bagaimana kemiskinan membentuk pekerja anak

Latar Belakang
Kemiskinan menjadi permasalahan terbesar bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dampak kemiskinan ini paling signifikan akan dirasakan pada kelompok yang rentan salah satunya yaitu anak-anak. Kemiskinan yang terjadi pada keluarga akan berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup anak-anaknya. Hal ini mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar karena anak tumbuh dengan keterbatasan akses terhadap ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan yang baik dan partisipasi yang merupakan suatu hal pokok dalam kesejahteraan dan perkembangan anak.[1] Hal ini menyebabkan timbulnya pekerja anak dimana banyaknya anak dibawah umur yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak memperoleh pendidikan secara layak menyebabkan anak membantu orangtuanya untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Pekerja anak tersebut kehilangan masa di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena mereka tak sanggup memikul beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar.
Pokok Masalah
Kemiskinan yang terjadi di Indonesia menjadi salah satu faktor timbulnya pekerja anak. pekerja anak tersebut rela bekerja demi membantu orangtuanya mencukupi kebutuhan sehingga hak-hak dalam dirinya seperti  hak pendidikan formal menjadi berkurang. Dalam tulisan kali ini akan dipaparkan bagaimana kemiskinan membentuk pekerja anak yaitu yang kemudian menjadikan tidak terpenuhinya hak-hak anak dalam akses keadilan yaitu hak pendidikan.
Kerangka Pemikiran
Pasal 2 dari Konvensi ILO tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, 1999 mendefinisakan seorang ‘anak’ sebagai seseorang dibawah 18 tahun. Pekerja anak adalah istilah yang digunakan untuk mengacu pada anak yang melakukan pekerjaan yang merusak kesejahteraan dan menghalangi pendidikan, perkembangan dan masa depan anak tersebut. Pekerja anak adalah anak yang melakukan pekerjaan, yang sifat pekerjaan dan/atau cara pekerjaan itu dilakukan, merusak, menyalahgunakan dan mengeksploitasi anak tersebut dan mengganggu pendidikannya.[2]
Berdasarkan Undang-Undang No.24 tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Salah satu bentuk kemiskinan adalah kemiskinan struktural yaitu bentuk kemiskinan yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang pada umumnya terjadi pada tatanan sosial budaya ataupun sosial politik yang kurang mendukung adanya pembebasaan kemiskinan. Bentuk kemiskinan ini terkadang memiliki unsur diskriminatif dan mengabaikan hak-hak anak.
Hak-hak dasar anak menurut Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : a. Hak untuk hidup layak Setiap anak berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan, tempat tinggal dan perawatan kesehatan. b. Hak untuk berkembang Setiap anak berhak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa halangan. Mereka berhak untuk mengetahui identitasnya, mendapatkan pendidikan, bermain, beristirahat, bebas mengemukakan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinan, dan semua hak yang memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai potensinya. c. Hak untuk mendapat perlindungan Setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah. d. Hak untuk berperan serta Setiap anak berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggota suatu perkumpulan. e. Hak untuk memperoleh pendidikan Setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan yang tinggal didaerah terpencil, pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab untuk membiayai pendidikan mereka.
Prinsip – Prinsip Hak Anak Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak secara optimal, anak harus mendapat perlindungan yang utuh, menyeluruh dan komprehensif dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak. Asas perlindungan anak menurut UndangUndang No. 23 tahun 2002 sebagai berikut :
a. Non diskriminasi Maksudnya adalah perlindungan kepada semua anak Indonesia tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak dan kondisi fisik maupun mental anak.
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak Maksudnya adalah semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan yudikatif maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan Maksudnya adalah hak azasi anak yang paling mendasar yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
d. Penghargaan terhadap pendapat anak Maksudnya adalah penghargaan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama yang menyangkut kehidupan anak.
Rocky R.J Akarro dan Nathan Anthon Mtweve (2011) mengemukakan bahwa kemiskinan merupakan penyebab utama terciptanya pekerja anak. keluarga yang miskin memiliki kecenderungan lebih untuk mengirim anak-anak mereka ke pasar tenaga kerja dibandingkan dengan keluarga dengan kondisi ekonomi yang lebih baik.[3] Gordon Brown (2012) mengungkapkan bahwa pendidikan memiliki peranan utama dalam pemberantasan pekerja anak. mengembalikan anak-anak ke sekolah dari dunia kerja haruslah menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional.[4] Pendidikan harus diintegrasikan menjadi prioritas utama dalam strategi nasional yang lebih luas untuk memerangi kemiskinan, ketimpangan dan kerentanan ekonomi termasuk program perlindungan sosial. Pekerja Anak dan kemiskinan merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Mereka saling terkait satu sama lain membentuk siklus yang berulang.




