School and Deliquency


Schools and Deliquency
Pendidikan adalah salah satu institusi sosial dan merupakan bagian dari bentuk transmisi kebudayaan,  termasuk didalamnya nilai dan norma yang menyangkut anggota sosial. Karena ini menjadi sangat penting dalam fungsi sosialisai. Masyarakat kita mengharuskan tiap anak mereka untuk bersekolah dalam kurun waktu tertentu. Bagaimanapun kualitas dan keberadaan sarana pendidikan memiliki peran penting dalam pembentukan pribadi generasi muda.
Hingga kini sekolah juga dapat menjadi arena konflik dan konfrontasi dari banyak kalangan muda yang dimana didalamnya mereka membangun pola perilaku delikuen.
Sekolah menjadi suatu Arena. Dimana arena berarti tempat umum yang dimana individu atau grup yang melawan satu sama lain dalam mempertahankan faktor dominan dan seringkali untuk kelangsungan hidup. Sekolah umum seringkali menjadi suatu tempat pertemuan dimana pertamakali penyimpangan anak terjadi yang bertentangan dengan perilaku kesehariannya.
Sekolah dan proses sosialisasi
Sekolah menjadi institusi sosial pertamakali yang dipercaya disamping keluarga yang menjadi bagian utama dari agen sosialisasi bagi anak-anak. Sekolah menjadi tempat sosialisai dalam 2 bentuk yaitu: transmisi kemampuan kognitif, dan transmisi budaya normatif.
Emile Durkheim (1906)
“Pendidikan terdiri dari metodologi sosialisasi bagi generasi muda.... yang mempengaruhi terhadap latihan perkembangan generasi dewasa yang belum siap terhadap kehidupan sosial...”
Dua dasar pertanyaan yang terdapat dalam usaha sekolah dalam mempromosikan internalisas perilaku, nilai-nilai sosial , nilai norma dan kepercayaan. Pertama,  perilaku, nilai, dan kepercayaan apa yang diajarkan? Kedua, bagaiamana sekolah mengajarkan hal tersebut?
Dalam kesempatan lain, sekolah menjadi suatu tempat yang menuntut tugas sosialisasi yang dimana terdalamnya terdapat berbagai grup dengan kultur yang berbeda. Sebagai contohnya guru yang berlatar belakang dari ras putih, kelas menengah dan latar belakang protestan. Kebanyakan murid mengindikasikan bias yang kuat terhadap nilai-nilai kelas menengah dalam sekolah mereka, perbedaan yang terlihat adalah adanya latar belakang yang berbeda antar antara kelas menengah grur mereka yang dapat meletakkan dasar-dasar  untuk orang yang nasibnya tidak beruntung dan menimbulkan situasi pembelajaran yang tidak produktif. Penelitian yang lain menemukan bahwa keluarga yang berasal dari kelas menengah lebih banyak menginternalisasi norma-norma seperti nilai kompetisi, kesopansantunan, dan menunda memuaskan kegembiraan yang dimana banyak dari mereka lebih banyak sukses dalam sekolah umum (Braun,1976; Jencks et al, 1972).
Kenakalan anak dan pengalaman di sekolah
Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya pelaksanaan di sekolah dan pengalaman negative yang sering didapat di sekolah menghasilkan suatu kenakalan anak.  Harry Gracey (1977) bagaimana hari pertama anak di sekolah menjadi subjek otoriter orang dewasa untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah dan melabel murid sebagai “baik” dan “buruk berdasarkan persepsinya. Dimana dalam hal ini sekolah memiliki kekuatan untuk mengatakan seorang anak itu menyimpang atau tidak. Berdasarkan pendekatan labelling akibat dari label negative terhadap anak dan kemudian menjadikan anak tersebut menjadi pribadi apa yang dilabelkannya tersebut menjadi sesuatu yang dinamakan self fulfilling prophecy.
Sekolah sebagai perangkat screening
Salah satu fungsi penting dari lembaga pendidikan di masyarakat kita adalah untuk mengakui prestasi akademis dan perkembangan intelektual melalui pemberian mandat akademis. Dalam pengertian ini, sekolah dirancang untuk melayani sebagai ‘device’. Semua orang dalam masyarakat kita seharusnya diberikan kesempatan yang sama dalam hal akses ke sistem pendidikan kita. Anggapan ini sangat dipertanyakan, karena ada beberapa individu telah ditolak aksesnya terhadap pendidikan atas dasar ras, latar belakang etnis dan variabel sosial lainnya. Namun demikian, hal itu telah menjadi banyak diberitakan di masyarakat kita bahwa kesempatan untuk pendidikan adalah hak dan bukan hak istimewa.
Peter dan Brigitte Berger (1975: 188) menunjukkan, "Karena sistem pendidikan berisi rangkaian tanpa akhir rintangan, adalah penting bahwa tidak semua harus berhasil di dalamnya; itu telah ditentukan bahwa beberapa harus gagal untuk mencapai puncak". Mereka yang memiliki potensi, bekerja dan belajar paling rajin, dipandang secara sah mendapat pengakuan akademik tinggi daripada yang lain. Kemampuan akademis, pada akhirnya digunakan dalam berbagai cara yang mempengaruhi pekerjaan, pendapatan, perumahan dan hampir semua komponen dari gaya hidup dan status sosial (Collins, 1971) Edgar Friedenberg (1959) berpendapat bahwa kemampuan akademis yang lebih dari kecerdasan dan prestasi akademik, menandakan kesediaan individu untuk bertahan aturan. Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa sekolah melestarikan status quo dengan menjamin bahwa mereka yang gagal di sekolah juga gagal dalam masyarakat. Dari perspektif ini, maka tidak mengherankan bahwa kegagalan di sekolah dan kenakalan remaja berkaitan erat.

