kriminalisasi perempuan korban dalam kasus KDRT

Latar Belakang
Kaum perempuan menjadi kelompk yang rentan terhadap kekerasan disebabkan oleh adanya fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Struktur sosial budaya (patriarki) serta keyakinan agampun turut melekangkan hal ini sehingga berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terjadi hampir di semua lini kehidupan perempuan.[1] Perempuan secara struktural diposisikan sebagai pihak yang lemah dibandingkan dengan laki-laki, sehingga membuat perempuan rentan menjadi korban kejahatan.[2] Konferensi Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993 mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang dialami perempuan di dalam keluarga, dalam komunitas maupun kekerasan negara. Konferensi internasional ini juga menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM, dan bahwa pemenuhan hak-hak perempuan adalah pemenuhan hak-hak asasi manusia.[3] Perempuan yang menjadi korbanpun tak jarang mengalami reviktimisasi oleh aparat penegak hukum. Seperti yang ditulis pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2010 bahwa pada tahun 2009 ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan.[4] Padahal negara sebagai penyelenggara peradilan pidana harus memiliki hukum yang merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercaayaan dan perlindungan penduduk, baik didalam maupun diluar wilayahnya.[5] Pengalaman buruk yang dirasakan korban dan membuatnya malas berinteraksi dengan aparat hukum adalah pengabaian laporan atau polisi tidak terlalu menganggap serius kasus yang dilaporkan korban, bahkan tidak jarang polisi menyalahkan korban (victim blaming) dan menganggap bahwa korban yang menyebabkan kejahatan ini terjadi.[6] Pengalaman buruk korban juga terjadi saat korban melaporkan diri pada pihak kepolisisan mengenai kasus kekerasan yang mereka alami, kurangnya aparat penegak hukum yang sensitif terhadap gender ini menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak perempuan sebagai korban bahkan menyebabkan korban mengalami kriminalisasi atas kasus yang ia sampaikan. Dalam kasus pelecehan seksual di tempat umum misalnya di tempat kerja, lebih sulit untuk diproses secara hukum karena bukti-bukti yang kurang jelas. Dengan begitu, banyak perempuan korban kekerasan yang enggan melaporkan pengalaman viktimisasinya karena krisis kepercayaan terhadap aparat hukum.[7]
Pokok Masalah
Dalam melakukan pendampingan terhadap korban di tingkat kepolisian masih ditemukannya aparat penegak hukum yang menyudutkan korban. Tidak hanya dari sisi aparat penegak hukum namun pelakupun melakukan diskriminasi hak-hak korban perempuan dengan cara mengkriminalisasi perempuan korban. Sehingga dalam hal ini dibutuhkannya perlindungan dan pendampingan hukum bagi korban khususnya perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang kasusnya kebanyakan berakhir mediasi antara suami dan istri sehingga suami pelaku kekerasan seksual cenderung mengulangi kekerasan dalam rumah tangga, hal ini menyebabkan perempuan korban rentan mengalami kriminalisasi. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai kriminalisasi perempuan korban dalam kasus KDRT yang dilaporkan oleh suaminya dengan tuduhan penyebaran nama baik dan bentuk perlindungan dan bantuan hukum kepada perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kerangka Pikir
Dari awal abad 20 para feminis sudah menyuarakan mengenai hukum yang bias gender. Menurut Margot Stubbs dengan teori Legal Feminist-nya, mengatakan bahwa hukum masih bias gender karena budaya patriarki yang masih melekat. Dimana kepentingan perempuan juga masih diabaikan. Hal tersebut terlihat dari hukum yang harus tidak dianggap netral di masyarakat, tetapi sebagai bentuk peraturan yang dipergunakan untuk memproduksi hubungan antara seksual dan kelas ekonomi yang ada. Prinsip kesamaan derajat di muka hukum justru melegitimasi, melanggenggkan ketidaksetaraan dan keadilan gender, ketidakadilan dan diskriminasi atas jenis kelamin, orientasi seksual, etnisitas, ras, keyakinan dan kelas sosial yang ada dalam masyarakat.[8]
Kekerasan berbasis gender menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB,1993) adalah: “Segala tingkah laku yang merugikan yang ditujukan kepada perempuan karena jenis kelaminnya, termasuk penganiayaan istri, penyerangan seksual, mas kawin yang dikaitkan dengan pembunuhan, perkosaan dalam perkawinan, pemberian gizi yang kurang pada anak perempuan, pelacuran paksa, sunat untuk perempuan, dan penganiayaan seksual pada anak