Gambar 1: Siklus Kemiskinan dan Pekerja Anak

Sumber: Panduan 1: Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak, ILO


Analisis
Perlindungan terhadap hak anak merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi negara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yaitu pasal 28b. Dalam hal ini anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Lembaga Negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksplotasi secara ekonomi dan/ atau seksual serta anak yang diperdagangkan. Di Indonesia baik di sektor formal dan informal merupakan suatu cerminan kemiskinan baik secara ekonomi maupun pendidikan. Tidak bisa melanjutkan sekolah karna biaya pendidikan yang relatif mahal menyebabkan banyak anak yang putus sekolah dan menjadi pekerja anak untuk membantu keluarga dalam pemenuhan ekonomi rumah tangga.
Berawal dari pendidikan orangtua yang rendah juga berpengaruh, adanya keterbatasan ekonomi dan tradisi, maka banyak orangtua mengambil jalan pintas agar anaknya berhenti sekolah dan lebih baik bekerja dengan alasan
        Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi
        Biaya pendidikan mahal .
        Sekolah tinggi akhirnya jadi penganggur
Tingkat pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan ekonomi, orang tua cenderung berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan manfaat sekolah yang lebih tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan anak dimasa datang. Situasi tersebut yang mendorong anak untuk memilih menjadi pekerja anak.
Di Indonesia sendiri, telah di lakukan Survei Pekerja Anak (SPA) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan International Labor Organization (ILO) menemukan dari 58,8 juta anak di Indonesia pada 2009, sekitar 1,7 juta jiwa menjadi pekerja anak. Pekerja anak saat ini menjadi perbincangan serius di ILO (International Labour Office), menurut laporan ILO Tahun 2009 yang berjudul Children Working In Indonesia 2009,berdasarkan data dari SAKERNAS, bahwa di indonesia terdapat 3,7 juta pekerja anak berumur 10-17 tahun atau 10 % dari jumlah penduduk Indonesia yang berumur 10-17 tahun yaitu 35.7 juta jiwa. Dalam laporan tersebut disebutkan juga bahwa pekerja anak mayoritas bekerja pada sektor buruh. Menurut UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Pasal 68 disebutkan bahwa pengusaha dilarang untuk mempekerjakan anak, dan UU no.13 tahun 2003. Dalam pasal 69 juga menyebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak dibawah 18 tahun atau berusia 14-15 tahun untuk melakukan pekerjaan berat dan harus menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[5] Salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas penduduk suatu negara adalah melalui pendidikan. Namun kenyataanya tidak semua anak mendapatkan hak memperoleh pendidikan yang baik. Masih banyak keluarga yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan anak, baik kebutuhan rohani, jasmani, sosial maupun
ekonomi. Akibatnya, sebagian anak usia sekolah masuk dalam kegiatan ekonomi disebut pekerja anak untuk mendapatkan upah atau untuk membantu orang tua menambah penghasilan keluarga.[6]
