pendampingan dan bantuan hukum yang diberikan LBH Jakarta dalam pendampingan kasus KDRT
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Tindak
kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan sebagai suatu pola kelakuan atau
perbuatan memaksakan kehendak dari sesorang terhadap pasangannya, yang termasuk
dalam golongan ini adalah kekerasan secara fisik, mental, ataupun seksual bisa
juga termasuk penguasaan ekonomi.[1]
Tindakan kekerasan juga menyangkut tindakan agresif dan kasar (violent)
terhadap anggota keluarga sendiri (domestic abuse) dapat berbentuk penyiksaan,
perkosaan, dan pemaksaan. Secara umum abuse
dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuatan untuk memperlakukan orang
lain yang di bawah kekuasaannya dengan menyakiti secara fisik, menghina dengan
kata-kata kasar, melukai atau mencederai dengan tindakan atau mengambil
keuntungan dari kekuasaan itu secara tidak adil.[2]
Menurut Deklarasi Beijing, adanya pola hubungan yang tidak seimbang
(ketidakselarasan hak antara perempuan dan laki-laki) yang dikonstruksikan
sedemikian rupa inlah yang membuka peluang terjadinya kekerasan oleh laki-laki
terhadap perempuan secara emosi, ekonomi, seksual, intimidasi, penggunaan hak
pribadi laki-laki, ancaman dan tekanan dengan menggunakan anak. Kesemuanya
merupakan akibat dari pola hubungan kekuasaan dan kontrol yang tidak seimbang
antara laki-laki dan perempuan. Hubungan yang timpang ini kemudian mewujudkan
kekuasaan yang ditunjukkan oleh orang yang memiliki posisi (kedudukan) yang
lebih tinggi atau kuat terhadap orang yang lebih rendah atau lemah posisinya.
Kenyataan inilah yang menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap
keluh-kesah para istri yang mengalami persoalan KDRT dalam perkawinan.
Akibatnya, mereka memendam persoalan itu sendirian, tidak tahu bagaimana
menyelesaikannya, dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, yaitu suami
memang mengontrol istri.[3]
II. Permasalahan Penelitian
Penanganan
kasus kekerasan terhadap perempuan dan KDRT dapat ditempuh melalui dua jalur,
yaitu jalur hukum dan non hukum. Jalur hukum yang dimaksud adalah penanganan
kasus dengan memprosesnya secara pidana melalui pengadilan terhapa pelaku
kekerasan. Sedangkan penanganan non-hukum dapt ditempuh korban dengan membuka
dan menceitakan kasus yang dialaminya kepada orang yang dipercayainya dapat
membantu mengatasi masalah yang dialaminya kepada orang yang dipercayai dapat
membantu mengatasi masalah yang dialaminya, dengan menghubungi lembaga-lembaga
yang memberikan layanan konsultasi, konseling atau hotline, maupun mendatangi crisis centre yang ada untuk memperoleh
bantuan pelayanan secara fisik, emosi, motivasi, advokasi dan akomodasi yang
sifatnya sementara maupun jangka panjang.[4]
Tindak kekerasan yang dilakukan suami ini juga merupakan akibat lemahnya
lembaga formal salah satunya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang berwenang
menanggulangi kasus pengaduan-pengaduan dari korban.
III. Pertanyaan Penelitian
·
Bagaimana pendampingan dan bantuan hukum
yang diberikan LBH Jakarta dalam pendampingan kasus KDRT?
IV. Tujuan Penelitian
·
Untuk mengetahui pendampingan dan
bantuan hukum yang diberikan LBH Jakarta dalam pendampingan kasus KDRT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
I.
Definisi
Konseptual
Perempuan
Menurut (KBBI): perempuan adalah orang
yang mempunyai alat kelamin (vagina), dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak,
dan menyusui.
Sex
Sex
mengarah ke status biologis seseorang dan seringkali dikategorikan sebagai
perempuan, laki-laki, dan interseks, yaitu kombinasi fitur yang membedakan
laki-laki dari perempuan. Terdapat sejumlah indikator yang menentukan hal
tersebut, yaitu kromosom, gonads, organ
reproduksi internal, dan alat genital. [5]
Gender
Gender mengarah ke sikap, perasaan, dan perilaku yang diasosiasikan
dengan status biologis (sex)
seseorang. Perilaku dalam hal ini dapat dikaitkan dengan ekspektasi budaya
masyarakat atau dapat juga disebut dengan gender-normative. Sebagai tambahan, terdapat juga istilah gender identity, yaitu perasaan dimana
seseorang melihat dirinya sebagai laki-laki, perempuan, atau transgender (APA,
2006) dan gender expression, yaitu
cara dimana seseorang bertindak untuk mengkomunikasikan gender. [6]
Patriarki
Patriarki merupakan sistem sex atau gender dimana
laki-laki mendominasi perempuan dan apa yang dianggap sebagai hal maskulin,
lebih dihargai daripada apa yang dianggap sebagai hal feminim. Patriarki
merupakan sistem stratifikasi sosial, yang berarti hal itu digunakan untuk
berbagai kontrol sosial dan praktis untuk mempertahankan kekuatan laki-laki
sedangkan anak perempuan dan perempuan dianggap sebagai kaum subordinat atau
lebih rendah.[7]
Eksploitasi
Menurut KBBI adalah pengusahaan dan pendayagunaan kemanfaatan
untuk keuntungan sendiri.
