School and Deliquency
Schools and Deliquency
Pendidikan
adalah salah satu institusi sosial dan merupakan bagian dari bentuk transmisi
kebudayaan, termasuk didalamnya nilai
dan norma yang menyangkut anggota sosial. Karena ini menjadi sangat penting
dalam fungsi sosialisai. Masyarakat kita mengharuskan tiap anak mereka untuk
bersekolah dalam kurun waktu tertentu. Bagaimanapun kualitas dan keberadaan
sarana pendidikan memiliki peran penting dalam pembentukan pribadi generasi
muda.
Hingga
kini sekolah juga dapat menjadi arena konflik dan konfrontasi dari banyak
kalangan muda yang dimana didalamnya mereka membangun pola perilaku delikuen.
Sekolah
menjadi suatu Arena. Dimana arena berarti tempat umum yang dimana individu atau
grup yang melawan satu sama lain dalam mempertahankan faktor dominan dan
seringkali untuk kelangsungan hidup. Sekolah umum seringkali menjadi suatu
tempat pertemuan dimana pertamakali penyimpangan anak terjadi yang bertentangan
dengan perilaku kesehariannya.
Sekolah dan proses sosialisasi
Sekolah
menjadi institusi sosial pertamakali yang dipercaya disamping keluarga yang
menjadi bagian utama dari agen sosialisasi bagi anak-anak. Sekolah menjadi
tempat sosialisai dalam 2 bentuk yaitu: transmisi kemampuan kognitif, dan
transmisi budaya normatif.
Emile
Durkheim (1906)
“Pendidikan
terdiri dari metodologi sosialisasi bagi generasi muda.... yang mempengaruhi
terhadap latihan perkembangan generasi dewasa yang belum siap terhadap
kehidupan sosial...”
Dua
dasar pertanyaan yang terdapat dalam usaha sekolah dalam mempromosikan
internalisas perilaku, nilai-nilai sosial , nilai norma dan kepercayaan.
Pertama, perilaku, nilai, dan kepercayaan
apa yang diajarkan? Kedua, bagaiamana sekolah mengajarkan hal tersebut?
Dalam
kesempatan lain, sekolah menjadi suatu tempat yang menuntut tugas sosialisasi
yang dimana terdalamnya terdapat berbagai grup dengan kultur yang berbeda.
Sebagai contohnya guru yang berlatar belakang dari ras putih, kelas menengah
dan latar belakang protestan. Kebanyakan murid mengindikasikan bias yang kuat
terhadap nilai-nilai kelas menengah dalam sekolah mereka, perbedaan yang
terlihat adalah adanya latar belakang yang berbeda antar antara kelas menengah
grur mereka yang dapat meletakkan dasar-dasar
untuk orang yang nasibnya tidak beruntung dan menimbulkan situasi
pembelajaran yang tidak produktif. Penelitian yang lain menemukan bahwa
keluarga yang berasal dari kelas menengah lebih banyak menginternalisasi
norma-norma seperti nilai kompetisi, kesopansantunan, dan menunda memuaskan
kegembiraan yang dimana banyak dari mereka lebih banyak sukses dalam sekolah
umum (Braun,1976; Jencks et al, 1972).
Kenakalan anak dan pengalaman di
sekolah
Penelitian
menunjukkan bahwa kurangnya pelaksanaan di sekolah dan pengalaman negative yang
sering didapat di sekolah menghasilkan suatu kenakalan anak. Harry Gracey (1977) bagaimana hari pertama
anak di sekolah menjadi subjek otoriter orang dewasa untuk menentukan mana yang
benar dan mana yang salah dan melabel murid sebagai “baik” dan “buruk
berdasarkan persepsinya. Dimana dalam hal ini sekolah memiliki kekuatan untuk
mengatakan seorang anak itu menyimpang atau tidak. Berdasarkan pendekatan
labelling akibat dari label negative terhadap anak dan kemudian menjadikan anak
tersebut menjadi pribadi apa yang dilabelkannya tersebut menjadi sesuatu yang
dinamakan self fulfilling prophecy.