Temuan-temuan utama dari survei dari International Labor Organization (ILO) mengenai pekerja anak adalah sebagai berikut:
        Dari jumlah keseluruhan anak berusia 5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam kategori anak yang bekerja. Dari jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76 juta atau 43,3 persen merupakan pekerja anak.
        Dari jumlah keseluruhan pekerja anak berusia 5-17, 48,1 juta atau 81,8 persen bersekolah, 24,3 juta atau 41,2 persen terlibat dalam pekerjaan rumah, dan 6,7 juta atau 11,4 persen tergolong sebagai ‘idle’, yaitu tidak bersekolah, tidak membantu di rumah dan tidak bekerja.
        Sekitar 50 persen pekerja anak bekerja sedikitnya 21 jam per minggu dan 25 percent sedikitnya 12 jam per minggu. Rata-rata, anak yang bekerja bekerja 25,7 jam per minggu, sementara mereka yang tergolong pekerja anak bekerja 35,1 jam per minggu. Sekitar 20,7 persen dari anak yang bekerja itu bekerja pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40 jam per minggu.
        Anak yang bekerja umumnya masih bersekolah, bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga, serta terlibat dalam bidang pekerjaan pertanian, jasa dan manufaktur. Jumlah dan karakteristik anak yang bekerja dan pekerja anak dibedakan antara jenis kelamin dan kelompok umur.[7]
Berdasarkan dari data di atas dapat di simpulkan anak-anak yang bekerja sebagai pekerja anak berada dalam posisi yang berbahaya baik dari segi fisik maupun mental. Hak-hak anak khususnya hak pendidikan tidak terpenuhi sehingga dalam kasus ini, telah terjadinya ketimpangan bagi anak yang berasal dari keluarga miskin untuk mengakses keadilan. Proyek ILO-IPEC di Indonesia telah secara aktif memerangi pekerja anak di negara ini, khususnya bentuk-bentuk terburuknya, sejak 1992 melalui serangkaian program aksi yang dilakukan dengan jalinan kerjasama erat dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, instansi atau kementerian atau lembaga pemerintahan terkait lainnya, serikat pekerja/buruh, organisasi pengusaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan kelompok masyarakat.[8] Berkaitan dengan hal ini, seharusnya pemerintah memperhatikan pendidikan karena sebagai konsekuensi dari krisis adalah naiknya sejumlah harga. Imbas terasa dalam bentuk biaya yang dikeluarkan oleh orangtua untuk menyekolahkan anaknya.[9] Dalam UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, salah satunya terdapat hak untuk memperoleh pendidikan, yaitu setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan yang tinggal didaerah terpencil, pemerintah bertanggungjawab membiayai pendidikan mereka.
Pendidikan merupakan kebutuhan dan hak anak dalam proses tumbuh kembang. Semua anak tanpa kecuali termasuk pekerja anak mempunyai hak pendidikan optimal. Tumbuh kembang merupakan hak dasar anak dari empati dasar lainnya dalam Konvensi Hak Anak yaitu:
·         Memenuhi hak anak akan pendidikan
·         Meningkatkan harkat dan martabat dan derajat anak
·         Mencegah anak atau menarik anak dari situasi permasalahan
·         Sebagai bekal bagi masa depan mereka.[10]