Mark Colvin dan John Pauly (1983) menguraikan hubungan antara latar belakang keluarga, kegagalan sekolah dan kenakalan remaja. Mereka menunjukkan bahwa status sosial ekonomi keluarga anak telah dikaitkan dengan sekolah, yang untuk sebagian besar menentukan kelompok sebaya siswa. Sistem ini dinamakan ‘tracking’ yang mengacu pada pada strategi pendidikan di mana siswa secara kasar dianggap  setara dalam kecerdasan, berdasarkan tes standar, kinerja akademik sebelumnya, dan kriteria lainnya, lalu ditempatkan di kelas yang sama, dan berdampak penting pada prestasi akademik anak di kemudian hari(Gamoran, 1992) Stanford University, 1994).
Dalam sebagian besar, status pemuda dan identitas sosial terhubung dengan kinerja sekolah. Carl Wertman (1976) membandingkan kebutuhan identitas untuk orang dewasa dan anak-anak. Dalam masyarakat kita, orang dewasa status dan identitas biasanya diperoleh melalui kerja dan kemakmuran. Anak laki-laki (terutama dari kelas bawah) yang tidak memiliki akses ke modal yang digunakan untuk membangun status sosial, akan menggunakan modal apa saja yang ada di lingkungan mereka. Mereka mungkin menegaskan otonomi mereka dengan berkelahi dengan siswa lain atau menolak aturan dan otoritas sekolah. Walter Schafer dan Kenneth Polk (1976) melaporkan kemungkinan dimensi lain dari peran sekolah dalam memproyeksikan anal dalam perilaku nakal. Mereka menunjukkan bahwa pendidik sering menganggap korelasi antara kekurangan pendidikan dan masalah perilaku itu dikategorikan dalam definisi "bodoh" atau buruk. Anak-anak ini menjadi sadar akan evaluasi negatif ini karena keterasingan mereka diperdalam dan mereka meningkatkan pembolosan sebagai bentuk lain dari kenakalan.
Travis Hirschi dan Michael Hindelang (1977) berpendapat bahwa IQ merupakan variabel penting tetapi sering diabaikan dalam kenakalan remaja. Mereka menyatakan bahwa IQ sangat berhubungan dengan ketidakmampuan belajar, prestasi sekolah yang buruk, dan kenakalan remaja. Scott Menard dan Barbara Morse (1984) berpendapat bahwa hipotesis IQ dan kenakalan tidak memiliki dukungan empiris dan tidak menambahkan apapun pada teori kenakalan. Mereka menunjukkan bahwa kenakalan bukan karena IQ memberikan pengaruh kasual pada perilaku nakal , tetapi karena di sekolah, itu dapat dipilih sebagai kriteria untuk pengobatan diferensial.
