut :
“Delinquency reffering to illegal conduct by
a juvenile that reflects a persistent delinquent role and results in society
regarding the offender as seriously deviant. Deviant is conduct that is
perceived by others as violating institutionalized expectations that are widely
shared and recognized as legitimate within the society.” (Bynum &
Thompson, 1996)
Jika ditermahkan menjadi:
Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk perilaku ilegal yang mencerminkan peran
kenakalan yang terus-menerus, dimana perilaku tersebut oleh masyarakat dianggap
sebagai penyimpangan yang sangat serius. Perilaku menyimpang tersebut diartikan
oleh orang lain sebagai ancaman terhadap norma legitimasi masyarakat.
Sedangkan menurut Shoemaker
(2010, hlm.3-5) kenakalan termasuk dalam tindak kejahatan, juga termasuk ke
dalam bermacam-macam perilaku yang tidak termasuk kriminal. Menurut Shoemaker,
delinkuensi ditentukan oleh beberapa parameter antara lain :
-
Parameter
Batas Umur Atas (upper-age limit parameter), yaitu merujuk pada mayoritas usia yang
dianggap dewasa, setidaknya pada tahap ini mereka telah memiliki hak memilih
dan status sipil-maksimal 18 tahun.
-
Parameter
Batas Umur Bawah (lower-age limit parameter), yaitu berdasarkan tradisi hukum yang
dianut secara umum, seseorang di bawah usia 7 tahun tidak bisa dijatuhi
hukuman.
-
Sifat
dari Kejahatan (the nature of the offenses), yaitu
termasuk tipe-tipe kejahatan yang dapat memberatkan kasus seorang anak menjadi
kasus orang dewasa.
Sehingga jika merujuk pada
ketiga parameter tersebut, maka definisi delinkuensi dapat disimpulkan
sebagaimana berikut ini :
1. Pelanggaran
yang dianggap sebagai sebuah tindak kejahatan dalam norma legal atau
undang-undang yang berasal dari kesepakatan bersama kelompok masyarakat atau
negara dan hal itu dilakukan oleh anak atau remaja di bawah usia dewasa
(biasanya delapan belas tahun atau sesuai undang-undang).
2. Pelanggaran
yang tertulis dalam undang-undang dan dilakukan oleh mereka yang di bawah
kategori usia dewasa.
Shoemaker juga menyoroti
perbedaan batas maksimum usia peradilan anak. Biasanya, batas maksimum usia
peradilan anak adalah 18 tahun, namun sayangnya beberapa negara memiliki
standar usia yang lebih rendah dari 18 tahun. Pada dasarnya, para pembuat
kebijakan perlu mempertimbangkan sistem perkembangan manusia, baik dewasa maupun
anak-anak, tanpa menghilangkan nuansa perkembangan manusia itu sendiri. Sebab
tampaknya perlu dibentuk definisi yang lebih konsisten mengenai batasan masa
kanak-kanak dengan mempertimbangkan aspek-aspek pertumbuhan dan kedewasaan pada
diri seseorang baik secara biologis, psikologis, maupun sosial.
Penjelasan lain mengenai
kenakalan anak juga dikemukakan oleh John Muncie (1999, hlm.38). Istilah
‘kejahatan’ dan ‘kenakalan’ cenderung di sama-ratakan yang pada akhirnya
menimbulkan masalah dalam membedakan antara berbagai bentuk perilaku yang
dilakukan oleh orang dewasa dan anak-anak atau remaja. Istilah ‘penyimpangan’,
‘non-konformitas’, serta ‘kenakalan’ digunakan untuk melingkupi bermacam
tindakan salah yang tidak terjawab oleh hukum. Definisi ini mungkin memang
berguna, bukan dalam mendalami kenakalan anak itu sendiri, namun dalam hal
menarik perhatian masyarakat tentang berbagai bentuk perilaku yang sering
dihilangkan dalam wacana mengenai ‘kejahatan’.
Presdee (1994) dalam Muncie
(1999) berpendapat bahwa pengertian kenakalan anak seharusnya dikaitkan dengan
konsep mengenai pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan atas dasar keinginan
untuk mencari rasa kepuasan dan kegembiraan (excitement). Dengan cara inilah, kemudian kita dapat membedakan
antara kejahatan dan kenakalan anak, keberadaannya dalam masyarakat, serta
esensi dari motivasi dilakukannya kejahatan dan kenakalan anak.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Bynum, Jack E & William E Thomson. (1996). Juvenile Delinquency: a sociological approach, 7th ed. USA: Pearson
Education Inc.
[2]
Muncie, J. (1999). Youth and Crime: A
Critical Introduction. London: SAGE Publication Ltd.
[3]
Shoemaker, Donald J. (2010). Theories of
Delinquency: An Examination of Explanations of Delinquent Behavior, sixth
edition. Oxford University Press.
Komentar