Pekerja anak dimanapun mereka berada, dilihat secara umum kondisi dan situasinya di yakini akan mengancam kehidupan dan jua masa depannya. Berbagai studi tentang pekerja anak seringkali di temukan bahwa seorang pekerja anak selalu berada di kondisi yang tidak menguntungkan, rentan dalam bentuk eksploitasi dan minim dalam akses pengembangan diri secara fisik, mental, spritual, moral.[11] Anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Pendidikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial. Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang anak dalam perjalanan hidupnya. Keberadaan pekerja anak ini dilematis, satu sisi anak-anak bekerja untuk memberikan konstribusi pendapatan keluarga, namun mereka rentan dengan eksploitasi dan perlakuan salah. Pada kenyataannya, sulit untuk memisahkan antara partisipasi anak, pembelajaran dengan eksploitasi anak.[12] Masalah pekerja anak merupakan fenomena yang sulit di tuntaskan hingga kini. Keberadaan pekerja anak erat kaitannya dengan situasi kemiskinan yang menimpa masyarakat. Permasalahan mengenai pekerja anak sudah sangat memprihatinkan karena ini merupakan suatu permasalahan sosial yang harus segera di cari jalan keluarnya, hal ini di sebabkan karena anak-anak yang bekerja seharusnya mengecap pendidikan dan seharusnya belum memasuki dunia kerja. Akan tetapi hal ini semakin banyak terjadi, banyak faktor yang menyebabkannya tidak hanya kemiskinan namun faktor buday dan lingkungan. Hal ini tentunya mendapat perhatian dari masyarakat sekitar pekerja anak, hal yang tumbuh berkembang dalam masyarakat harusnya memang jadi perhatian dalam masyarakat.[13] Sehingga dalam prosesnya kemiskinan menyebabkan siklus lingkaran yang tidak memutuskan rantai pekerja anak



Rekomendasi
 Setiap warga negara memiliki hak akan kesejahteraan. Kemiskinan bukanlah suatu kondisi alamiah, sehingga ketimpangan kondisi ekonomi yang begitu mencolok adalah suatu konsekuensi dalam persaingan hidup. Hal ini dapat tercipta apabila kebijakan negara tidak memperhatikan hak warga negara akan kesejahteraan. Dibutuhkan partisipasi baik dikalangan masyarakat maupun pemerintah. Budaya masyarakat yang ada juga turut memberi andil dalam timbulnya pekerja anak, karena anak yang hidup di lingkungan teman-teman yang cenderung menyukai bekerja daripada sekolah. Dari segi pemerintah dapat meningkatkan program pendidikan bagi anak yang kurang mampu hingga menjangkau sampai ke daerah atau kelompok terpencil. Kita sebagai kalangan akademisi dapat lebih mengkaji hal ini dan terjun ke dalam masyarakat untuk mengingatkan pentingnya pemenuhan hak-hak bagi anak. hal ini dapat dilakukan dengan juga terjun pada NGO yang terkait mengatasi masalah pekerja anak misalnya ILO (International Labor Organization), Yayasan Sekar, dll. Kemiskinan dan pekerja anak menjadi suatu rantai yang berkaitan, oleh sebab itu akses keadilan untuk mencapai pendidikan bagi setiap anak diperlukan agar anak dapat terpenuhi hak-haknya dan untuk membangun generasi mendatang yang cerdas.



Daftar Pustaka


Ambariyanto. 2013. Jurnal: Kemiskinan Multidimensi pada anak.
Bhirawa, Mahesa .2010. “ wajah Anak Indonesia Memprihatikan” dalam http ://ekonomi .kompas iana com /group/ /bisnis /2010/08/26/wajah-pekerja-anak indonesia memprihatinkan, Di akses tan ggal 06-06-2016 jam 19:45
Cameron, Lisa A. 2000. The Impact of the Indonesian Financial Crisis on Children: An Analysis Using the 100 Villages Data, Unicef
Gordon Brown. 2011. Child Labor & Educational Disadvantage-Breaking The Link, Build Opportunity. The Office of The UN Special Envoy for Global Education: London.
ILO Office in Indonesia. 2010. “ ILO – BPS keluarkan data nasional mengenai pekerja anak di Indonesia” dalam http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/lang-- en/contLang--id/WCMS _122351/ index.html Di akses tanggal : 07-06-2016 Pukul 04.31
ILO. 2009. Pengusaha dan Pekerja Anak, Panduan 1: Pengenalan Terhadap Permasalahan Pekerja Anak/Organisasi Perburuhan Internasional- Jakarta ILO diakses pada 07-06-2016 Pukul  03.10
Iqrak Sulhin. Kemiskinan, Kebijakan Negara dan Kenakalan Anak. Jurnal Kriminologi Indonesia.
Irwanto ,dkk. 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan, Seri penelitian Pusat Penelitian UNIKA Atmadjaya, NO 002 dan Unicef Jakarta
McCawley, Peter. 2001. Asian Poverty: What Can be Dones?, Canberra: AusAid
Nandi. 2006. “Pekerja Anak dan Permasalahannya”. Dalam http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/ JUR PEND-GEOGRAFI-NANDI/Artikel-Jurna- GEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf. Di akses tanggal : 06-06-2016, jam 20.20
Nawawi“ Pekerja Anak Indonesia dan Upaya perlindungannya” dalam http://d ocs. Google.com /katalog. pdii.lipi.go.id/index.php /searchkatalog/downloadDatabyId/ 7050/7050.pdf +pekerja+anak+ di+indonesia&hl.
Rocky Akarro and Nathan Anthon Mtweve. 2011. Poverty and Its Association with Child Labor in Njombe District in Tanzania: The Case of Igima Ward. Maxwell Scientific Organization, 2011
Tata Sudrajat, Model-model Pendidikan Anak dalam Situasi Khusus, (Jakarta, KPAI, 2008),
Zahratul Husnaini.  2008. Studi Kasus Enkulturasi Keluarga Pekerja Anak di Kota Padang. Skripsi: Universitas Negeri Andalas