Tingkat putus sekolah dan kenakalan berbeda-beda di masyarakat tergantung status sosial ekonomi, ras, etnis, variabel sosial dan ekonomi lainnya telah terbukti penting terkait dengan kedua (Figueira-MvDonough 1993, McNeal, 1997). Putus sekolah akan berakibat sulitnya menemukan pekerjaan, dan bagi anak perempuan yang putus biasanya dikarenakan hamil. (Cantelon dan LeBoeuf, 1997) memperluas pada masalah yang dialami oleh beberapa anak muda di sekolah dan tanggapan alternatif yang terbuka bagi mereka. Colvin dan Pauly (1983) memberikan wawasan tambahan mengapa hal ini dapat terjadi. Sementara di sekolah, anak laki-laki kelas bawah mengalami banyak kegagalan. Kegagalan di sekolah mungkin telah membuat anak-anak ini "lebih mudah menerima pengaruh kelompok dan belajar atitudes tertentu, motif, dan keterampilan untuk menghasilkan motif perilaku nakal" (Colvin dan Pauly, 1983: 524). Terence Thornberry dan nya terkait (1985) mempertanyakan metodologi ini menetapkan bahwa putus sekolah berhubungan positif dengan kenakalan dan kejahatan kemudian lebih baik dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Salah satu bentuk kenakalan yang sering tumbuh langsung di sekolah adalah pembolosan. Setiap hari, ribuan siswa bolos sekolah tanpa alasan (Baker, SIgmon dan Nugent, 2001). Di beberapa kota di Amerika, tingkat pembolosan setinggi 30%, dan ada bukti bahwa remaja yang melewatkan sekolah lebih mungkin untuk terlibat dalam alkohol, obat-obatan, geng dan kekerasan (baker et al, 2001; Garry, 1996). Pembolosan telah menjadi sebuah masalah besar, seperti di beberapa kota yang administrator sekolahnya bersedia membayar siswa untuk bersekolah. Misalnya, di Memorial SMP di San Diego, tingkat bolos sekolah begitu tinggi sehingga sekolah mulai membayar mahasiswa 25 sen sehari untuk bersekolah (Tedrick, 1980: 7).  Salah satu cara yang sekolah dalam bertindak sebagai perangkat skrining adalah mengusir para siswa yang tidak dapat berhasil di sana. Untuk mahasiswa mungkin kasusnya lebih parah lagi, mereka jauh lebih mungkin untuk bolos sekolah.
Tindakan bolos membuat remaja menjadi menunggak. Kemungkinan yang dilakukan siswa yang bolos sekolah biasanya seputar ruang sering pol, arcade video, pusat perbelanjaan, atau berkeliaran sederhana jalan-jalan, dan cenderung untuk terlibat dalam bentuk lain dari kenakalan di samping pembolosan mereka. Di beberapa kota, polisi secara rutin berpatroli siang di beberapa pusat perbelanjaan untuk mencari siswa yang membolos (NBC Nightly News, 1997). Dalam kasus ini, perilaku umum siswa yang mendapatkan reputasi atau label sebagai "orang congkak", "di luar kendali" dan "buruk" di sekolah juga cenderung berpotensi bermasalah dengan polisi. Seperti beberapa penelitian menunjukkan, sikap remaja seperti yang dirasakan oleh polisi menjadi salah satu variabel yang paling signifikan dalam menentukan sikap polisi menangani kasus ini (Lundman 1996, Piliavin dan Briar, 1964).