KDRT
Dalam
Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT) yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga (Pasal 1 ayat 1).
Lingkup
rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal
2 ayat 1):
a.Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
a.Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Bentuk-bentuk
KDRT:
a. Kekerasan fisik: perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat
b. Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat padaseseorang
c. Kekerasan seksual: setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi :
b. Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat padaseseorang
c. Kekerasan seksual: setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi :
·
Pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
·
Pemaksaan hubungan seksual terhadap
salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
d. Penelantaran rumah tangga: seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
II.
Telaah
Jurnal
Michigan
telah membuat kemajuan yang signifikan dalam merespon kekerasan dalam rumah
tangga dengan jalan melalui hukum kriminalisasi KDRT yang terus melakukan
perbaikan atas tindak pidana dan kompensasi untuk korban atas segala kerugian
dan derita yang mereka alami. ketentuan Selanjutnya, pada tahun 1983 negara
memberlakukan adanya program
perlindungan pribadi dalam hubungan rumah tangga dan pada tahun 1993
diperpanjang. Juga pada tahun 1993, legislatif Michigan mengungkapkan
pendapatnya tentang pentingnya menangani kekerasan dalam rumah tangga pada anak
tahanan penting ketika diubah Penitipan Anak Act menambahkan MCL 722,23 (k),
mandat pertimbangan kekerasan dalam rumah tangga dalam tahanan atau sengketa
orang tua. Sementara usaha ini cukup besar pengaruhnya, ada peluang tambahan
untuk pihak Michigan untuk memperluas perlindungan dan solusi terkait dengan
kekerasan dalam rumah tangga. Artikel ini akan memuat survei hukum dan solusi
yang ditawarkan di negara-negara lain yang memberikan bantuan tambahan untuk
korban kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga mereka.
The
Model Code on Domestic and Family Violence
Pada tahun 1994, Dewan Nasional
Juvenile dan Family Court Judges mengembangkan Kode Model pada kasus Kekerasan
dalam rumahtangga untuk mendorong negara-negara untuk mengadopsi undang-undang
untuk intervensi yang efektif dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kode
Model komprehensif dalam pendekatan dan alamat hukuman pidana, perintah
perlindungan sipil, hak asuh anak, dan pencegahan dan pengobatan. Setiap bab
dalam Kode Model dapat secara independen diadopsi atau dimodifikasi oleh badan
legislatif negara.
Personal
Protection Orders
Di
Michigan, perintah perlindungan pribadi melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga dengan menahan pelaku yang terlibat dalam perilaku tertentu yang akan
membahayakan atau mengancam membahayakan korban. Seorang pelaku juga dapat
menahan diri dari mengeluarkan anak kecil, tapi hanya jika pihak petisi
memiliki hak asuh hukum. Namun, negara-negara lain telah mengakui hubungan
antara kekerasan dalam rumah tangga dan membahayakan anak-anak, dan negara
mengizinkan pengadilan untuk tahanan dari seorang anak kecil dalam rangka
melanjutkan pelindung, biasanya menunggu sidang penuh. Beberapa negara bagian
selain Michigan juga mengizinkan pengadilan untuk memberikan dukungan
penghargaan dan restitusi dan melarang penyalahgunaan.
Address
Confidentiality Programs
Meskipun
korban meminta perintah perlindungan pribadi di Michigan dapat melindungi
alamat mereka, Michigan tidak memiliki program alamat kerahasiaan lainnya. Tiga
puluh dua negara telah lulus undang-undang menetapkan program alamat
kerahasiaan untuk membantu menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga korban
yang membutuhkan untuk pindah dan menjaga rahasia lokasi mereka .
Program-program ini memberikan korban alamat hukum pengganti untuk digunakan di
tempat alamat fisik mereka dan dapat digunakan setiap kali alamat diperlukan
untuk catatan publik, seperti pemilih atau pendaftaran surat ijin mengemudi .
Surat diterima di alamat pengganti dan diteruskan ke alamat korban yang asli.