Undang-undang Dasar 1945
UU No.23 tahun 2002
UU No 13 tahun 2003






[1] Ambariyanto. 2013. Jurnal: Kemiskinan Multidimensi pada anak. hlm 118
[2] ILO. 2009. Pengusaha dan Pekerja Anak, Panduan 1: Pengenalan Terhadap Permasalahan Pekerja Anak/Organisasi Perburuhan Internasional- Jakarta ILO diakses pada 07-06-2016 Pukul  03.10
[3] Rocky Akarro and Nathan Anthon Mtweve. 2011. Poverty and Its Association with Child Labor in Njombe District in Tanzania: The Case of Igima Ward. Maxwell Scientific Organization, 2011 hlm 18
[4] Gordon Brown. 2011. Child Labor & Educational Disadvantage-Breaking The Link, Build Opportunity. The Office of The UN Special Envoy for Global Education: London. Hlm 21
[5] Bhirawa, Mahesa .2010. “ wajah Anak Indonesia Memprihatikan” dalam http ://ekonomi .kompas iana com /group/ /bisnis /2010/08/26/wajah-pekerja-anak indonesia memprihatinkan, Di akses tan ggal 06-06-2016 jam 19:45
[6] Nandi. 2006. “Pekerja Anak dan Permasalahannya”. Dalam http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/ JUR PEND-GEOGRAFI-NANDI/Artikel-Jurna- GEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf. Di akses tanggal : 06-06-2016, jam 20.20
[7] ILO Office in Indonesia. 2010. “ ILO – BPS keluarkan data nasional mengenai pekerja anak di Indonesia” dalam http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/lang-- en/contLang--id/WCMS _122351/ index.html Di akses tanggal : 07-06-2016 Pukul 04.31
[8] Ibid
[9] Iqrak Sulhin. Kemiskinan, Kebijakan Negara dan Kenakalan Anak. Jurnal Kriminologi Indonesia. hlm 13
[10] Tata Sudrajat, Model-model Pendidikan Anak dalam Situasi Khusus, (Jakarta, KPAI, 2008), hlm 2
[11] Nawawi“ Pekerja Anak Indonesia dan Upaya perlindungannya” dalam http://d ocs. Google.com /katalog. pdii.lipi.go.id/index.php /searchkatalog/downloadDatabyId/ 7050/7050.pdf +pekerja+anak+ di+indonesia&hl. hlm 118
[12] Irwanto ,dkk. 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan, Seri penelitian Pusat Penelitian UNIKA Atmadjaya, NO 002 dan Unicef Jakarta
[13] Zahratul Husnaini.  2008. Studi Kasus Enkulturasi Keluarga Pekerja Anak di Kota Padang. Skripsi: Universitas Negeri Andalas hlm 16

Komentar

Postingan Populer