Schools as “Combat Zone” (Sekolah sebagai Zona Perlawanan)

Cara lain yang digunakan remaja sebagai respon terhadap konflik nilai, frustasi, dan kerusakan konsep diri yang mereka alami adalah dalam bentuk perlawan kembali. Seperti yang dikemukakan oleh William Glasse (1978)[1] bahwa siswa usia remaja yang tidak dapat mengatasi kegagalan dalam bersekolah membuat dua pilihan: putus sekolah atau bersekolah dan membuat masalah. Peraturan yang mewajibkan siswa untuk hadir di sekolah lah yang justru memicu dipilihnya opsi ke dua dan akhirnya menyebabkan sekolah menjadi zona atau tempat perlawanan.

Jika ditinjau menggunakan pendekatan psikologis, John Dollard dkk mengemukakan bahwa frustrasi muncul ketika seseorang tidak dapat mencapai tujuan yang dicita-citakannya. Frustrasi ini kemudian dilampiaskan dalam bentuk perilaku agresif.[2] Meskipun masih banyak pertentangan mengenai hubungan sebab akibat antara frustrasi dan agresi (terutama asumsi bahwa frustrasi pasti menyebabkan agresi), secara umum sepakat dengan pernyataan bahwa frustrasi dapat berubah menjadi agresi. Hal ini sejalan dengan Teori Anomie Merton yang mengemukakan bahwa remaja yang tidak dapat mencapai tujuan-tujuan budaya yang telah ditentukan melalui sarana-sarana legal, akan menyebabkan ia frustrasi dan cenderung melakukan strategi adaptasi yang menyimpang untuk mengatasi situasi tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, tidak heran jika para siswa yang berselisih dengan sistem sekolah, atau yang dilabel negatif, atau yang tidak dapat mencapai kesuksesan di sekolah, mereka akan menjadi frustrasi. Sebagai respon dari frustrasi ini adalah putus sekolah (jika diizinkan) atau membuat onar di sekolah, terhadap guru dan siswa-siswa lainnya.


Vandalism and Destruction (Vandalisme dan Destruksi)
Bentuk penyerangan kembali yang dilakukan remaja terhadap sekolah terkadang dalam bentuk vandalisme dan destruksi. William Sanders (1976) melaporkan bahwa sekolah menjadi target utama vandalisme yang jahat yaitu aktivitas yang ditandai dengan penghancuran properti berdasarkan pada motif jahat pelaku. Sekolah menjadi target vandalisme karena perasaan kesal remaja terhadap institusi tersebut.[3] Paul Chance (1984) menyatakan bahwa vandalisme disebabkan terutama oleh perasaan tidak senang terhadap sekolah atau tidak disenangi oleh para guru dan pihak sekolah lainnya. Vandalisme adalah pelanggaran terhadap properti dan umunya tidak dianggap sebagai tindak kekerasan.[4]

James Truckenmiller (1982) menjelaskan bahwa kurangnya akses siswa terhadap keberhasilan dalam belajar dan bersekolah merupakan salah satu dari banyak variabel vandalisme yang sangat prediktif.[5] Penelitian Patricia Stagliano dan Irwin Hyman (1983) menunjukkan penerapan kode perilaku siswa, komite guru-siswa-masyarakat, pelatihan bagi masyarakat, dan pembentukan undang-undang yang menuntut pengawasan aktivitas vandalisme di sekolah, merupakan solusi yang cukup berhasil.[6]


Violence and Personal Attacks (Tindak Kekerasan dan Penyerangan Pribadi)

Vandalisme bukan merupakan satu-satunya bentuk tindak kekerasan yang berlangsung di sekolah. Terkadang frustrasi dan kemarahan terhadap sistem pendidikan secara langsung ditujukan kepada para guru dan petugas sekolah. Di tahun 1991 misalnya, penyerangan terhadap guru menjadi sangat umum di Florida, AS, yang memicu dibentuknya peraturan yang membolehkan para guru untuk menghukum siswa nakal dengan pistol elektrik.

Terdapat pula perubahan pada jenis tindak kekerasan di sekolah. Peristiwa penembakan massal di sekolah menunjukkan bahwa tindakan kekerasan di sekolah cenderung semakin bersifat personal yang termotivasi oleh masalah tertentu diantara kedua belah pihak yang terlibat.