Sekolah sebagai perangkat screening
Salah
satu fungsi penting dari lembaga pendidikan di masyarakat kita adalah untuk
mengakui prestasi akademis dan perkembangan intelektual melalui pemberian
mandat akademis. Dalam pengertian ini, sekolah dirancang untuk melayani sebagai
‘device’. Semua orang dalam
masyarakat kita seharusnya diberikan kesempatan yang sama dalam hal akses ke
sistem pendidikan kita. Anggapan ini sangat dipertanyakan, karena ada beberapa
individu telah ditolak aksesnya terhadap pendidikan atas dasar ras, latar
belakang etnis dan variabel sosial lainnya. Namun demikian, hal itu telah
menjadi banyak diberitakan di masyarakat kita bahwa kesempatan untuk pendidikan
adalah hak dan bukan hak istimewa.
Peter
dan Brigitte Berger (1975: 188) menunjukkan, "Karena sistem pendidikan
berisi rangkaian tanpa akhir rintangan, adalah penting bahwa tidak semua harus
berhasil di dalamnya; itu telah ditentukan bahwa beberapa harus gagal untuk
mencapai puncak". Mereka yang memiliki potensi, bekerja dan belajar paling
rajin, dipandang secara sah mendapat pengakuan akademik tinggi daripada yang
lain. Kemampuan akademis, pada akhirnya digunakan dalam berbagai cara yang
mempengaruhi pekerjaan, pendapatan, perumahan dan hampir semua komponen dari
gaya hidup dan status sosial (Collins, 1971) Edgar Friedenberg (1959) berpendapat bahwa kemampuan
akademis yang lebih dari kecerdasan dan prestasi akademik, menandakan kesediaan
individu untuk bertahan aturan. Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa sekolah
melestarikan status quo dengan menjamin bahwa mereka yang gagal di sekolah juga
gagal dalam masyarakat. Dari perspektif ini, maka tidak mengherankan bahwa
kegagalan di sekolah dan kenakalan remaja berkaitan erat.
Mark
Colvin dan John Pauly (1983) menguraikan hubungan antara latar belakang
keluarga, kegagalan sekolah dan kenakalan remaja. Mereka menunjukkan bahwa
status sosial ekonomi keluarga anak telah dikaitkan dengan sekolah, yang untuk
sebagian besar menentukan kelompok sebaya siswa. Sistem ini dinamakan ‘tracking’ yang mengacu pada pada
strategi pendidikan di mana siswa secara kasar dianggap setara dalam kecerdasan, berdasarkan tes
standar, kinerja akademik sebelumnya, dan kriteria lainnya, lalu ditempatkan di
kelas yang sama, dan berdampak penting pada prestasi akademik anak di kemudian
hari(Gamoran, 1992) Stanford University, 1994).
Dalam
sebagian besar, status pemuda dan identitas sosial terhubung dengan kinerja
sekolah. Carl Wertman (1976) membandingkan kebutuhan identitas untuk orang
dewasa dan anak-anak. Dalam masyarakat kita, orang dewasa status dan identitas
biasanya diperoleh melalui kerja dan kemakmuran. Anak laki-laki (terutama dari
kelas bawah) yang tidak memiliki akses ke modal yang digunakan untuk membangun
status sosial, akan menggunakan modal apa saja yang ada di lingkungan mereka.
Mereka mungkin menegaskan otonomi mereka dengan berkelahi dengan siswa lain
atau menolak aturan dan otoritas sekolah. Walter Schafer dan Kenneth Polk
(1976) melaporkan kemungkinan dimensi lain dari peran sekolah dalam
memproyeksikan anal dalam perilaku nakal. Mereka menunjukkan bahwa pendidik sering
menganggap korelasi antara kekurangan pendidikan dan masalah perilaku itu
dikategorikan dalam definisi "bodoh" atau buruk. Anak-anak ini
menjadi sadar akan evaluasi negatif ini karena keterasingan mereka diperdalam
dan mereka meningkatkan pembolosan sebagai bentuk lain dari kenakalan.
