bagaimana kemiskinan membentuk pekerja anak
Latar Belakang
Kemiskinan
menjadi permasalahan terbesar bagi negara berkembang seperti Indonesia. Dampak
kemiskinan ini paling signifikan akan dirasakan pada kelompok yang rentan salah
satunya yaitu anak-anak. Kemiskinan yang terjadi pada keluarga akan berpengaruh
pada tingkat kelangsungan hidup anak-anaknya. Hal ini mengakibatkan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar karena anak tumbuh dengan keterbatasan akses
terhadap ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan yang baik dan
partisipasi yang merupakan suatu hal pokok dalam kesejahteraan dan perkembangan
anak.[1]
Hal ini menyebabkan timbulnya pekerja anak dimana banyaknya anak dibawah umur
yang berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak memperoleh pendidikan secara
layak menyebabkan anak membantu orangtuanya untuk meningkatkan pendapatan
keluarga. Pekerja anak tersebut kehilangan masa
di mana mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan
mendapatkan kedamaian. Tidak sedikit dari pekerja anak tersebut terpaksa putus
sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga, dan juga karena
mereka tak sanggup memikul beban ganda sebagai pekerja dan sebagai pelajar.
Pokok Masalah
Kemiskinan
yang terjadi di Indonesia menjadi salah satu faktor timbulnya pekerja anak.
pekerja anak tersebut rela bekerja demi membantu orangtuanya mencukupi
kebutuhan sehingga hak-hak dalam dirinya seperti hak pendidikan formal menjadi berkurang.
Dalam tulisan kali ini akan dipaparkan bagaimana kemiskinan membentuk pekerja
anak yaitu yang kemudian menjadikan tidak terpenuhinya hak-hak anak dalam akses
keadilan yaitu hak pendidikan.
Kerangka Pemikiran
Pasal
2 dari Konvensi ILO tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, 1999
mendefinisakan seorang ‘anak’ sebagai seseorang dibawah 18 tahun. Pekerja anak
adalah istilah yang digunakan untuk mengacu pada anak yang melakukan pekerjaan
yang merusak kesejahteraan dan menghalangi pendidikan, perkembangan dan masa
depan anak tersebut. Pekerja anak adalah anak yang melakukan pekerjaan, yang
sifat pekerjaan dan/atau cara pekerjaan itu dilakukan, merusak, menyalahgunakan
dan mengeksploitasi anak tersebut dan mengganggu pendidikannya.[2]
Berdasarkan
Undang-Undang No.24 tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi sosial ekonomi
seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Salah satu bentuk
kemiskinan adalah kemiskinan struktural yaitu bentuk kemiskinan yang disebabkan
karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang pada umumnya terjadi pada
tatanan sosial budaya ataupun sosial politik yang kurang mendukung adanya
pembebasaan kemiskinan. Bentuk kemiskinan ini terkadang memiliki unsur
diskriminatif dan mengabaikan hak-hak anak.
Hak-hak
dasar anak menurut Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
a. Hak untuk hidup layak Setiap anak berhak untuk mendapatkan kehidupan yang
layak dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan,
tempat tinggal dan perawatan kesehatan. b. Hak untuk berkembang Setiap anak
berhak untuk tumbuh kembang secara wajar tanpa halangan. Mereka berhak untuk
mengetahui identitasnya, mendapatkan pendidikan, bermain, beristirahat, bebas
mengemukakan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinan, dan semua hak
yang memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai potensinya. c. Hak
untuk mendapat perlindungan Setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah. d. Hak
untuk berperan serta Setiap anak berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat
termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang
lain dan menjadi anggota suatu perkumpulan. e. Hak untuk memperoleh pendidikan
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar. Bagi anak yang
terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan yang tinggal didaerah terpencil,
pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab untuk membiayai pendidikan
mereka.
Prinsip
– Prinsip Hak Anak Untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak secara optimal,
anak harus mendapat perlindungan yang utuh, menyeluruh dan komprehensif dengan
mengacu pada prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak. Asas perlindungan anak
menurut UndangUndang No. 23 tahun 2002 sebagai berikut :
a.
Non diskriminasi Maksudnya adalah perlindungan kepada semua anak Indonesia
tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum anak dan kondisi fisik maupun mental anak.
b.
