UAS Hak asasi manusia

Pemenuhan Hak-hak anak dalam Proses Diversi





BAB I
LATAR BELAKANG
PENDAHULUAN
Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Oleh sebab itu maka diciptakan undang-undang yang mengatur perlindungan anak. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat 2 disebutkan bahwa Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi[1]. Instrumen Hukum dan Hak asasi baik nasional maupun Internasional  berusaha memberikan perlindungan yang terbaik bagi anak. Negara-negara di dunia meratifikasi Convention On The Right Of The Child (Konvensi tentang hak-hak anak). Salah satu perundang-undangan mengenai anak adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dimana didalamnya Undang-undang tersebut membahas secara khusus tentang anak-anak yang berkonflik dengan hukum.  Anak yang berkonflik dengan hukum membutuhkan perlindungan khusus dibanding dengan yang lainnya. Sejak disadari oleh berbagai pihak di dunia Internasional bahwa anak juga ikut terlibat dalam melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, hal ini menimbulkan perdebatan mengenai cara yang terbaik untuk menangani masalah kenakalan anak. Maka timbullah konsep Diversi yaitu suatu bentuk pengalihan. Diversi merupakan proses yang telah diakui secara Internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
POKOK PERMASALAHAN
Diperlukan suatu penanganan khusus dalam menangani anak-anak yang berkonflik dengan hukum. Diversi dipandang sebagai cara yang paling efektif dalam menangani masalah anak. Dalam tulisan kali ini penulis akan melihat hak-hak anak yang diterapkan dalam proses peradilan berdasarkan konsep Diversi.



BAB 2
KAJIAN PUSTAKAAN
Telaah Artikel Jurnal
Kata Diversi berasal dari bahasa Inggris diversion yang dalam bahasa Indonesia disadur mejadi kata Diversi atau pengalihan. Pengertian diversi di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa dokumen. Dalam dokumen manual pelatihan untuk polisi, disebutkan diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat.[2] Dalam Black Dictionary, konsep diversi dikenal dengan divertion programme, yaitu:[3]
Program yang ditujukan kepada seorang tersangka sebelum proses persidangan berupa community programme seperti pelatihan kerja, pendidikan dan semacamnya dimana jika program ini dianggap berhasil memungkinkan dia untuk tidak melanjutkan proses pidana peradilan selanjutnya.
Jack E. Bynum menyatakan Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana.[4] Menurut Marlina, diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihka atau menempatkan pelaku tindak pidana aak keluar dari sistem peradilan pidana. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus-kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidanasampai kepada apara penegak hukum sebagai pihak penegak hukum[5]
KERANGKA TEORI
            Instrumen Hukum Internasional
·         Convention on The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak)
Konvensi Hak-Hak Anak, menegaskan bahwa: negara-negara peserta harus berupaya untuk meningkatkan pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga yang secara khusus berlaku untuk anak-anak yang diduga atau dinyatakan melanggar hukum pidana dan khususnya:[6]
a.       Menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia dibawahnya dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana.
b.      Bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah untuk menangani anak-anak seperti tiu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat bahwa hak asasi manusia dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.
·         The United Nation Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile Justice- The Beijing Rules (Peraturan Standar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak-Peraturan Beijing).
Beijing Rules merupakan regulasi Internasional yang memberikan mandat bagi setiap negara peserta untuk merealisasikan perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Regulasi ini mengamanatkan kepada setiap negara peserta untuk memberlakukan diversi untuk menangani permasalahan anak. Peraturan mengenai Diversi ditegaskan dalam butir 11 ayat 1,2,3 dan 4.

Instrumen Hukum Nasional
·         Undang-Undang Nmor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 11 diatur mengenai usaha yang diperlakukan untuk mensejahterakan anak yaitu dengan memberikan pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi.
·         Undang-Undangn Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Pasal 3 menyebutukan mengenai tujuan dari perlindungan anak yaitu memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak agar dapat terhindar dari kekerasan, diskriminasi, dengan harapan demi terwujudnya masa depan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Masalah perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi juga ditegaskan dalam pasal 4, ketentuan mengenai hak-hak anak.
·         Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Undang-Undang No.11 tahun 2012[7] ini merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena dinilai belum secara komprehensif memberikan pelindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

o   Keadilan Restorative
Keadilan restorative adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluaga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Pasal 1 angka 6 UU SPPA).
o   Diversi
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara nak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana (Pasal 1 angka 7 UU SPPA). Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/ walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif (Pasal 8 angka 1 UU SPPA). Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial dan/atau masyarakat (pasal 8 angka 2 UU SPPA).




