tugas kenak UU SPPA




Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang No.11 tahun 2012 ini merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena dinilai belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Rangkuman Undang-Undang No. 11 tahun 2012
1.      Definisi anak dibawah umur.
UU SPPA mendefinisikan anak sebagai anak yang telah berusia 12 tahun tetapi belum berusia 18 tahun. Anak yang berhadapan dengan hukum dalam UU SPPA tebagi menjadi 3 yaitu:
·         Anak yang berkonfllik dengan hukum (pasal 1 angka 3 UU SPPA)
·         Anak yang menjadi korban tindak pidana (pasal 1 angka 4 UU SPPA)
·         Anak yang menjadi sanksi tindak pidana (pasal 1 angka 5 UU SPPA)

2.      Definisi sistem peradilan pidana anak
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. (Pasal 1 angka 1 UU SPPA). Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif (Pasal 5 angka 1 UU SPPA). Sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas (Pasal 2 UU SPPA):
a)      Perlindungan
b)      Keadilan
c)      Non-diskriminasi
d)     Kepentingan terbaik bagi anak
e)      Penghargaan terhadap pendapat anak
f)       Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
g)      Pembinaan dan pembimbingan anak
h)      Proporsional
i)        Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebgai upaya terakhir
j)        Penghindaran pembalasan

3.      Hak-Hak Anak dalam sistem peradilan pidana
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a)      diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
b)      dipisahkan dari orang dewasa;
c)      memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d)     melakukan kegiatan rekreasional;
e)      bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f)       tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g)      tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h)      memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i)        tidak dipublikasikan identitasnya;
j)        memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k)      memperoleh advokasi sosial;
l)        memperoleh kehidupan pribadi;
m)    memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n)      memperoleh pendidikan;
o)      memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p)      memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
a.    Remisi atau pengurangan masa pidana;
b.    Asimilasi;
c.    Cuti mengunjungi keluarga;
d.    Pembebasan bersyarat;
e.    Cuti menjelang bebas;
f.     Cuti bersyarat;
g.    Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


4.      Keadilan Restorative
Keadilan restorative adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluaga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6 UU SPPA).
5.      Diversi
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara nak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 angka 7 UU SPPA). Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/ walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif (Pasal 8 angka 1 UU SPPA). Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat (pasal 8 angka 2 UU SPPA).
Proses Diversi wajib memperhatikan:
a.       Kepentingan korban
b.      Kesejahteraan dan tanggung jawab anak
c.       Penghindaran stigma negatif
d.      Penghindaran pembalasann
e.       Keharmonisan masyarakat; dan
f.       Kepatutan, kesusialaan dan ketertiban umum
Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 2 dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan serta dapat melibatkan tokoh masyarakat (Pasal 10 angka 1 UU SPPA). Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi pembimbing dapat berbentuk (Pasal 10 angka 2 UU SPPA):
·         Pengembalian kerugian dalam hal ada korban
·         Rehabilitasi medis dan psikososial
·         Penyerahan kembali kepada orang tua/wali
·         Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan atau
·         Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
6.      Penjatuhan sanksi.
Menurut UU SPPA, anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini (Pasal 69 angka 1 UU SPPA). Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan (Pasal 69 ayat 2). Dan pidana bagi pelaku berumur 15 tahun keatas.
                                i.            Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
o   Pengembalian kepada orang tua/Wali;
o   Penyerahan kepada seseorang;
o   Perawatan di rumah sakit jiwa;
o   Perawatan di LPKS;
o   Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
o   Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
o   Perbaikan akibat tindak pidana.

                              ii.            Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA). Pidana Pokok terdiri atas:
o   Pidana peringatan;
o   Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
o   Pelatihan kerja;
o   Pembinaan dalam lembaga;
o   Penjara.
                        Pidana tambahan terdiri dari
o   Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
o   Pemenuhan kewajiban adat
Selain itu, dalam Pasal 21 UU SPPA  juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
o   Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
o   Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.


7.      Penangkapan dan Penahanan anak
Penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam (Pasal 30 angka 1 UU SPPA). Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak (Pasal 30 angka 2 UU SPPA).
Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut (Pasal 32 angka 2 UU SPPA):
o   Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan
o   Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Penangkapan sebagiamana dimaksud dalam pasal 32 untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari (Pasal 33 angka 1 UU SPPA)
8.      Pemeriksaan anak sebagai saksi atau anak sebagai korban
UU SPPA telah memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya (Pasal 58 angka 3 UU SPPA]. Dalam hal tertentu anak korban diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan (pasal 60 angka 2 UU SPPA). Sebelum menjatuhkan putusan, hakim memberikan kesempatan kepada orang tua/ wali dan/atau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak (pasal 60 angka 2 UU SPPA). Dan juga pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan dan penuntut umum.

9.      Pemeriksaan di sidang pengadilan
Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus anak (Pasal 53 angka 1 UU SPPA). Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan (Pasal 54 UU SPPA). Dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang tua/ wali atau pendamping, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan pembimbing kemasyarakatan untuk mendampingi anak (Pasal 55 angka 1 UU SPPA).
10.  Lembaga Pembinaan
Anak yang ditahan ditempatkan di LPAS. LPAS wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan dan pemenuhan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Anak yang dijatuhi hukuman penjara ditempatkan di Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA). LPKA wajib menyelenggarakan pendidikan, pelatihan keterampilan, pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan serta hak lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 85 angka 3 UU SPPA). Badan pemasyarakatan (BAPAS) wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat 4 (Pasal 85 angka 5 UU SPPA).

Komentar

Postingan Populer