Travis
Hirschi dan Michael Hindelang (1977) berpendapat bahwa IQ merupakan variabel
penting tetapi sering diabaikan dalam kenakalan remaja. Mereka menyatakan bahwa
IQ sangat berhubungan dengan ketidakmampuan belajar, prestasi sekolah yang
buruk, dan kenakalan remaja. Scott Menard dan Barbara Morse (1984) berpendapat
bahwa hipotesis IQ dan kenakalan tidak memiliki dukungan empiris dan tidak
menambahkan apapun pada teori kenakalan. Mereka menunjukkan bahwa kenakalan bukan
karena IQ memberikan pengaruh kasual pada perilaku nakal , tetapi karena di
sekolah, itu dapat dipilih sebagai kriteria untuk pengobatan diferensial.
Tingkat
putus sekolah dan kenakalan berbeda-beda di masyarakat tergantung status sosial
ekonomi, ras, etnis, variabel sosial dan ekonomi lainnya telah terbukti penting
terkait dengan kedua (Figueira-MvDonough 1993, McNeal, 1997). Putus sekolah
akan berakibat sulitnya menemukan pekerjaan, dan bagi anak perempuan yang putus
biasanya dikarenakan hamil. (Cantelon dan LeBoeuf, 1997) memperluas pada
masalah yang dialami oleh beberapa anak muda di sekolah dan tanggapan
alternatif yang terbuka bagi mereka. Colvin dan Pauly (1983) memberikan wawasan
tambahan mengapa hal ini dapat terjadi. Sementara di sekolah, anak laki-laki
kelas bawah mengalami banyak kegagalan. Kegagalan di sekolah mungkin telah
membuat anak-anak ini "lebih mudah menerima pengaruh kelompok dan belajar
atitudes tertentu, motif, dan keterampilan untuk menghasilkan motif perilaku
nakal" (Colvin dan Pauly, 1983: 524). Terence Thornberry dan nya terkait
(1985) mempertanyakan metodologi ini menetapkan bahwa putus sekolah berhubungan
positif dengan kenakalan dan kejahatan kemudian lebih baik dalam jangka pendek
dan jangka panjang.
Salah satu bentuk
kenakalan yang sering tumbuh langsung di sekolah adalah pembolosan. Setiap hari, ribuan
siswa bolos sekolah tanpa alasan (Baker,
SIgmon dan Nugent,
2001). Di beberapa kota di Amerika,
tingkat pembolosan setinggi 30%, dan ada bukti
bahwa remaja yang melewatkan
sekolah lebih mungkin untuk terlibat dalam alkohol, obat-obatan, geng dan
kekerasan (baker et al, 2001; Garry,
1996). Pembolosan telah menjadi sebuah masalah besar,
seperti di beberapa kota yang administrator sekolahnya bersedia membayar siswa
untuk bersekolah. Misalnya, di Memorial SMP di San Diego, tingkat bolos sekolah
begitu tinggi sehingga sekolah mulai membayar mahasiswa 25 sen sehari untuk
bersekolah (Tedrick, 1980: 7). Salah
satu cara yang sekolah dalam bertindak sebagai perangkat skrining adalah mengusir
para siswa yang tidak dapat berhasil di sana. Untuk mahasiswa mungkin kasusnya
lebih parah lagi, mereka jauh lebih mungkin untuk bolos sekolah.
Tindakan
bolos membuat remaja menjadi menunggak. Kemungkinan yang dilakukan siswa yang
bolos sekolah biasanya seputar ruang sering pol, arcade video, pusat
perbelanjaan, atau berkeliaran sederhana jalan-jalan, dan cenderung untuk
terlibat dalam bentuk lain dari kenakalan di samping pembolosan mereka. Di
beberapa kota, polisi secara rutin berpatroli siang di beberapa pusat
perbelanjaan untuk mencari siswa yang membolos (NBC Nightly News, 1997). Dalam
kasus ini, perilaku umum siswa yang mendapatkan reputasi atau label sebagai
"orang congkak", "di luar kendali" dan "buruk" di
sekolah juga cenderung berpotensi bermasalah dengan polisi. Seperti beberapa
penelitian menunjukkan, sikap remaja seperti yang dirasakan oleh polisi menjadi
salah satu variabel yang paling signifikan dalam menentukan sikap polisi
menangani kasus ini (Lundman 1996, Piliavin dan Briar, 1964).