perempuan. Lebih khusus lagi, kekerasan terhadap perempuan meliputi setiap tindakan pemaksaan secara verbal (fisik), pemaksaan atau perampasan kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan atau gadis yang merugikan secara fisik maupun psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang sehingga mengekalkan subordinasi perempuan.”.[9]
Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan[10]
Kekerasan di masyarakat bukan lagi suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersamaan dengan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yang paling menarik perhatian publik kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga yang seringkali banyak menimpa kaum perempuan. Kekerasan tersebut cenderung tersembunyi karena baik pelaku ataupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Pada kenyataannya sangatlah sulit mengukur secara tepat luasnya jangkauan kekerasan terhadap perempuan, karena masalah ini masuk wilayah peka kehidupan perempuan, di mana perempuan itu sendiri enggan membicaraknnya. Pada awalnya secara umum kekerasan tehadap perempuan hanya diatur dalam KUHP, dalam bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Lambat laun kekerasan terhadap perempuan meningkat dan mendapat perhatian publik karena sifat dan dampaknya sangat berpengaruh bagi masyarakat. Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Menyadari adanya kompleksitas permasalahan terkait kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan, maka kaum perempuan mendapat angin segar dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga yang secara umum dapat memback up kaum perempuan dalam mendapatkan hak-hak hukumnya. Undang-undang tersebut semestinya melindungi pihak-pihak yang paling rentan di dalam rumah, yaitu perempuan dan anak. Namun, dalam implementasinya ternyata undangundang tersebut justru mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan, terutama karena aparat penegak hukum tidak mempertimbangkan hubungan antara suami, istri dan anak, dalam menerapkan undang-undang ini. Akibatnya, perempuan korban kekerasan tidak mendapatkan hak-haknya. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan memandang bahwa Undang-Undang PKDRT adalah terobosan hukum bagi upaya menghadirkan keadilan hak asasi di Indonesia. Undang-Undang PKDRT merupakan salah satu wujud komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984.3
Upaya Si Korban mencari keadilan dihadapkan berbagai hambatan. Aparat penegak hukum juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan bantuan hukum masih langka dan sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit penanganan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. Komnas Perempuan juga menerima laporan di mana aparat penegak hukum melakukan memediasi pelaku dan korban tanpa dikerangkai misi memutus siklus kekerasan dan memberi efek jera pada pelaku. Sejumlah aparat penegak hukum juga mengabaikan hak korban atas informasi yang utuh tentang proses hukum yang akan dijalani dan akibat hukumnya. Keadaan ini menyebabkan korban merasa terintimidasi dan akibatnya, sejumlah banyak korban mencabut laporannya atau meminta aparat penegak hukum menghentikan proses kasus atas kekerasan yang dialami.
Dengan gambaran di atas, akhirnya perempuan lebih rentan kekerasan. Perempuan dituntut dengan berbagai kewajiban, tetapi sering dilupakan pemenuhan hak-haknya, hingga lebih mudah mengalami ketidakadilan dan akhirnya menjadi sasaran kesewenangan dan kekerasan.[11]

Analisis

Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi terhadap perempuan namun kasusnya sulit untuk dibongkar.  Kesulitan dalam membongkar kasus KDRT dapat diidentifikasi dari beberapa faktor, diantaranya kasus KDRT terjadi dalam institusi yang legal dan intim, ruang lingkup terjadinya kekerasan relatif tertutup dan terjaga ketat oleh anggota keluarga, dan anggapan bahwa suami pemimpin keluarga. Kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga seperti yang ditunjukkan dalam berbagai penelitian terdahulu terjadi karena tertanamnya budaya patriakhi, yang dipahami bahwa laki-laki menduduki posisi yang superior dan perempuan menduduki posisi yang inferior yang mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan perempuan. Hal ini semakin didukung dengan adanya interpretasi yang keliru terhadap stereotip jender yang sudah disosialisasikan sedari dini. Secara lebih spesifik Bornstein (2006 dalam Veronica), membagi faktor penyebab kekerasan domestik yang dilakukan oleh pasangan menjadi dua, yaitu pertama, ketergantungan ekonomi.
