pelecehan seksual dan perkosaan di ruang publik
Pelecehan seksual dan
Perkosaan di Ruang Publik
Angkutan umum bisa menjadi salah satu tempat
paling tidak aman bagi perempuan Indonesia. Pertengahan 2011, seorang mahasiswi
informatika yang baru pulang dari kampus menjadi korban: diperkosa bergiliran
oleh empat orang, lehernya dijerat dengan tali hingga tewas dan mayatnya
dibuang di jalan. Sekedar mengingatkan, ini tidak terjadi di daerah terpencil,
tapi di tempat umum, di atas sebuah moda transportasi publik di ibukota
Indonesia: Jakarta. Dan itu bukan kasus satu-satunya, karena beberapa waktu
sebelumnya, seorang perempuan pedagang sayuran diperkosa empat laki-laki di
pagi hari, di atas angkutan saat akan pasar. Dalam sebuah kasus lain, seorang
korban yakni karyawati perempuan berinisial RS berhasil menangkap sendiri
seorang pelaku, dan menyeret tiga pemerkosaan lainnya ke pengadilan. Ia menjadi
korban pemerkosaan empat laki-laki di atas angkutan umum setelah pulang kantor.
Kasus
perkosaan dapat terjadi pada beragam lokasi. Tercatat dari sejumlah kasus yang
disoroti pada pertengahan tahun 2012 hingga 2013, mulai dari kantor
pemerintahan, rumah ibadah, angkutan kota, dll. hal ini menunjukkan aktifitas
pemerkosaan yang kian tidak mengenal tempat dan waktu. Bahkan ruang publik yang
dahulunya menjadi tempat aman dalam berinteraksi sekarang tidak lagi begitu
nyaman.[1] Ruang
publik sering digunakan untuk menggambarkan ruang-ruang di kota seperti jalan,
taman, lapangan dan bangunan publik yang dibuka untuk publik dan dapat diakses
oleh setiap orang -sebagai kebalikan dari ruang privat yang aksesnya dibatasi.
Penggunaan ruang publik merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari
perempuan dan laki-laki di kota dan merupakan arena penting untuk mempromosikan
inklusi sosial di kota.[2]
Namun dalam penggunaan ruang publik, seringkali terjadi kekerasan berbasis
gender diantaranya yaitu pelecehan dan perkosaan.
Komnas
Perempuan (2011) mencatat di Indonesia setiap hari sedikitnya empat perempuan
menjadi korban kekerasan di ruang publik. Data Komnas Perempuan tahun 1998-2011
menunjukkan jumlah kasus kekerasan seksual di ruang publik sebanyak 22.284
kasus dan merupakan urutan kedua terbanyak dari semua kasus kekerasan seksual
yang mencapai 93.960 kasus. Sebuah survey di Mesir menemukan bahwa 62% dari
responden laki-laki menyatakan pernah melakukan pelecehan seksual terhadap
perempuan.[3]
Sedangkan sebuah survey global tentang pengalaman pelecehan seksual di jalan
menemukan bahwa bentuk pelecehan terhadap perempuan berupa siulan 95%, gerakan
atau isyarat vulgar 82%, komentar berkonotasi seksual 81%, diikuti/dikuntit
75%, disentuh secara seksual 57%, masturbasi publik 37%, dan diserang secara
seksual 27%.[4]
Dalam kasus perkosaan yang kerap terjadi di
ruang publik. Perempuan dianggap menciptakan kesempatan dan peluang terjadinya
pemerkosaan lewat pakaian atau gerak-gerik yang menggoda laki-laki. Korban
pelecehan di ruang publik seringkali tidak mendapat dukungan dari keluarga
untuk mencari keadilan karena dianggap membawa aib. Bahkan tidak jarang korban
mengalami kekerasan ulang (revictimized) dari masyarakat, polisi dan
media yang bias gender. Mereka justru menyalahkan dan memberi stigma negatif
pada korban dengan berasumsi bahwa korbanlah yang telah memprovokasi terjadinya
pelecehan di ruang publik melalui penampilan atau perilaku yang dinilai
menggoda laki-laki. Keamanan dan keselamatan pengguna ruang publik juga
dianggap merupakan tanggung jawab pribadi.[5]
Komnas Perempuan Indonesia menerima laporan bahwa selama pemeriksaan, polisi
sering mengajukan pertanyaan yang menyudutkan korban. “Kenapa Anda berjalan di
sendirian di malam hari? Apakah Anda menikmati saat (pemerkosaan-red) itu
terjadi? Posisi Anda di atas atau di bawah? Apakah sebelumnya Anda pernah
berhubungan seks?”. Berbagai pertanyaan yang menyudutkan atau permintaan
rekonstruksi kejadian membuat perempuan korban malu dan enggan memproses kasus
pemerkosaan. Belum lagi kalau sampai masuk pengadilan yang disaksikan orang
atau bahkan diliput oleh media massa. [6]
Kekerasan berbasis gender khusunya kekerasan
seksual di ruang publik ini dapat dikaji dengan menggunakan perspektif feminis
geography. Secara konseptual, feminist geography bertendensi untuk fokus pada
kajian tentang gender, perempuan, identitas, praxis, perbedaan, subyektifitas,
feminisme, dan buruh dalam kaitannya dengan konsep tempat, ruang, keruangan dan
lingkungan.[7] Pemikiran
oposisi-biner (modernisme) menganggap relasi antar manusia atau sesuatu
bersifat oposisional dan hirarkis (oposisi-biner). Misalnya perempuan –
lakilaki, reproduktif – produktif, privat – publik, dsb. Pemikiran ini
melahirkan ideologi patriarki yang mempengaruhi konstruksi sosial mengenai
relasi antara perempuan dan laki-laki, di mana laki-laki menganggap dirinya
superior dan perempuan dianggap inferior. Ideologi patriarki juga
mengkonstruksi pembagian ruang geografis secara oposisional dan hirarkis berdasarkan
pembagian peran gender.