Kepentingan yang terbaik bagi anak Maksudnya adalah semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif
dan yudikatif maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan utama.
c.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan Maksudnya adalah hak azasi
anak yang paling mendasar yang harus dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua.
d.
Penghargaan terhadap pendapat anak Maksudnya adalah penghargaan atas hak-hak
anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan terutama yang menyangkut kehidupan anak.
Rocky
R.J Akarro dan Nathan Anthon Mtweve (2011) mengemukakan bahwa kemiskinan
merupakan penyebab utama terciptanya pekerja anak. keluarga yang miskin
memiliki kecenderungan lebih untuk mengirim anak-anak mereka ke pasar tenaga
kerja dibandingkan dengan keluarga dengan kondisi ekonomi yang lebih baik.[3]
Gordon Brown (2012) mengungkapkan bahwa pendidikan memiliki peranan utama dalam
pemberantasan pekerja anak. mengembalikan anak-anak ke sekolah dari dunia kerja
haruslah menjadi prioritas utama dalam pembangunan nasional.[4]
Pendidikan harus diintegrasikan menjadi prioritas utama dalam strategi nasional
yang lebih luas untuk memerangi kemiskinan, ketimpangan dan kerentanan ekonomi
termasuk program perlindungan sosial. Pekerja Anak dan kemiskinan merupakan dua
hal yang tak terpisahkan. Mereka saling terkait satu sama lain membentuk siklus
yang berulang.
Gambar 1: Siklus Kemiskinan dan
Pekerja Anak

Sumber:
Panduan 1: Pengenalan terhadap Permasalahan Pekerja Anak, ILO
Analisis
Perlindungan terhadap hak anak merupakan hak asasi manusia
yang dijamin oleh konstitusi negara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
yaitu pasal 28b. Dalam hal ini anak perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental
maupun sosial. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 59 menyebutkan bahwa Pemerintah dan Lembaga Negara berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak yang tereksplotasi secara ekonomi dan/ atau seksual serta
anak yang diperdagangkan. Di Indonesia baik di sektor formal
dan informal merupakan suatu cerminan kemiskinan baik secara ekonomi maupun
pendidikan. Tidak bisa melanjutkan sekolah karna biaya pendidikan yang relatif
mahal menyebabkan banyak anak yang putus sekolah dan menjadi pekerja anak untuk
membantu keluarga dalam pemenuhan ekonomi rumah tangga.
Berawal
dari pendidikan orangtua yang rendah juga berpengaruh, adanya keterbatasan
ekonomi dan tradisi, maka banyak orangtua mengambil jalan pintas agar anaknya
berhenti sekolah dan lebih baik bekerja dengan alasan
•
Wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi
•
Biaya pendidikan mahal .
•
Sekolah tinggi akhirnya jadi penganggur
Tingkat
pendidikan yang rendah dan ketidakberdayaan ekonomi, orang tua cenderung
berpikiran sempit terhadap masa depan anaknya sehingga tidak memperhitungkan
manfaat sekolah yang lebih tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan anak dimasa
datang. Situasi tersebut yang mendorong anak untuk memilih menjadi pekerja
anak.
Di Indonesia sendiri, telah di lakukan Survei
Pekerja Anak (SPA) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama
dengan International Labor Organization (ILO) menemukan dari 58,8 juta anak di
Indonesia pada 2009, sekitar 1,7 juta jiwa menjadi pekerja anak. Pekerja anak
saat ini menjadi perbincangan serius di ILO (International Labour Office),
menurut laporan ILO Tahun 2009 yang berjudul Children Working In Indonesia
2009,berdasarkan data dari SAKERNAS, bahwa di indonesia terdapat 3,7 juta
pekerja anak berumur 10-17 tahun atau 10 % dari jumlah penduduk Indonesia yang
berumur 10-17 tahun yaitu 35.7 juta jiwa. Dalam laporan tersebut disebutkan
juga bahwa pekerja anak mayoritas bekerja pada sektor buruh. Menurut UU
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 Pasal 68 disebutkan bahwa pengusaha dilarang
untuk mempekerjakan anak, dan UU no.13 tahun 2003. Dalam pasal 69 juga
menyebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak dibawah 18 tahun atau
berusia 14-15 tahun untuk melakukan pekerjaan berat dan harus menerima upah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[5]
Salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas penduduk suatu negara adalah
melalui pendidikan. Namun kenyataanya tidak semua anak mendapatkan hak
memperoleh pendidikan yang baik. Masih banyak keluarga yang tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan anak, baik kebutuhan rohani, jasmani, sosial maupun
ekonomi.