Housing
Banyak
korban dari laporan kekerasan dalam rumah tangga kehilangan rumah mereka karena
kekerasan dalam hidup mereka dan sering perlu untuk pindah ke tempat tinggal
baru dan lebih aman. Michigan baru-baru ini bergabung dengan 14 negara-negara
lain ketika undang-undang yang memungkinkan korban kekerasan dalam rumah
tangga, dan kekerasan seksual untuk mengakhiri sewa early. Namun banyak negara
telah membuat hukum tambahan untuk mengatasi beberapa masalah perumahan lain
yang dihadapi oleh korban. Delapan negara melarang tuan tanah yang melakukan
diskriminasi terhadap penyewa atas dasar mereka sebagai Status sbagi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Enam negara melarang tuan tanah dari pembatasan
atau membatasi korban dari menelepon polisi atau bantuan darurat dalam
menanggapi insiden kekerasan dalam rumah tangga. Sepuluh negara memberikan
perlindungan terhadap penggusuran untuk korban kekerasan dalam rumah tangga.
Lima negara mengizinkan pemilik tanah untuk membagi dalam dua cabang sewa dan
mengusir pelaku. Tiga negara memegang pelaku bertanggung jawab untuk sewa yang
belum dibayar atau kerusakan akibat kekerasan dalam rumah tangga. Sepuluh
negara bagian mengizinkan atau mengharuskan pemilik tanah untuk mengubah kunci
pada unit korban kekerasan domestik
Unemployment
Insurance Benefits
Di bawah hukum Michigan, orang yang
meninggalkan pekerjaan karena kekerasan dalam rumah tangga tidak memenuhi
syarat untuk tunjangan pengangguran. 33 Negara telah menambahkan korban
kekerasan dalam rumah tangga kedalam asuransi pengangguran. Sebagian besar
negara ini memberikan manfaat kepada para korban yang terpaksa meninggalkan pekerjaan
serta mereka yang mengalami kerugian karena konsekuensi dari kekerasan dalam
rumah tangga. Beberapa negara juga memperpanjang kelayakan untuk korban
kekerasan seksual. Akses ke asuransi tersebut memberikan peningkatan rasa
keselamatan dengan keamanan ekonomi yang diperlukan untuk meninggalkan
pekerjaan untuk mencari perumahan yang aman, perawatan medis, atau bantuan
hukum.
Conclusion
Keselamatan
terhadap kekerasan dalam rumah tangga memerlukan berbagai pilihan dan
penanganan, beberapa di antaranya harus datang sebuah reformasi sebagai
legislatif yang mengakui dan merespon dengan tepat kekerasan dalam rumah
tangga. Namun, kemungkinan konsekuensi negatif dan tidak diinginkan reformasi
legislatif menyoroti pentingnya kesiapan sistemik sebelum pelaksanaan. Dengan
demikian, reformasi pun harus disertai dengan pelatihan, pendidikan, dan
ketersediaan sumber daya yang memadai yang mendukung
Implementasi
Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan[9]
Kekerasan
di masyarakat bukan lagi suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan
bersamaan dengan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Yang paling menarik perhatian publik kekerasan tersebut
terjadi dalam lingkup rumah tangga yang seringkali banyak menimpa kaum
perempuan. Kekerasan tersebut cenderung tersembunyi karena baik pelaku ataupun
korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik.
Pada kenyataannya sangatlah sulit mengukur secara tepat luasnya jangkauan
kekerasan terhadap perempuan, karena masalah ini masuk wilayah peka kehidupan
perempuan, di mana perempuan itu sendiri enggan membicaraknnya. Pada awalnya
secara umum kekerasan tehadap perempuan hanya diatur dalam KUHP, dalam bab
tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Lambat laun kekerasan terhadap perempuan
meningkat dan mendapat perhatian publik karena sifat dan dampaknya sangat
berpengaruh bagi masyarakat. Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari
sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006
tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.Menyadari adanya kompleksitas permasalahan terkait kekerasan dalam rumah
tangga khususnya terhadap perempuan, maka kaum perempuan mendapat angin segar
dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Terhadap Rumah Tangga yang secara umum dapat memback up kaum
perempuan dalam mendapatkan hak-hak hukumnya. Undang-undang tersebut semestinya
melindungi pihak-pihak yang paling rentan di dalam rumah, yaitu perempuan dan
anak. Namun, dalam implementasinya ternyata undangundang tersebut justru
mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan, terutama karena aparat penegak
hukum tidak mempertimbangkan hubungan antara suami, istri dan anak, dalam
menerapkan undang-undang ini. Akibatnya, perempuan korban kekerasan tidak
mendapatkan hak-haknya. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
memandang bahwa Undang-Undang PKDRT adalah terobosan hukum bagi upaya
menghadirkan keadilan hak asasi di Indonesia. Undang-Undang PKDRT merupakan
salah satu wujud komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan
kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah
Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 pada
tanggal 24 Juli 1984.3
Upaya
Si Korban mencari keadilan dihadapkan berbagai hambatan. Aparat penegak hukum
juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban
dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan bantuan hukum masih langka dan
sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit penanganan perempuan dan anak
yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang
memadai. Komnas Perempuan juga menerima laporan di mana aparat penegak hukum
melakukan memediasi pelaku dan korban tanpa dikerangkai misi memutus siklus
kekerasan dan memberi efek jera pada pelaku. Sejumlah aparat penegak hukum juga
mengabaikan hak korban atas informasi yang utuh tentang proses hukum yang akan
dijalani dan akibat hukumnya. Keadaan ini menyebabkan korban merasa
terintimidasi dan akibatnya, sejumlah banyak korban mencabut laporannya atau
meminta aparat penegak hukum menghentikan proses kasus atas kekerasan yang
dialami.