Schools as “Combat Zone” (Sekolah sebagai Zona Perlawanan)
Cara lain yang
digunakan remaja sebagai respon terhadap konflik nilai, frustasi, dan kerusakan
konsep diri yang mereka alami adalah dalam bentuk perlawan kembali. Seperti
yang dikemukakan oleh William Glasse (1978)[1]
bahwa siswa usia remaja yang tidak dapat mengatasi kegagalan dalam bersekolah
membuat dua pilihan: putus sekolah atau bersekolah dan membuat masalah.
Peraturan yang mewajibkan siswa untuk hadir di sekolah lah yang justru memicu
dipilihnya opsi ke dua dan akhirnya menyebabkan sekolah menjadi zona atau
tempat perlawanan.
Jika ditinjau
menggunakan pendekatan psikologis, John Dollard dkk mengemukakan bahwa
frustrasi muncul ketika seseorang tidak dapat mencapai tujuan yang
dicita-citakannya. Frustrasi ini kemudian dilampiaskan dalam bentuk perilaku
agresif.[2]
Meskipun masih banyak pertentangan mengenai hubungan sebab akibat antara
frustrasi dan agresi (terutama asumsi bahwa frustrasi pasti menyebabkan
agresi), secara umum sepakat dengan pernyataan bahwa frustrasi dapat berubah
menjadi agresi. Hal ini sejalan dengan Teori Anomie Merton yang mengemukakan
bahwa remaja yang tidak dapat mencapai tujuan-tujuan budaya yang telah
ditentukan melalui sarana-sarana legal, akan menyebabkan ia frustrasi dan
cenderung melakukan strategi adaptasi yang menyimpang untuk mengatasi situasi
tersebut.
Berdasarkan penjelasan
diatas, tidak heran jika para siswa yang berselisih dengan sistem sekolah, atau
yang dilabel negatif, atau yang tidak dapat mencapai kesuksesan di sekolah,
mereka akan menjadi frustrasi. Sebagai respon dari frustrasi ini adalah putus
sekolah (jika diizinkan) atau membuat onar di sekolah, terhadap guru dan
siswa-siswa lainnya.
Vandalism and Destruction (Vandalisme dan Destruksi)
Bentuk penyerangan
kembali yang dilakukan remaja terhadap sekolah terkadang dalam bentuk
vandalisme dan destruksi. William Sanders (1976) melaporkan bahwa sekolah
menjadi target utama vandalisme yang jahat yaitu aktivitas yang ditandai dengan
penghancuran properti berdasarkan pada motif jahat pelaku. Sekolah menjadi
target vandalisme karena perasaan kesal remaja terhadap institusi tersebut.[3]
Paul Chance (1984) menyatakan bahwa vandalisme disebabkan terutama oleh
perasaan tidak senang terhadap sekolah atau tidak disenangi oleh para guru dan
pihak sekolah lainnya. Vandalisme adalah pelanggaran terhadap properti dan
umunya tidak dianggap sebagai tindak kekerasan.[4]
James Truckenmiller
(1982) menjelaskan bahwa kurangnya akses siswa terhadap keberhasilan dalam
belajar dan bersekolah merupakan salah satu dari banyak variabel vandalisme
yang sangat prediktif.[5]
Penelitian Patricia Stagliano dan Irwin Hyman (1983) menunjukkan penerapan kode
perilaku siswa, komite guru-siswa-masyarakat, pelatihan bagi masyarakat, dan
pembentukan undang-undang yang menuntut pengawasan aktivitas vandalisme di
sekolah, merupakan solusi yang cukup berhasil.[6]
Violence and Personal Attacks (Tindak Kekerasan dan Penyerangan
Pribadi)
Vandalisme bukan
merupakan satu-satunya bentuk tindak kekerasan yang berlangsung di sekolah.
Terkadang frustrasi dan kemarahan terhadap sistem pendidikan secara langsung
ditujukan kepada para guru dan petugas sekolah. Di tahun 1991 misalnya,
penyerangan terhadap guru menjadi sangat umum di Florida, AS, yang memicu
dibentuknya peraturan yang membolehkan para guru untuk menghukum siswa nakal
dengan pistol elektrik.