Akibatnya, sebagian anak usia sekolah masuk dalam kegiatan ekonomi disebut
pekerja anak untuk mendapatkan upah atau untuk membantu orang tua menambah
penghasilan keluarga.[6]
Temuan-temuan
utama dari survei dari International Labor Organization (ILO) mengenai pekerja
anak adalah sebagai berikut:
•
Dari jumlah keseluruhan anak berusia
5-17, sekitar 58,8 juta, 4,05 juta atau 6,9 persen di antaranya termasuk dalam
kategori anak yang bekerja. Dari jumlah keseluruhan anak yang bekerja, 1,76
juta atau 43,3 persen merupakan pekerja anak.
•
Dari jumlah keseluruhan pekerja anak
berusia 5-17, 48,1 juta atau 81,8 persen bersekolah, 24,3 juta atau 41,2 persen
terlibat dalam pekerjaan rumah, dan 6,7 juta atau 11,4 persen tergolong sebagai
‘idle’, yaitu tidak bersekolah, tidak membantu di rumah dan tidak bekerja.
•
Sekitar 50 persen pekerja anak bekerja
sedikitnya 21 jam per minggu dan 25 percent sedikitnya 12 jam per minggu.
Rata-rata, anak yang bekerja bekerja 25,7 jam per minggu, sementara mereka yang
tergolong pekerja anak bekerja 35,1 jam per minggu. Sekitar 20,7 persen dari
anak yang bekerja itu bekerja pada kondisi berbahaya, misalnya lebih dari 40
jam per minggu.
•
Anak yang bekerja umumnya masih
bersekolah, bekerja tanpa dibayar sebagai anggota keluarga, serta terlibat
dalam bidang pekerjaan pertanian, jasa dan manufaktur. Jumlah dan karakteristik
anak yang bekerja dan pekerja anak dibedakan antara jenis kelamin dan kelompok
umur.[7]
Berdasarkan
dari data di atas dapat di simpulkan anak-anak yang bekerja sebagai pekerja
anak berada dalam posisi yang berbahaya baik dari segi fisik maupun mental.
Hak-hak anak khususnya hak pendidikan tidak terpenuhi sehingga dalam kasus ini,
telah terjadinya ketimpangan bagi anak yang berasal dari keluarga miskin untuk
mengakses keadilan. Proyek ILO-IPEC di Indonesia telah secara aktif memerangi
pekerja anak di negara ini, khususnya bentuk-bentuk terburuknya, sejak 1992
melalui serangkaian program aksi yang dilakukan dengan jalinan kerjasama erat
dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, instansi atau kementerian atau
lembaga pemerintahan terkait lainnya, serikat pekerja/buruh, organisasi
pengusaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, media massa dan kelompok
masyarakat.[8]
Berkaitan dengan hal ini, seharusnya pemerintah memperhatikan pendidikan karena
sebagai konsekuensi dari krisis adalah naiknya sejumlah harga. Imbas terasa
dalam bentuk biaya yang dikeluarkan oleh orangtua untuk menyekolahkan anaknya.[9]
Dalam UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, salah satunya terdapat hak
untuk memperoleh pendidikan, yaitu setiap anak berhak memperoleh pendidikan
minimal tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu
dan yang tinggal didaerah terpencil, pemerintah bertanggungjawab membiayai
pendidikan mereka.
Pendidikan
merupakan kebutuhan dan hak anak dalam proses tumbuh kembang. Semua anak tanpa
kecuali termasuk pekerja anak mempunyai hak pendidikan optimal. Tumbuh kembang
merupakan hak dasar anak dari empati dasar lainnya dalam Konvensi Hak Anak
yaitu:
·
Memenuhi hak anak akan pendidikan
·
Meningkatkan harkat dan martabat dan
derajat anak
·
Mencegah anak atau menarik anak dari
situasi permasalahan
Pekerja
anak dimanapun mereka berada, dilihat secara umum kondisi dan situasinya di
yakini akan mengancam kehidupan dan jua masa depannya. Berbagai studi tentang
pekerja anak seringkali di temukan bahwa seorang pekerja anak selalu berada di
kondisi yang tidak menguntungkan, rentan dalam bentuk eksploitasi dan minim
dalam akses pengembangan diri secara fisik, mental, spritual, moral.[11]
Anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Pendidikan
yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak
memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial.
Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan keluarganya.
Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang anak dalam
perjalanan hidupnya. Keberadaan pekerja anak ini dilematis, satu sisi anak-anak
bekerja untuk memberikan konstribusi pendapatan keluarga, namun mereka rentan
dengan eksploitasi dan perlakuan salah. Pada kenyataannya, sulit untuk
memisahkan antara partisipasi anak, pembelajaran dengan eksploitasi anak.[12] Masalah
pekerja anak merupakan fenomena yang sulit di tuntaskan hingga kini. Keberadaan
pekerja anak erat kaitannya dengan situasi kemiskinan yang menimpa masyarakat.
Permasalahan mengenai pekerja anak sudah sangat memprihatinkan karena ini
merupakan suatu permasalahan sosial yang harus segera di cari jalan keluarnya,
hal ini di sebabkan karena anak-anak yang bekerja seharusnya mengecap
pendidikan dan seharusnya belum memasuki dunia kerja. Akan tetapi hal ini
semakin banyak terjadi, banyak faktor yang menyebabkannya tidak hanya
kemiskinan namun faktor buday dan lingkungan. Hal ini tentunya mendapat
perhatian dari masyarakat sekitar pekerja anak, hal yang tumbuh berkembang
dalam masyarakat harusnya memang jadi perhatian dalam masyarakat.[13]
Sehingga dalam prosesnya kemiskinan menyebabkan siklus lingkaran yang tidak
memutuskan rantai pekerja anak
Rekomendasi
Setiap warga negara memiliki hak akan
kesejahteraan. Kemiskinan bukanlah suatu kondisi alamiah, sehingga ketimpangan
kondisi ekonomi yang begitu mencolok adalah suatu konsekuensi dalam persaingan
hidup. Hal ini dapat tercipta apabila kebijakan negara tidak memperhatikan hak
warga negara akan kesejahteraan. Dibutuhkan partisipasi baik dikalangan
masyarakat maupun pemerintah. Budaya masyarakat yang ada juga turut memberi
andil dalam timbulnya pekerja anak, karena anak yang hidup di lingkungan
teman-teman yang cenderung menyukai bekerja daripada sekolah. Dari segi
pemerintah dapat meningkatkan program pendidikan bagi anak yang kurang mampu
hingga menjangkau sampai ke daerah atau kelompok terpencil. Kita sebagai
kalangan akademisi dapat lebih mengkaji hal ini dan terjun ke dalam masyarakat
untuk mengingatkan pentingnya pemenuhan hak-hak bagi anak. hal ini dapat
dilakukan dengan juga terjun pada NGO yang terkait mengatasi masalah pekerja
anak misalnya ILO (International Labor Organization), Yayasan Sekar, dll. Kemiskinan
dan pekerja anak menjadi suatu rantai yang berkaitan, oleh sebab itu akses
keadilan untuk mencapai pendidikan bagi setiap anak diperlukan agar anak dapat
terpenuhi hak-haknya dan untuk membangun generasi mendatang yang cerdas.
Daftar Pustaka
Ambariyanto.
2013. Jurnal: Kemiskinan Multidimensi
pada anak.
Bhirawa,
Mahesa .2010. “ wajah Anak Indonesia Memprihatikan” dalam http ://ekonomi .kompas iana com
/group/ /bisnis /2010/08/26/wajah-pekerja-anak indonesia memprihatinkan, Di akses tan ggal 06-06-2016 jam 19:45
Cameron, Lisa A. 2000. The Impact of the Indonesian Financial
Crisis on Children: An Analysis Using the 100 Villages Data, Unicef
Gordon
Brown. 2011. Child Labor &
Educational Disadvantage-Breaking The Link, Build Opportunity. The Office of
The UN Special Envoy for Global Education: London.
ILO Office in Indonesia. 2010. “ ILO – BPS keluarkan data nasional mengenai
pekerja anak di Indonesia” dalam
http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/lang-- en/contLang--id/WCMS _122351/
index.html Di akses tanggal : 07-06-2016 Pukul 04.31
ILO.
2009. Pengusaha dan Pekerja Anak, Panduan 1: Pengenalan Terhadap Permasalahan Pekerja Anak/Organisasi Perburuhan
Internasional- Jakarta ILO diakses pada 07-06-2016 Pukul 03.10
Iqrak Sulhin. Kemiskinan, Kebijakan Negara dan Kenakalan Anak. Jurnal Kriminologi
Indonesia.