Selama ini masyarakat Indonesia memandang
Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Negeri (PN) yang memutus perkara sengketa
perkawinan/keluarga sebagai “pengadilan keluarga” (“family court”).
Kenyataan membuktikan bahwa kedua pengadilan tersebut belum dapat menyelesaikan
secara tuntas masalahmasalah terkait dengan perkawinan dan keluarga sebagaimana
dialami oleh perempuan dan anak. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan mencatat dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan sepanjang tahun 2010 terdapat 105.103 kasus, 96 persen adalah
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan/istri. Ini
menunjukkan bahwa kasus KDRT yang dialami perempuan/istri sangat tinggi dan
dominan. Namun terbatasnya alternatif sanksi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Undang-Undang PKDRT),
yakni hanya memberikan sanksi pidana penjara kepada pelaku tindak kekerasan.
Hal ini memberikan dilema tersendiri bagi perempuan karena tidak semua
perempuan memilih jalur pidana untuk menyelesaikan kasusnya. Tidak jarang
mereka masih berharap perkawinannya bisa diselamatkan, istri hanya melaporkan
suaminya ke pihak yang berwenang agar suami jera. Hal ini terlihat dari
fenomena pencabutan laporan KDRT di kepolisian yang sering juga
dikeluhkan oleh Polisi.
Overview
of the Legal System[10]
Kasus
kekerasan dalam rumah tangga mungkin melibatkan baik hukum perdata dan hukum
pidana. Pengadilan yang berbeda menangani administrasi kasus perdata dan
pidana. Keluhan yang mungkin dirasakan pengadu adalah pergi ke salah satu atau
bahkan harus ke kedua pengadilan tersebut. Dalam Sistem UU hukum sipil,
Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang memberikan kewenangan perintah
penahanan, adalah hukum perdata. Di bawah hukum perdata, satu orang bisa
menuntut orang lain untuk masalah pribadi. Dalam aksi kekerasan dalam rumah
tangga, Korban dapat meminta pengadilan untuk memberikan perlindungan dari
orang yang melakukan kekrasan pada korban. Dalam hal ini Korban dapat tidak meminta pengadilan sipil untuk
menempatkan orang tersebut saat melakukan kejahatan sebelum melakukan proses
pelaporan. Dalam kasus perdata, Korban adalah penggugat dan pihak lawan atau
pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah terdakwa. Kedua belah pihak dapat
menyewa pengacara. Di pengadilan sipil, hakim tidak dapat menunjuk seorang pengacara
untuk salah satu pihak. tindakan hukum umum lainnya dibawa di pengadilan sipil
korban bisa mendapatkan restitusi sebagai biaya pemulihan maupun biaya
pengganti atas derita yang selama ini dialami. Dalam Sistem hukum pidana,
menangani kasus yang melibatkan pelanggaran hukum pidana, seperti pelecehan,
kekerasan, pembunuhan, pencurian, dll Karena negara memiliki kewajiban untuk
melindungi warganya, semua pelanggaran hukum pidana negara dianggap kesalahan
umum dan kejahatan terhadap negara.
Jaksa
mewakili negara dengan mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan.
Korban, adalah Saksi untuk kasus jaksa. Seseorang dituduh melakukan kejahatan
disebut terdakwa. terdakwa dapat menyewa pengacara untuk mewakili dia di pengadilan.
Seorang terdakwa yang tidak mampu membayar pengacara mungkin dapat memiliki hak
untuk mendapatkan seorang kuasa hukum dari salah satu lembaga bantuan hukum
yang ditunjuk. Korban dapat mengajukan baik pengaduan pidana terhadap pelaku
dan keluhan untuk perintah penahanan atau untuk tindakan yang sama dari
kekerasan dalam rumah tangga. Korban juga dapat mengajukan hanya satu jenis
keluhan dan bukan yang lain jika itu adalah apa yang Anda memilih untuk
melakukannya.