Ruang publik diklaim sebagai domain
laki-laki terkait dengan peran produktif laki-laki, sedangkan ruang privat
(rumah) dianggap sebagai domain perempuan terkait dengan peran reproduktif
perempuan. Karena dianggap sebagai domain laki-laki maka ruang publik dikuasai
lakilaki dan seringkali didesain dengan perspektif laki-laki, sesuai dengan
kebutuhan, pengetahuan dan pengalaman laki-laki. Perempuan seringkali tidak
menjadi bahan pertimbangan dan tidak dilibatkan dalam perencanaan ruang publik
sehingga kebutuhan, pengetahuan dan pengalaman perempuan tidak dapat
terakomodasi di ruang publik.[8]
Berdasarkan perspektif Feminist Geography disimpulkan bahwa penyebab kekerasan
berbasis gender di ruang publik adalah relasi kuasa yang tidak setara antara
laki-laki dan perempuan yang terwujud dalam konsep pemisahan ruang geografis
secara oposisional dan hirarkis berdasarkan pembagian peran gender laki-laki
dan perempuan. Sebagai solusi untuk mencegah kekerasan berbasis gender di ruang
publik Feminist Geographers mengusulkan perencanaan dan penataan ruang publik
yang sensitif gender. Hal ini merupakan affirmative action dengan cara
mengkondisikan ruang publik sesuai dengan kebutuhan perempuan agar perempuan
merasa aman sehingga dapat memperluas ruang geraknya di ruang publik.
Indonesia dalam hal ini masih bersikap
reaktif dalam merespon kasus pemerkosaan. Setelah muncul tekanan atas
terjadinya beberapa kasus pemerkosaan dan laporan mengenai pelecehan seksual di
angkutan umum, pemerintah Jakarta mengambil tindakan. Oktober 2012 pemerintah
memberlakukan gerbong khusus perempuan di commuter
line yang melayani jalur
Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Antrian penumpang bus TransJakarta juga
dipisah antara laki-laki dengan perempuan. Selain itu seharusnya Pemerintah, harus
memastikan pula bahwa hukum ditegakkan untuk memastikan pelaku dihukum berat,
dan lebih penting lagi: pemerintah menyediakan jaminan keamanan di tempat umum.
Sumber:
Pamela Moss & Karen Falconer Al-Hindi. Tanpa Tahun. An Introduction Feminisms, Geographies,
Knowledges.
Karin
Grundstrom, tanpa tahun. Gender and Use
of Public Space.
Lambrick &
Rainero 2010. Februari 2010; Safe Cities;
Red Mujer y Habitat Latina America & Women in Cities International
Purwanti Asih. Kekerasan Berbasis Gender di Ruang Publik.
Andy Budiman dalam artikel http://www.dw.com/id/pemerkosaan-di-india-cermin-indonesia/a-16492371
Fauzan Anwar. Artikel. Membaca
Kasus Perkosaan : Mengapa ada pemerkosa.
[1] Fauzan
Anwar. Membaca Kasus Perkosaan. Hlm 2
[2] Karin
Grundstrom, tanpa tahun. Gender and Use of Public Space. Hlm 4
[3] Egyptian Centre for Women‘s
Rights, 2008 dalam Lambrick & Rainero 2010
[4] Kearl, 2008 dalam Lambrick &
Rainero 2010
[5] Purwanti
Asih. Kekerasan Berbasis Gender di Ruang Publik. Hlm 4
[6] Andy
Budiman dalam artikel http://www.dw.com/id/pemerkosaan-di-india-cermin-indonesia/a-16492371
[7] Pamela
Moss & Karen Falconer Al-Hindi. An Introduction Feminisms, Geographies,
Knowledges
[8] Ibid
Komentar