Irwanto ,dkk. 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan, Seri
penelitian Pusat Penelitian UNIKA Atmadjaya, NO 002 dan Unicef Jakarta
McCawley, Peter. 2001. Asian Poverty:
What Can be Dones?, Canberra: AusAid
Nandi. 2006. “Pekerja
Anak dan Permasalahannya”. Dalam http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/ JUR
PEND-GEOGRAFI-NANDI/Artikel-Jurna-
GEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf. Di akses tanggal : 06-06-2016,
jam 20.20
Nawawi“ Pekerja Anak Indonesia dan Upaya
perlindungannya” dalam http://d ocs. Google.com /katalog. pdii.lipi.go.id/index.php
/searchkatalog/downloadDatabyId/ 7050/7050.pdf +pekerja+anak+
di+indonesia&hl.
Rocky Akarro and Nathan Anthon Mtweve.
2011. Poverty and Its Association with
Child Labor in Njombe District in Tanzania: The Case of Igima Ward. Maxwell
Scientific Organization, 2011
Tata Sudrajat, Model-model Pendidikan Anak dalam Situasi Khusus, (Jakarta, KPAI,
2008),
Zahratul Husnaini. 2008. Studi
Kasus Enkulturasi Keluarga Pekerja Anak di Kota Padang. Skripsi:
Universitas Negeri Andalas
Undang-undang
Dasar 1945
UU
No.23 tahun 2002
UU
No 13 tahun 2003
[1]
Ambariyanto. 2013. Jurnal: Kemiskinan Multidimensi pada anak. hlm 118
[2] ILO.
2009. Pengusaha dan Pekerja Anak, Panduan 1: Pengenalan Terhadap Permasalahan
Pekerja Anak/Organisasi Perburuhan Internasional- Jakarta ILO diakses pada
07-06-2016 Pukul 03.10
[3] Rocky
Akarro and Nathan Anthon Mtweve. 2011. Poverty and Its Association with Child
Labor in Njombe District in Tanzania: The Case of Igima Ward. Maxwell
Scientific Organization, 2011 hlm 18
[4] Gordon
Brown. 2011. Child Labor & Educational Disadvantage-Breaking The Link,
Build Opportunity. The Office of The UN Special Envoy for Global Education:
London. Hlm 21
[5]
Bhirawa, Mahesa .2010. “ wajah
Anak Indonesia Memprihatikan” dalam http ://ekonomi .kompas iana com /group/
/bisnis /2010/08/26/wajah-pekerja-anak indonesia memprihatinkan, Di akses tan ggal 06-06-2016
jam 19:45
[6]
Nandi. 2006.
“Pekerja Anak dan Permasalahannya”. Dalam http://file.upi.edu/Direktori/-FPIPS/
JUR PEND-GEOGRAFI-NANDI/Artikel-Jurna- GEA.pdf-Pekerja-Anak-dan-Permasalahannya.pdf.
Di akses tanggal : 06-06-2016, jam 20.20
[7] ILO
Office in Indonesia. 2010. “ ILO – BPS keluarkan data nasional mengenai pekerja
anak di Indonesia” dalam http://www.ilo.org/jakarta/info/public/pr/lang--
en/contLang--id/WCMS _122351/ index.html Di akses tanggal : 07-06-2016 Pukul
04.31
[8] Ibid
[9] Iqrak
Sulhin. Kemiskinan, Kebijakan Negara dan Kenakalan Anak. Jurnal Kriminologi
Indonesia. hlm 13
[10] Tata
Sudrajat, Model-model Pendidikan Anak dalam Situasi Khusus, (Jakarta, KPAI,
2008), hlm 2
[11]
Nawawi“ Pekerja Anak Indonesia dan Upaya perlindungannya” dalam http://d
ocs. Google.com /katalog. pdii.lipi.go.id/index.php
/searchkatalog/downloadDatabyId/ 7050/7050.pdf +pekerja+anak+
di+indonesia&hl. hlm 118
[12] Irwanto
,dkk. 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan, Seri
penelitian Pusat Penelitian UNIKA Atmadjaya, NO 002 dan Unicef Jakarta
[13] Zahratul
Husnaini. 2008. Studi Kasus Enkulturasi
Keluarga Pekerja Anak di Kota Padang. Skripsi: Universitas Negeri Andalas hlm
16
Komentar