Using Civil Law—the Prevention of
Domestic Violence Act
Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu ketetapan dalam
hukum perdata New Jersey yang menawarkan bantuan hukum kepada para korban
kekerasan dalam rumah tangga. Korban mungkin dapat menggunakan hukum ini untuk
mendapatkan perintah pengadilan untuk menahan pelaku apabila pelaku tidak
datang dari orang dekat yang berada di sekitar anda jika Anda berada di salah
satu jenis berikut dengan dengan pelaku:
·
Korban
memiliki seorang anak, atau pelaku Anda adalah seseorang dengan siapa Anda
mengharapkan seorang anak, jika salah satu pihak sedang hamil.
·
Korban telah
memiliki hubungan dekat. Ini termasuk hubungan kencan seks yang sama. Seorang
hakim akan memutuskan apakah hubungan dekat tersebut ada berdasarkan sifat dan
frequency interaksi antara para pihak, harapan hubungan, apakah ada penegasan
dari hubungan Anda sebelum orang lain, dan faktor lainnya.
·
Anda saat ini
hidup dengan atau sebelumnya telah hidup dengan yang pelaku.
Perlu Diperhatikan bahwa, dalam rangka untuk mendapatkan
perintah penahanan terhadap pelaku di bawah Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga UU, pelaku harus berusia 18 tahun atau lebih tua atau minor
beremansipasi (ini termasuk mengasuh anak). Jika pelaku adalah di bawah usia 18
maka Anda mungkin melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada polisi
setempat karena pelaku masih tergolong dalam usia Anak-anak.
Konseling
untuk korban
Korban mungkin merasa tertekan, tidak berdaya, dan
kewalahan oleh situasi yang korban alami. Hal ini sangat sulit untuk membuat
keputusan atau perubahan ketika Korban sedang cemas tentang suatu konsekuensi
dari keputusan yang telah korban ambil dalam proses peradilan. Hal ini terutama
sulit untuk berpikir ketika Korban tidak memiliki tempat untuk mencurahkan
keluh kesah, Dengan siapa korban dapat berbicara atau berbagi keprihatinan yang
korban alami untuk diri sendiri dan keluarga korban. Tanpa seseorang untuk
membantu korban memilah-milah semua hal ini, korban dapat terus merasa terjebak
atau terlalu takut untuk bergerak atau melakukan tindakan. Seorang konselor
profesional dapat membantu korban menemukan beberapa alternatif atau setidaknya
memberikan dukungan emosional untuk Korban selama masa yang sangat sulit.
Penyedia layanan kekerasan dalam rumah tangga lokal Anda dapat merujuk Anda ke
seorang konselor yang memahami isu-isu kekerasan dalam rumah tangga Anda.
Apabila korban terbentur biaya untuk mendapatkan jasa pelayanan konselor mak
korban bisa mendapatkan Layanan Konseling dari NGO maupun dari lembaga
bantuan-bantuan hukum yang ada.
BAB III
Metode Penelitian
3.1 Subjek Penelitian
Karakteristik Subjek penelitian yaitu petugas LBH
Jakarta yang menangani kasus KDRT. Petugas LBH memiliki pengetahuan dan
pengalaman mengenai kasus yang ia tangani pada korban KDRT. Jumlah subjek
Penelitian berjumlah 1 orang.
3.2 Tahapan Penelitian
Dalam melakukan
penelitian ini dibutuhkan pula
serangkaian persiapan dan pelaksanaan dari peneliti agar bukti penelitian ini
dapat digunakan sebagaimana mestinya. Adapun tahap-tahap penelitian tersebut
adalah sebagai berikut :
Untuk dapat melakukan
wawancara terhadap subjek secara terfokus dan tidak menyimpang dari tujuan
penelitian, maka dibuatlah pedoman wawancara yang didasari literature yang
sesuai dengaan tujuan penelitian. Untuk Subjeknya peneliti sudah mendapatkan
pedoman untuk meneliti mengenai LBH Jakarta. Berikut ini adalah langkah-langkah
dalam tahap persiapan :
1) Pertanyaan
masalah penelitian.
2) Mengkaji
konsep dan teori berdasarkan referensi.
3) Menentukan
subjek penelitian.
4) Penyusunan
pedoman wawancara dan pedoman observasi
Wawancara dilakukan di LBH Jakarta pada
hari Senin 16 Mei 2016 pukul 12.00-12.35. Pada tahap ini melakukan metode
pengambilan data dengan metode wawancara dan metode observasi, berdasarkan
pedoman yang telah disusun sebelumnya ditahap awal. Wawancara yang digunakan
merupakan wawancara yang bersifat informal tetapi tetap searah dengan
menggunakan pedoman wawancara yang dibuat.
3.3 Hambatan
Penelitian
Hambatan
penelitian dalam kasus ini yaitu pada pencarian subjek, yaitu anggota pihak LBH
Jakarta. Kami tidak bertemu dengan staff yang menangani kasus KDRT secara
langsung. Dikarenakan waktu yang terbatas, kami hanya berhasil mewawancarai 1
narasumber saja.