Terdapat pula perubahan
pada jenis tindak kekerasan di sekolah. Peristiwa penembakan massal di sekolah
menunjukkan bahwa tindakan kekerasan di sekolah cenderung semakin bersifat
personal yang termotivasi oleh masalah tertentu diantara kedua belah pihak yang
terlibat.
Penelitian Joan
McDermott (1983) mengenai kejahatan, rasa takut akan kejahatan (fear of crime) dan viktimisasi di
sekolah dan masyarakat, menjelaskan bahwa kejahatan dan rasa takut akan
kejahatan harus ditinjau dari konteks masyarakat karena sekolah-sekolah dengan
tingkat kejahatan tinggi, cenderung berlokasi di lingkungan dengan kejahatan
yang tinggi pula.[7]
Penelitian lain
menemukan bahwa kedekatan geografis terhadap sekolah meningkatkan kemungkinan
munculnya kejahatan di lingkungan sekitar (Roncek dan LoBosco, 1983). Studi ini
juga menemukan kedekatan jarak antara area pemukiman dengan sekolah menyebabkan
semakin banyak kejahatan.[8]
Semua penelitian ini
menunjukkan bahwa tindak kekerasan dan kejahatan di sekolah, seperti halnya
masalah khusus lainnya, harus ditinjau berdasarkan konteks sosiologis yang
luas, bukan sebagai tindakan yang terisolasi. (Lawrence, 1998)[9]
School Safety and “Zero Tolerance”
Lawrence
(Bynum and Thompson, 2007 : 284) mengatakan untuk mengurangi tindak kejahatan
dan kekerasan di sekolah, hampir 95 % sekolah-sekolah di distrik berpartisipasi
dalam program yang disebut “Zero
Tolerance” dengan menetapkan sekolah sebagai zona “bebas senjata” dan
“bebas obat-obatan”. Walaupun kebijakan ini berbeda di setiap distrik, tetapi
secara umum program ini merujuk pada kebijakan sekolah yang melarang pemilikan,
penggunaan, penjualan, atau penyediaan jenis senjata, alkohol, atau obat-obatan
ilegal di sekolah berkenaan dengan fungsi sekolah. Untuk mendukung kebijakan
ini, tidak jarang ditempatkan petugas kepolisian berseragam atau tentara.
Kebijakan ini, bukannya tanpa kritik
dan masalah. Kritik yang diberikan sangat terkait dengan kehadiran petugas kepolisian
atau tentara berseragam di sekolah, dimana kehadiran mereka menunjukkan
gambaran yang buruk terhadap remaja yang kelihatannya sebagai pembuat onar,
melakukan tindakan kenakalan (delinkuensi) dan menjadi kriminal dewasa
nantinya. Tindakan ini lebih potensial untuk mengidentifikasi anak atau remaja
delinkuen, melabel, dan sangat potensial pula untuk memproduksi
delinkuen-delinkuen masa kini. Selain itu, sebagian masyarakat juga
mempertanyakan efektivitas dan peran guru dalam menyelesaikan masalah terkait
tindak kenakalan di sekolah.
Sekolah sebagai Birokrasi
Sekolah
juga merupakan birokrasi jika dinilai dari definisi dan ciri birokrasi oleh Max
Weber[10]
yaitu terdapat hierarki otoritas atau kekuasaan, terdapat peraturan dan
pengawasan dalam sistem, berlaku untuk umum dan bukan pada individu, dan ciri
lainnya. Tidak ada sekolah yang berjalan tanpa aturan dan pengawasan. Maka
seperangkat aturan inilah yang menjadi ciri utama dari sekolah sebagai
birokrasi. Akan tetapi, tidak jarang dalam sistem terdapat orang yang merasa
terasing (alienasi) oleh karena tidak konformis dengan aturan dan regulasi yang
dilakukan di sekolah.
Sekolah dan Pencegahan Delinkuensi
Dellos Kelly (Bynum and
Thompson, 2007 : 287) mengatakan bahwa perubahan harus dilakukan melalui sistem
pendidikan bukan hanya terkait lembaga pendidikan itu sendiri, program-program
yang “menyalahkan”, melabel sekumpulan anak tidak boleh diteruskan, tetapi
sosialisasi guru, orangtua dan agen sosial lainnya di sekolah yang paling
dibutuhkan untuk mengembalikan anak atau remaja delinkuen kepada hakikatnya
sebagai anak dan remaja dan bukan membentuk perilaku kriminal dewasa kelak.