Ketergantungan ekonomi menggambarkan sebuah keadaan dimana salah satu pihak memiliki kondisi eksklusif untuk mengatur sumber-sumber keuangan. Kendati yang ekslusif dalam urusan finasial tidak hanya disebabkan karena hanya salah satu pihak saja yang memiliki sumber finansial, tetapi juga dapat dilakukan melalui ancaman dan intimidasi.[12] Kedua, yaitu ketergantungan emosional yang ditandai oleh kebutuhan akan pengasuhan, perlindungan, dan dukungan, walaupun di dalam situasi dimana seseorang dapat berfungsi secara baik dengan menggunakan kapasitas dirinya sendiri dan dapat menghadapi tantangan yang akan datang kepadanya. Dengan adanya bentuk-bentuk ketergantungan tersebut, menjadi persoalan yang sulit bagi istri (sebagai korban) manakala harus melaporkan suaminya sendiri sekaligus pelaku kekerasan, hingga akhirnya tidak memilih upaya hukum sebagai jalur penanganan kasus. Selain itu, jika melihat realitanya, baik berdasarkan pandangan masyarakat, kepolisian, kejaksaan, peradilan, bisa ditarik asumsi bahwa KDRT, masih dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak perlu campur tangan pihak luar untuk menyelesaikannya.[13] Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang semestinya melindungi pihak-pihak yang paling rentan di dalam rumah, yaitu perempuan dan anak, telah digunakan untuk justru mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan. Hal ini terutama karena aparat penegak hukum (APH) tidak mempertimbangkan relasi timpang suami dan istri, juga anak, dalam menerapkan UU PKDRT. Akibatnya, perempuan korban tidak mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Kasus penetapan status tersangka kepada istri wakil walikota Magelang (EN) yang sedang mencari keadilan atas tindak kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) yang ia alami adalah salah satu contohnya. Bersama dengan pendamping, korban ditetapkan sebagai tersangka atas gugatan pencemaran nama baik suaminya. Penetapan korban sebagai tersangka menimbulkan dugaan bahwa aparat penegak hukum lebih mengutamakan pemegang kuasa. Kasus EN, yang menjadi perhatian publik sejak beberapa hari ini karena harus menghadapi hukuman penjara selama 4 (empat) bulan adalah contoh situasi yang memprihatinkan terhadap sistem peradilan pidana yang ada. Sejak UU PKDRT diterapkan, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berani melaporkan kasusnya dan mencari keadilan. Sejak lima tahun terakhir, data tentang KDRT, khususnya kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi mayoritas kasus yang ditangani lembaga layanan. Sepanjang tahun 2012 saja, tercatat 8.315 kasus KTI atau 66% dari kasus yang ditangani. Hampir setengah (46%) dari kasus tersebut adalah kekerasan psikis, 28% kekerasan fisik, 17% kekerasan seksual, dan 8% kekerasan ekonomi. Bentuk KDRT lain yang tengah marak dilaporkan dilakukan oleh pejabat publik adalah berupa kejahatan perkawinan.[14]
Namun, upaya korban mencari keadilan dihadapkan pada banyak hambatan. APH juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan bantuan hukum masih langka dan sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit penanganan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. Komnas Perempuan juga menerima laporan di mana APH melakukan memediasi pelaku dan korban tanpa dikerangkai misi memutus siklus kekerasan dan memberi efek jera pada pelaku. Sejumlah APH juga mengabaikan hak korban atas informasi yang utuh tentang proses hukum yang akan dijalani dan akibat hukumnya. Semua situasi ini menyebabkan korban merasa terintimidasi dan akibatnya, sejumlah banyak korban mencabut laporannya atau meminta APH menghentikan proses kasus atas kekerasan yang dialami.
Di dalam perkembangannya, perempuan dalam posisinya sebagai istri yang melaporkan kekerasan yang ia alami rentan kriminalisasi. Korban dilaporkan kembali oleh suaminya dengan berbagai alasan, termasuk kekerasan, pengabaian keluarga, juga pencemaran nama baik. Data pengaduan masuk ke Komnas Perempuan tahun 2011- Juni 2013 menunjukkan bahwa 60% korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengalami kriminalisasi; 10% dikriminalkan melalui UU PKDRT hingga menjadi narapidana.