BAB IV
TEMUAN DATA
Berdasarkan
wawancara yang dilakukan dengan salah satu staf LBH Jakarta, bernama Pratiwi
Febry diperoleh beberapa informasi. Adapun pengaduan kasus-kasus kepada LBH
Jakarta secara garis besar dapat dikelompokkan dalam klasifikasi berdasarkan
isu utama, yaitu kasus perburuhan, kasus perkotaan dan masyarakat urban, kasus
sipil dan politik, kasus keluarga, kasus perempuan dan anak, dan kasus
non-struktural. Selama jangka waktu lima tahun terakhir total pengaduan kasus
yang diterima LBH Jakarta yaitu sebanyak 5.249 kasus. Para pengadu tidak hanya
berasal dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga berasal dari wilayah luar
Jakarta, misalnya Aceh, Sumatra, Bali, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan
seterusnya. Latar belakang pendidikan terakhir pengadupun juga beragam yang
paling banyak diantaranya, SMA, Perguruan Tinggi, SD, SMP, dan tidak sekolah.
Sesuai dengan tema penelitan ini yaitu mengenai KDRT, masuk ke dalam
klasifikasi kasus keluarga. Terkait dengan kasus keluarga, aduan yang diterima
LBH Jakarta dirinci lagi menjadi kasus pernikahan, Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT), perceraian, dan waris.
Jika
terdapat aduan mengenani kasus KDRT, LBH tidak mempunyai wewenang menangkap
tersangka. Ketika kasus dilaporkan, LBH akan mendampingi korban atau menjadi
pengacara korban. Di LBH Jakarta sendiri, terdapat 18 pengacara publik,
termasuk advokat magang. Terutama untuk kasus KDRT banyak menghadapi hambatan
dalam proses pendampingan oleh LBH Jakarta, diantaranya, bentuk reaksi dan
sikap korban dalam menghadapi kekerasan. Terdapat dua reaksi dalam menghadapi
kekerasan oleh korban, pertama reaksi emosional, biasanya ditunjukkan dengan
sikap menyalakan diri sendiri atau suami, kedua yaitu reaksi tindakan, seperti
mengajak suami untuk berdiskusi, meminta pertolongan, meninggalkan rumah,
melaporkan ke polisi. Banyak kasus KDRT, pada awalnya korban mengadu dalam
keadaan yang mengalami perlukaan dan dalam keadaan terguncang meminta untuk
kasusnya ditangani, tetapi setelah kasusnya diproses dan suami korban yang juga
merupakan tersangka ditahan, korban datang dan memohon agar suaminya
dibebaskan. Sehingga tidak sedikit dari aduan maupun pelaporan kasus KDRT
dicabut kembali oleh korban. Berdasar hasil wawancara, adapun hambatan terbesar
lainnya dalam akses keadilan dan bantuan hukum kasus KDRT yaitu ketika adanya
campur tangan oleh pihak ketiga, biasanya oleh keluarga suami maupun keluarga
dari pihak korban yang memiliki keinginan yang berbeda dari korban, seperti
ketika korban menginginkan untuk memproses kasus secara hukum tetapi keluarga
menolak dan meminta korban untuk mencabut laporannya. Dalam beberapa kasus,
korban dipaksa oleh keluarga atau termasuk juga suaminya untuk mencabut laporan
dan menghentikan kasus, sehingga banyak kasus yang ditangani LBH Jakarta
sendiri tidak sampai ke pengadilan, bahkan hampir pada semua kasus KDRT.
Hambatan
lainnya yaitu bahwa perempuan dan anak dalam keluarga tersebut secara finansial
bertumpu kepada suami dan berkaitan dengan sistem nilai yang meletakkan aib
sebagai tabu sosial. Dalam hal ini perempuan korban akan berpikir ulang untuk
melanjutkan kasusnya ke pengadilan. Selain itu, penyelesaian kasus KDRT secara
hukum, belum melihat relasi suami-istri, yaitu ketika suami dipidanakan maka
istri, terutama yang secara finansial bertumpu pada suami akan terganggu
keuangannya. Sehingga diantara aduan mengenai kasus KDRT yang diterima LBH
Jakarta banyak yang akhirnya justru terhenti dan sulit untuk dibawa ke ranah
hukum. Jikapun, kasus dapat masuk dan diproses secara hukum, tetapi hukum yang
ada belum responsif dan sensitif gender, dan hal tersebut dirasa berpotensi
bagi korban untuk mengalami pengalaman traumatik lainnya atau reviktimisasi
dari aparat penegak hukum.