BAB 3
                                                                  ANALISIS
Diversi dan Hak Anak
Pidana penjara saat ini banyak mendapat kritik, karena pidana penjara banyak membawa efek-efek negatif. Efek negatif pidana penjara sehubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang, maupun dilihat dari sudut efektivitas dari pidana penjara tersebut. Dalam praktiknya sistem peradilan pidana yang diterapkan pada anak tidak selalu memberikan sebuah pelajaran yang baik, bahkan terkadang sistem tersebut cenderung mengabaikan hak-hak yang ada pada anak. Untuk itu maka timbullah pemikiran untuk  membuat konsep Diversi yang berarti pengalihan, dengan maksud untuk tetap melindungi hak-hak anak tersebut sekalipun berhadapan denga hukum. Pengertian Diversi dalam United Nation Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Diversi sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau non pemerintah.
Menurut Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradilan anak pada abad ke-19 yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa.[8] Prinsip utama pelaksanaan diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non-penal dan memberikan kesempatan kepada seorang untuk memperbaiki kesalahan.[9] Hak-Hak Anak dalam sistem peradilan pidana:
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a)      diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya
b)      dipisahkan dari orang dewasa;
c)      memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d)     melakukan kegiatan rekreasional;
e)      bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f)       tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g)      tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h)      memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i)        tidak dipublikasikan identitasnya;
j)        memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k)      memperoleh advokasi sosial;
l)        memperoleh kehidupan pribadi;
m)    memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n)      memperoleh pendidikan;
o)      memperoleh pelayananan kesehatan; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan pendekatan yang seperti ini, diharapkan tidak terjadi lagi penyiksaan, pemaksaan ataupun tindak kekerasan terhadap anak. Inilah yang menjadi tujuan utama pelaksanaan diversi. Dengan diversi, hukum dapat ditegakkan tanpa melakukan tindak kekerasan dan menyakitkan dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahannya tanpa melalui hukuman pidana oleh negara yang mempunyai otoritas penuh.[10]
Namun pada prakteknya aparat penegak hukum ditemukan melakukan hal-hal berikut:[11]
1.      Terhadap anak sebagai pelaku, ditemukan praktek mencukur rambut kepala anak dengan tidak memperhatikan kepatutan dan estetika, mengambil uang/barang milik anak padahal uang/barang tersebut tidak berhubungan dengan perkara, menyuruh anak membersihkan kantor polisi, atau mencuci mobil, memberi hukuman fisik, menelanjangi, aniaya, membentak.menempatkan anak dalam satu kamar dengan tahanan dewasa, mempublikasikan anak kepada media.
2.      Terhadap anak sebagai korban. Tidak digunakan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pasal pokok yang menjadi dasar dalam menegakkan hak-hak anak sebagai korban serta masih mempublikasikan gambar anak, identitas anak beserta keluarganya.
3.      Masih cenderung menyelesaikan perkara anak sebagai pelaku dengan menggunakan sistem hukum formal dan masih sangat miskin kreativitas dalam mencari alternatif penyelesaian permasalahan anak di liar hukum formal/pengadilan.
Dari pengamatan yang dilakukan oleh UNICEF dan Pusat Kajian Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, menyatakan bahwa penempatan anak dalam tahanan, rutan, lapas membatasi semua kebutuhan psikis anak terutama kebutuhan psikis yang sebelumnya dipenuhi melalui relasi sosial anak dengan orang-orang di dunia luar tempat penahanan.[12]
Fakta diatas sudah cukup menggambarkan bahwa seorang anak sangat beresiko tinggi dilanggar hak asasinya ketika harus dilibatkan masuk dalam sistem peradilan pidana. Sehingga akan lebih baik jika diversi diberlakukan dalam penanganan masalah anak yang berhadapan dengan hukum. Kenyataannya bahwa peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana banyak menimbulkan bahaya daripada menguntungkan pada anak. Hal ini dikarenakan pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana[13]. Berdasarkan instrumen-instrumen hukum baik nasional maupun internasional pelaksanaan konsep diversi menekankan pada pengalihan yang bertujuan melindungi hak-hak anak sehingga didalamnya mengedepankan asas perlindungan yang melindungi metal, fisik, maupun sosial seorang anak dari tindakan yang membahayakannya.
Peran Bapas (Badan Pemasyarakatan)
Peran dan kapasitas bapas dalam sistem peradilan pada dasarnya sangat strategis dalam memberikan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum[14]. Bapas bertugas membantu memperlancar penyidik, penuntut umum, dan hakim hakim dalam perkara anak, baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian masyarakat (litmas). Akan tetapi pada kenyataannya peran dan kapasitas bapas seringkali diabaikan oleh aparat penegak hukum. Banyak polisi yang tidak menghubungi petugas bapas untuk penyusunan litmas bagi tahanan anak, atau masih ada sidang anak yang berlangsung tanpa adanya litmas bapas terutama di wilayah yang secara geografis susah dijangkau, serta putusan hakim yang tidak sesuai dengan rekomendasi petugas bapas[15]. Peran petugas bapas sangat besar dalam hal terjadinya diversi atau tidak. Dengan litmas yang diadakan petugas bapas, maka hasil dari litmas tersebut dapat dijadikan rekomendasi bagi penegak hukum dalam mempertimbangkan langkah diversi atau tidak.