Situasi kriminalisasi ini terjadi karena aparat penegak hukum (APH) dalam menerapkan UU PKDRT justru belum menjalankan perintah UU PKDRT, yaitu untuk melakukan analisis hubungan timpang antara suami-istri yang mengakibatkan terjadinya siklus kekerasan di dalam pasangan tersebut dalam penanganan perkara. Perkara KDRT kerap diperlakukan sebagaimana kasus kriminal lainnya dimana APH hanya menggunakan perspektif normatif dan mendasarkan pada pemenuhan unsur-unsur delik pidana dan pengumpulan saksi serta alat bukti. Karena itu, ketika terjadi pelaporan balik oleh pihak suami yang sebelumnya telah melakukan kekerasan, APH meletakkan posisi perempuan korban justru sebagai pelaku kekerasan tanpa mengindahkan fakta kekerasan gender dalam relasi rumah tangga. Situasi ini tampak dalam proses peradilan dari sejak tingkat penyidikan hingga putusan pengadilan. Singkatnya, kriminalisasi perempuan korban KDRT merupakan bentuk diskriminasi terhadap korban dan melanggengkan praktik pelanggaran hak perempuan di ranah privat.[15] KDRT tidak dapat dicegah dan dihentikan oleh lembaga formal pemerintah saja tetapi terdapat pula upaya pemenuhan hak perempuan korban KDRT dalam mendapatkan pelayanan hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non-formal lainya seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan Pusat Krisis Terpadu (PKT). Secara normatif, disebutkan di dalam UU PKDRT, pasal 5, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahnya dengan (Salah satunya) kekerasan seksual, dijabarkan lebih lanjut di dalam pasal 8 yakni, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi, (salah satunya) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kasus diatas menyatakan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia telah mengakui korban pemerkosaan ingga kekerasan dan mengkriminalisasikan pelaku dibawah UU Kekerasan di dalam Rumah Tangga. Feminis radikal melihat seks atau gender dalam sistem patriarkhi sebagai akar dari bentuk opresi terhadap perempuan. Dalam struktur masyarakat patriarkhi, tubuh perempuan dianggap objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki[16]. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan produk dari sistem patriarkhi, dimana laki-laki yang memiki kekuasaan dalam rumah tangga berperan sebagai subjek seksual dan perempuan sebagai objek seksual. Peran reproduksi dan seksual perempuan dalam sistem patriarkhi menyebabkan berbagai jenis opresi terhadap dirinya. Kekerasan dalam rumah tangga akan menimbulkan berbagai opresi lainnya yang dapat terjadi terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga. Tokoh feminis, Angela Davis mendefiniskan perkosaan bukan sebagai bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dimiliki oleh laki-laki, namun bahwa hal tersebut dilakukan oleh karena temperamen laki-laki yang senantiasa ingin dapat mengontrol perempuan.[17]
Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur hukum dan non hukum. Jalur hukum yang dimaksud adalah penanganan kasus dengan memprosesnya secara pidana melalui pengadilan terhadap pelaku kekerasan. Sedangkan penanganan non-hukum dapt ditempuh korban dengan membuka dan menceitakan kasus yang dialaminya kepada orang yang dipercayainya dapat membantu mengatasi masalah yang dialaminya kepada orang yang dipercayai dapat membantu mengatasi masalah yang dialaminya, dengan menghubungi lembaga-lembaga yang memberikan layanan konsultasi, konseling atau hotline, maupun mendatangi crisis centre yang ada untuk memperoleh bantuan pelayanan secara fisik, emosi, motivasi, advokasi dan akomodasi yang sifatnya sementara maupun jangka panjang.[18] Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2010 menunjukkan bahwa pemerintah sudah mendirikan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di tingkat kabupaten/kota berjumlah 102 dan 19 di tingkat propinsi. Upaya pemenuhan hak-hak korban yang dilakukan dengan adanya bantuan hukum sangat penting. Baik perlindungan setelah korban mengalami viktimisasi yaitu khususnya prioritas bantuan pada korban kekerasan seksual yang dapat merespon secara cepat mengatasi dampak viktimisasi seperti penanganan medis, konseling, rumah aman dll, di saat pengadilan yaitu dalam model pendampingan hukum selama proses criminal justice system  hingga pasca pengadilan yaitu rehabilitasi dalam hal pemulihan kembali kondisi korban. Proses usaha perlindungan dan pemberian bantuan hukum pada korban mulai terlihat dari munculnya lembaga-lembaga yang berorientasi pada kepentingan korban seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Pusat Krisis Terpadu, dll. Jaminan perlindungan terhadap korban tindak pidana dapat berupa perlindungan saksi, rumah aman, pemberian bantuan, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi.