Di sekolah, guru
memainkan peran penting untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kenakalan. Guru
wajib melakukan sesuatu yang membuat siswanya merasa diterima dan bukannya
ditolak karena dilabel sebagai anak nakal dan melakukan serangkaian pendekatan
untuk memecahkan masalah ketidakdisiplinan siswa (anak atau remaja) sehingga
melakukan tindakan yang oleh orang dewasa disebut sebagai kenakalan atau bahkan
kejahatan. Menurut Carl Werthman, ketika menghadapi situasi di kelas yang
“mengancam”, guru dapat memilih salah satu dari 3 cara, yaitu : hanya melihat
dan mempelajari situasi, berpartisipasi dalam kekacauan yang terjadi, atau melakukan
konfrontasi terhadap situasi kelas yang memang tidak ada hubungannya dengan
agenda pengajaran.
The National
Association of School Psychologist pada tahun 2003 (Bynum and Thompson, 2007 :
288) mengajukan disiplin yang efektif diterapkan di sekolah, yaitu :
1. Didisain
untuk tujuan mengajar dan melatih
2. Fokus
pada bagaimana berkelakuan baik, bukan sebaliknya
3. Membuat
relasi yang nyata antara kelakuan yang buruk dan konsekuensinya
4. Dilakukan
di bawah empat mata (pribadi)
5. Dilakukan
dengan kebajikan dan menghormati
6. Tidak
pernah memanggil nama, berteriak, atau mencaci.
Kenneth Polk dan tokoh
lain seperti William Pink (Bynum and Thompson, 2007 : 288) memiliki pokok
pikiran yang sama dimana sekolah sebagai institusi yang efektif untuk melakukan
kontrol sosial terhadap anak atau remaja dan dapat mengurangi bahkan
menghindarkan anak atau remaja dari tindakan delinkuen. J. David Hawkins dan
Joseph Weis (Bynum and Thompson, 2007 : 289 ) mengatakan jika pencegahan
tindakan delinkuensi juga dapat dilakukan dengan program akademis atau
pengembangan intelektual. Senada dengan tokoh tersebut, Barry Krisberg dan
James Austin (Bynum and Thompson, 2007 : 289) mengatakan bahwa sebenarnya natur
sosial proses pembelajaran dapat secara efektif menguaragi kenakalan
(delinkuensi). Oleh karena itu, perubahan harus dilakukan melalui sistem
pendidikan bukan hanya terkait lembaga pendidikan itu sendiri, program-program
yang “menyalahkan”, melabel sekumpulan anak seperti di atas tidak boleh
diteruskan, tetapi sosialisasi guru, orangtuas dan agen sosial lainnya di
sekolah yang paling dibutuhkan untuk mengembalikan anak atau remaja delinkuen
kepada hakikatnya sebagai anak dan remaja dan bukan membentuk perilaku kriminal
dewasa kelak. Karenanya diperlukan upaya
objektif dan kerjasama dari segala pihak seperti sekolah, pemerintah, orangtua,
dan agen sosial lainnya di lingkungan dimana anak atau remaja ditempatkan untuk
menghadirkan program yang mendidik anak dan bukan melabel anak sebagai
delinkuen sejati sehingga melahirkan kriminal dewasa.
Sumber:
[1] Bynum, Jack E & William E
Thomson. (1996). Juvenile Delinquency: a
sociological approach, 7th ed. USA: Pearson Education Inc.
[1]
William Glasse dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.275
[2]
John Dollard dkk dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.278
[3]
William Sanders dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.278
[4]
Paul Chance dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.278
[5]
James Truckenmiller dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.278
[6]
Patricia Stagliano dan Irwin Hyman dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile
Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.278
[7]
Joan McDermott dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.283
[8]
Roncek dan LoBosco dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.284
[9]
Lawrence dalam dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A
Sociological Approach. Hlm.284
[10]
Bynum and Thompson, 2007, Bab Schools and
Delinquency, hal. 286
Komentar