BAB IV
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Segala sesuatu yang dilakukan oleh anak, berbeda dengan yang dilakukan oleh orang dewasa,  oleh karena itu sudah seharusnya dilakukan pembedaan perlakuan khususnya pada anak yang berkonflik maupun berhadapan dengan hukum. Harus ada suatu Instrumen yang tetap melindungi hak-hak anak di dalam peradilan. Diversi merupakan suatu usaha penyelesaian pidana anak dengan melakukan pengalihan sehingga anak tidak sampai pada peradilan dan diversi juga dilaksanakan untuk mengembalikan/memulihkan kerugian korban dan masyarakat, serta mengembalikan/memulihkan kerusakan tatanan hukum yang dirusak oleh tindak pidana anak tersebut. Konsep diversi sendiri lebih menekankan pada pemenuhan hak-hak anak. Khususnya hak keadilan pada anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak yaitu hak asasi anak yang mendasar yang dilindungi negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang lain, kepentingan terbaik bagi anak yaitu setiap keputusan mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, dan perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir. Dalam hal ini peran kriminologi sebagai guardian of human rights yaitu penulis melihat dari sisi Bapas, dimana kriminolog yang bekerja di Badan pemasyarakatan berusaha untuk mendampingi anak dalam persidangan, dan dari hasil litmas yang dibuat dapat dijadikan acuan dalam penentuan hukuman apa yang sesuai dengan anak.



Daftar Pustaka

Apong Herlina, et.al. perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, manual pelatihan untuk polisi, Jakarta;Unicef-POLRI,2004. Hlm 330
Bryan A. Ganer (ed), Black’s Law Dictionary, Minnesota: St Paul, 2000. Hlm 387

Bynum, Jack E., & William E. Thomson (2007). Juvenile Delinquency : A Sociological Approach:  Sevent Edition. Pearson Education Inc, USA. Hlm 465
Chris Goddard. Child Abuse and Child Protection: A Guide for Health, Education, and Welfare Workers. Australia : Churchill Livingstone. First Published 1996
Convention on The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak). Diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989. Pasal 40.
Johanes Gea. Diversi sebagai penyelesaian terbaik kasus anak berhadapan dengan hukum; analisis kasus terhadap 10 anak bandara dan kasus Deli. Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia. 2011
Lode,Walgrave, “Restorative Justice: A Way to Restore Justice in Western European Systems?” in Steward Asquith, Children and Young People in Conflict with The Law, (Ed.). (London: Jessica Kingsley Publisher, 1996).
Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, (Medan:USU Press, 2010), Chapter III
Undang-undang Dasar 1945
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak







[1] UUD 1945
[2] Apong Herlina, et.al. perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, manual pelatihan untuk polisi, Jakarta;Unicef-POLRI,2004. Hlm 330
[3] Bryan A. Ganer (ed), Black’s Law Dictionary, Minnesota: St Paul, 2000. Hlm 387
[4] Bynum, Jack E., & William E. Thomson (2007). Juvenile Delinquency : A Sociological Approach:  Sevent Edition. Pearson Education Inc, USA. Hlm 465
[5] Marlina.Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. http://doktormarlina.htm
[6] Convention on The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak). Diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989. Pasal 40.
[7] UU SPPA No.11 Tahun 2012
[8] Marlina. Op.Cit
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid. Hlm 73
[12] Ibid. Hlm 110
[13] Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, (Medan:USU Press, 2010), Chapter III, hlm 11
[14] Ibid. Hlm 26
[15] Ibid. 

Komentar

Postingan Populer