Penelitian Joan McDermott (1983) mengenai kejahatan, rasa takut akan kejahatan (fear of crime) dan viktimisasi di sekolah dan masyarakat, menjelaskan bahwa kejahatan dan rasa takut akan kejahatan harus ditinjau dari konteks masyarakat karena sekolah-sekolah dengan tingkat kejahatan tinggi, cenderung berlokasi di lingkungan dengan kejahatan yang tinggi pula.[7]

Penelitian lain menemukan bahwa kedekatan geografis terhadap sekolah meningkatkan kemungkinan munculnya kejahatan di lingkungan sekitar (Roncek dan LoBosco, 1983). Studi ini juga menemukan kedekatan jarak antara area pemukiman dengan sekolah menyebabkan semakin banyak kejahatan.[8]

Semua penelitian ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan dan kejahatan di sekolah, seperti halnya masalah khusus lainnya, harus ditinjau berdasarkan konteks sosiologis yang luas, bukan sebagai tindakan yang terisolasi. (Lawrence, 1998)[9]


School Safety and “Zero Tolerance”
            Lawrence (Bynum and Thompson, 2007 : 284) mengatakan untuk mengurangi tindak kejahatan dan kekerasan di sekolah, hampir 95 % sekolah-sekolah di distrik berpartisipasi dalam program yang disebut “Zero Tolerance” dengan menetapkan sekolah sebagai zona “bebas senjata” dan “bebas obat-obatan”. Walaupun kebijakan ini berbeda di setiap distrik, tetapi secara umum program ini merujuk pada kebijakan sekolah yang melarang pemilikan, penggunaan, penjualan, atau penyediaan jenis senjata, alkohol, atau obat-obatan ilegal di sekolah berkenaan dengan fungsi sekolah. Untuk mendukung kebijakan ini, tidak jarang ditempatkan petugas kepolisian berseragam atau tentara.
            Kebijakan ini, bukannya tanpa kritik dan masalah. Kritik yang diberikan sangat terkait dengan kehadiran petugas kepolisian atau tentara berseragam di sekolah, dimana kehadiran mereka menunjukkan gambaran yang buruk terhadap remaja yang kelihatannya sebagai pembuat onar, melakukan tindakan kenakalan (delinkuensi) dan menjadi kriminal dewasa nantinya. Tindakan ini lebih potensial untuk mengidentifikasi anak atau remaja delinkuen, melabel, dan sangat potensial pula untuk memproduksi delinkuen-delinkuen masa kini. Selain itu, sebagian masyarakat juga mempertanyakan efektivitas dan peran guru dalam menyelesaikan masalah terkait tindak kenakalan di sekolah.
Sekolah sebagai Birokrasi
            Sekolah juga merupakan birokrasi jika dinilai dari definisi dan ciri birokrasi oleh Max Weber[10] yaitu terdapat hierarki otoritas atau kekuasaan, terdapat peraturan dan pengawasan dalam sistem, berlaku untuk umum dan bukan pada individu, dan ciri lainnya. Tidak ada sekolah yang berjalan tanpa aturan dan pengawasan. Maka seperangkat aturan inilah yang menjadi ciri utama dari sekolah sebagai birokrasi. Akan tetapi, tidak jarang dalam sistem terdapat orang yang merasa terasing (alienasi) oleh karena tidak konformis dengan aturan dan regulasi yang dilakukan di sekolah.
Sekolah dan Pencegahan Delinkuensi
Dellos Kelly (Bynum and Thompson, 2007 : 287) mengatakan bahwa perubahan harus dilakukan melalui sistem pendidikan bukan hanya terkait lembaga pendidikan itu sendiri, program-program yang “menyalahkan”, melabel sekumpulan anak tidak boleh diteruskan, tetapi sosialisasi guru, orangtua dan agen sosial lainnya di sekolah yang paling dibutuhkan untuk mengembalikan anak atau remaja delinkuen kepada hakikatnya sebagai anak dan remaja dan bukan membentuk perilaku kriminal dewasa kelak.
Di sekolah, guru memainkan peran penting untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kenakalan. Guru wajib melakukan sesuatu yang membuat siswanya merasa diterima dan bukannya ditolak karena dilabel sebagai anak nakal dan melakukan serangkaian pendekatan untuk memecahkan masalah ketidakdisiplinan siswa (anak atau remaja) sehingga melakukan tindakan yang oleh orang dewasa disebut sebagai kenakalan atau bahkan kejahatan. Menurut Carl Werthman, ketika menghadapi situasi di kelas yang “mengancam”, guru dapat memilih salah satu dari 3 cara, yaitu : hanya melihat dan mempelajari situasi, berpartisipasi dalam kekacauan yang terjadi, atau melakukan konfrontasi terhadap situasi kelas yang memang tidak ada hubungannya dengan agenda pengajaran.
The National Association of School Psychologist pada tahun 2003 (Bynum and Thompson, 2007 : 288) mengajukan disiplin yang efektif diterapkan di sekolah, yaitu :
1.      Didisain untuk tujuan mengajar dan melatih
2.      Fokus pada bagaimana berkelakuan baik, bukan sebaliknya
3.      Membuat relasi yang nyata antara kelakuan yang buruk dan konsekuensinya
4.      Dilakukan di bawah empat mata (pribadi)
5.      Dilakukan dengan kebajikan dan menghormati
6.      Tidak pernah memanggil nama, berteriak, atau mencaci.