Pergerakan
perempuan terutama untuk memperoleh akses hukum dan perlindungan dalam kasus
KDRT menjadi terbatasi pada respon lingkungan terutama kepolisian dan
pengadilan. Sebagian besar aparat kepolisian masih tetap memandang bahwa
masalah kekerasan antar pasangan merupakan masalah pribadi pasangan tersebut.
Kedua institusi tersebut juga merespon tindakan didasari serius tidaknya
perlukaan fisik (mengabaikan dampak psikologis) yang memang terlihat. Sehingga,
jika pasangan saling melakukan kekerasan dengan pukulan yang tidak menimbulkan
perlukaan berat yang mengharuskannya untuk dirawat secara medis, maka respon
yang dihasilkanpun cenderung lemah. Dalam tahap antara aduan dan Berita Acara
Pemeriksaan yang akan dilimpahkan ke Kejaksaan, terdapat celah terjadinya
praktik jual beli perkara, yang biasanya dilakukan pelaku yang memiliki status
sosial dan ekonomi yang cukup. Sehingga praktik ini dapat semakin memperkecil
angka perkara yang dapat maju ke Kejaksaan dan Pengadilan, dengan perolehan
rata-rata hanya 10% dari semua kasus aduan. Selanjutnya, kendala yang dapat
muncul di lembaga kejaksaan terhadap perempuan korban kekerasaan yaitu sebagian
dari masyarakat terutama perempuan korban kesulitan untuk memahami proses hukum
acara dan tidak mengetahui bagaimana kasus dapat dibawa ke persidangan. Dalam
kasus KDRT perempuan dapat berperan menjadi korban maupun perempuan korban
sebagai pelaku, namun jumlahnya lebih sedikit. Upaya memberikan layanan pada
korban kekerasan terhadap perempuan dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu
upaya litigasi atau upaya hukum dan upaya non-litigasi. Pada upaya non-litigasi
biasanya dilakukan melalui mediasi yang lebih bertujuan untuk pemenuhan hak-hak
korban, namun dalam kasus yang ditangani oleh berbagai LBH, biasanya tidak
menyarankan untuk perdamaian. Banyak dari pengaduan dari kasus KDRT yang
diselesaikan melalui proses mediasi akibatnya pencabutan laporan seringkali
terjadi. Adapun perempuan korban KDRT yang kemudian dirujuk ke lembaga lainnya,
seperti LPSK terkadang menolak pengadu dengan alasan statusnya yang masih
sebagai pelapor, bukan saksi atau korban. Dalam hal ini LBH lebih berperan
dalam hal pemulihan kondisi korban terlebih dahulu dengan merujuk pengadu
kepada jaringan kerjasama bersama lembaga pemulihan kemudian baru dibantu dalam
pendampingan di ranah hukum.
Untuk upaya hukum, di Indonesia sendiri masih
menemui masalah terkait dengan aparat penegak hukum dan masalah implementasi
Undang-Undang. Peradilan belum tentu menjadi bakal pemulihan korban dan korban
sebagai pelaku karena belum tentu keadilan tersebut memihak. Misalnya, dalam
penanganan kasus perempuan korban sebagai pelaku, aparat penegak hukum baik
polisi, jaksa, dan hakim masih menggunakan pendekatan positivis (menilai kasus
berdasarkan fakta dan bukti). Secara tidak langsung sikap ini telah mendiskriminasikan
perempuan karena mengabaikan kasus dan posisi perempuan dalam keluarga mengenai
riwayat kekerasan dan latar belakang kasus. Sehingga selama perempuan dalam
kasus KDRT berada dalam sistem peradilan pidana, secara tidak langsung juga
telah menghambat proses pemulihannya. Dalam pelaksanaan Sistem Peradilan
Pidana, hakim, jaksa, dan polisi masih kurang dalam sensitif gender. Sehingga
yang menjadi salah upaya LBH menanggapi hal tersebut adalah mendekatkan bantuan
hukum yang sensitif jender, mengawal implementasi Undang-Undang seperti
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta mengadvokasi revisi KUHP dan
KUHAP.