Rekomendasi
Perempuan sebagai bagian dari kelompok yang rentan mengalami kekerasan baik di sektor publik maupun privat, membutuhkan perlindungan untuk dapat terpenuhi hak-haknya. Berdasarkan uraian diatas maka perlu diterapkan sebuah sistem peradilan yang baik guna memberikan pelayanan yang baik terhadap perempuan korban kekerasan terutama korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini untuk mendukung perempuan dan memberikan perlindungan terkait dengan viktimisasi yang ia terima dan apa yang harus dilakukan oleh perempuan korban kekerasan agar mendapatkan keadilan dalam sistem peradilan dan agar mereka mau melaporkan pelaporan dan proses peradilan hingga akhir sehingga para pelaku tindak kekerasan bisa dikurangi. Selain hal tersebut perlu adanya perlindungan khusus terhadap korban yang bias gender artinya perlu untuk memberikan hal-hal khusus terkait dengan perempuan sebagai korban kejahatan.



Daftar Pustaka
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012
Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2010
Chris Hale, et al.2005. Criminology. New York: Oxford Unicersity Press.
Vold,George. Theoretical Criminology. Oxford University Press, 2002.
KPP RI, UNFA, Kumpulan Tanya Jawab Untuk Lebih Memahami UU NO. 23 tahun 2004 tentang PKDRT 2004
Poerwandari, Kristi dan Ester Lianawati, Penguatan Psikologis Untuk Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual, Jakarta, Program Kaiian Wanita, Program Pasca Sarjana UI, 2006
Logan 2006. Women and Victimization: Contributing Factors, Interventions, and Implications. Washington DC: America Psycological Association.
Mansur dan Gultom, 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita. Bandung: Rajawali Press.
Ishar Helmi, Muhammad Juli 2014, “Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP)” Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKANSI)
Hendrya, Pepi. 2012. Tesis: Pemberdayaan perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Ketahanan Individu. Program Pasca Sarjana UI
Scott, London, dan Myers, 2002, dalam Noni Veronica Liliana, Bantuan Hukum LBH APIK dalam Penanganan Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas Indonesia, 2010
Suparno 2002. Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran Situasi Kekerasan terhadap Istri.
Walklate 2007. Imagining The Victim of Crime. Bekshire: Open University Press.
Weisberg, 1993. Feminist Legal Theory: Foundation. Philadelphia: Temple University Press.
www.komnasperempuan.or.id diakses pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 21.37




[1] Pepi Hendrya. 2012. Tesis: Pemberdayaan perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Ketahanan Individu. Hlm 1
[2] Chis Hale, Keith Hayward,Azrini Wahidin, Emma Wincup.2005. Criminology. New York: Oxford Unicersity Press. hlm 493
[3] www.komnasperempuan.or.id diakses pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 21.37
[4] Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2010 hlm 1
[5] Mansur dan Gultom, 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita. Bandung: Rajawali Press.hlm 7
[6] Walklate 2007. Imagining The Victim of Crime. Bekshire: Open University Press. hlm 141
[7] Logan 2006. Women and Victimization: Contributing Factors, Interventions, and Implications. Washington DC: America Psycological Association.hlm 166
[8] Weisberg, 1993. Feminist Legal Theory: Foundation. Philadelphia: Temple University Press. hlm 457
[9]  KPP RI, UNFA, Kumpulan Tanya Jawab Untuk Lebih Memahami UU NO. 23 tahun 2004 tentnag PKDRT 2004 hlm 5
[10] Muhammad Ishar Helmi, Juli 2014, “Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP)” Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKANSI)
[11] Kristi Poerwandari dan Ester Lianawati, Penguatan Psikologis Untuk Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Seksual, Jakata, Program Kaiian Wanita, Program Pasca Sarjana UI, 2006 2010: 8
[12] Scott, London, dan Myers, 2002, dalam Noni Veronica Liliana, Bantuan Hukum LBH APIK dalam Penanganan Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas Indonesia, 2010, hlm,22.
[13] Katjasungkana, Nursyahbani, dan Mumtahanan, Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, dalam Ibid hlm, 37.
[14] Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2012
[16]Ibid.
[17] George B. Vold, Theoretical Criminology. Oxford University Press, 2002.
[18] Suparno 2002. Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran Situasi Kekerasan terhadap Istri.hlm 16

Komentar

Postingan Populer