Kenneth Polk dan tokoh lain seperti William Pink (Bynum and Thompson, 2007 : 288) memiliki pokok pikiran yang sama dimana sekolah sebagai institusi yang efektif untuk melakukan kontrol sosial terhadap anak atau remaja dan dapat mengurangi bahkan menghindarkan anak atau remaja dari tindakan delinkuen. J. David Hawkins dan Joseph Weis (Bynum and Thompson, 2007 : 289 ) mengatakan jika pencegahan tindakan delinkuensi juga dapat dilakukan dengan program akademis atau pengembangan intelektual. Senada dengan tokoh tersebut, Barry Krisberg dan James Austin (Bynum and Thompson, 2007 : 289) mengatakan bahwa sebenarnya natur sosial proses pembelajaran dapat secara efektif menguaragi kenakalan (delinkuensi). Oleh karena itu, perubahan harus dilakukan melalui sistem pendidikan bukan hanya terkait lembaga pendidikan itu sendiri, program-program yang “menyalahkan”, melabel sekumpulan anak seperti di atas tidak boleh diteruskan, tetapi sosialisasi guru, orangtuas dan agen sosial lainnya di sekolah yang paling dibutuhkan untuk mengembalikan anak atau remaja delinkuen kepada hakikatnya sebagai anak dan remaja dan bukan membentuk perilaku kriminal dewasa kelak.  Karenanya diperlukan upaya objektif dan kerjasama dari segala pihak seperti sekolah, pemerintah, orangtua, dan agen sosial lainnya di lingkungan dimana anak atau remaja ditempatkan untuk menghadirkan program yang mendidik anak dan bukan melabel anak sebagai delinkuen sejati sehingga melahirkan kriminal dewasa.





Sumber:
[1] Bynum, Jack E & William E Thomson. (1996). Juvenile Delinquency: a sociological approach, 7th ed. USA: Pearson Education Inc.




[1] William Glasse dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.275
[2] John Dollard dkk dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.278
[3] William Sanders dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.278
[4] Paul Chance dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.278

[5] James Truckenmiller dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.278
[6] Patricia Stagliano dan Irwin Hyman dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.278
[7] Joan McDermott dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.283
[8] Roncek dan LoBosco dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.284
[9] Lawrence dalam dalam Bynum dan Thompson. (2007). Juvenile Delinquency: A Sociological Approach. Hlm.284
[10] Bynum and Thompson, 2007, Bab Schools and Delinquency, hal. 286

Komentar

Postingan Populer