BAB V
ANALISIS
Tindak kekerasan terhadap
istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali
terjadi terhadap perempuan namun kasusnya sulit untuk dibongkar. Kesulitan dalam membongkar kasus KDRT dapat
diidentifikasi dari beberapa faktor, diantaranya kasus KDRT terjadi dalam
institusi yang legal dan intim, ruang lingkup terjadinya kekerasan relatif
tertutup dan terjaga ketat oleh anggota keluarga, dan anggapan bahwa suami
pemimpin keluarga. Kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga seperti yang
ditunjukkan dalam berbagai penelitian terdahulu terjadi karena tertanamnya
budaya patriakhi, yang dipahami bahwa laki-laki menduduki posisi yang superior
dan perempuan menduduki posisi yang inferior yang mengakibatkan keleluasaan
laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan perempuan. Hal ini semakin didukung
dengan adanya interpretasi yang keliru terhadap stereotip jender yang sudah
disosialisasikan sedari dini. Secara lebih spesifik Bornstein (2006 dalam
Veronica), membagi faktor penyebab kekerasan domestik yang dilakukan oleh
pasangan menjadi dua, yaitu pertama, ketergantungan ekonomi. Ketergantungan
ekonomi menggambarkan sebuah keadaan dimana salah satu pihak memiliki kondisi
eksklusif untuk mengatur sumber-sumber keuangan. Kendali yang ekslusif dalam
urusan finasial tidak hanya disebabkan karena hanya salah satu pihak saja yang
memiliki sumber finansial, tetapi juga dapat dilakukan melalui ancaman dan
intimidasi.[11]
Kedua, yaitu ketergantungan emosional yang ditandai oleh kebutuhan akan
pengasuhan, perlindungan, dan dukungan, walaupun di dalam situasi dimana
seseorang dapat berfungsi secara baik dengan menggunakan kapasitas dirinya
sendiri dan dapat menghadapi tantangan yang akan datang kepadanya. Dengan
adanya bentuk-bentuk ketergantungan tersebut, menjadi
persoalan yang sulit bagi
istri (sebagai korban) manakala harus
melaporkan suaminya sendiri sekaligus pelaku kekerasan, hingga akhirnya tidak memilih upaya hukum sebagai
jalur penanganan kasus. Selain itu, jika melihat realitanya, baik berdasarkan
pandangan masyarakat, kepolisian, kejaksaan, peradilan, bisa ditarik asumsi
bahwa KDRT, masih dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak perlu campur tangan
pihak luar untuk menyelesaikannya.[12]
Selain itu alasan lain yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya
legitimasi hukum bagi suamii melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.[13]/
KDRT tidak dapat dicegah dan
dihentikan oleh lembaga formal pemerintah saja tetapi terdapat pula upaya
pemenuhan hak perempuan korban KDRT dalam mendapatkan pelayanan hukum yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga non-formal lainya, salah satunya yaitu LBH
Jakarta. Walaupun tidak mengkhususkan diri dalam membahas mengenai kasus KDRT,
tetapi isu kasus keluarga salah satunya KDRT masuk ke dalam jenis kasus aduan
yang diterima dan dilayani oleh LBH Jakarta. Perempuan korban KDRT terkait
dengan layanan LBH berhak untuk mendapatkan pelayanan hukum, konsultasi hukum,
pendampingan, dan pembelaan baik di luar atau di dalam pengadilan, terutama
bagi perempuan yang mengalami ketidakadilan dan lemah secara politik serta
ekonomi. Selama menjalankan fungsinya, LBH Jakarta dan lembaga non-formal
lainnya mencatat bahwa pengetahuan tentang hukum dan hak-hak perempuan dalam
keluarga oleh mitra atau kliennya masih sedikit.
Selanjutnya, yang menjadi
prosedur umum bagi lembaga dalam hal ini LBH dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap korban, dimulai dengan lembaga menanyakan data atau
identitas diri korban, biasanya diisikan pada formulir khusus yang harus diisi,
kemudian menanyakan mengenai tujuan korban mendatangi lembaga, apakah untuk
mendapatkan layanan konsultasi atau pendampingan. Selanjutnya lembaga mencari
tahu persoalan atau masalah yang dihadapi korban terkait dengan posisi kasus,
bagaimana hubungan korban dengan pelaku, dan orang-orang yang berada disekitar korban
dan pelaku. Lembaga dalam hal ini terlebih dahulu untuk mengetahui mengenai
kondisi psikis dan status sosial dari korban. Kemudian lembaga memberikan
pengetahuan dan pemahaman mengenai hak-hak dasar yang dimiliki korban, selain
itu lembaga juga memberitahukan mengenai beberapa pilihan dan konsekuensi dari
setiap piliha yang dilakukan korban untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang
dialaminya. Artinya, dalam hal ini lembaga memberitahukan pilihan atau cara apa
saja yang dapat ditempuh korban, litigasi atau non-litigasi, tetapi keputusan
tetap berada di tangan korban. Selanjutnya korban menentukan pilihan
penyelesaian kasus, jika korban memilih penyelesaian kasus secara kekeluargaan,
maka lembaga selanjutnya akan menanyakan waktu dan tempat pelaksanaan, siapa
saja yang terlibat, dan pilihan apa saja yang dilakukan jika upaya tidak
berhasil, jika korban memilih penyelesaian kasus melalui mediasi, lembaga akan
menanyakan siapa yang menjadi mediator atau mengusulkan lembaga sebagai
mediator, dan apakah korban memerlukan pendampingan, dan jika korban memilih
upaya hukum, maka lembaga akan mengajukan beberapa perjanjian mengenai
pendampingan dan membuat surat kuasa hukum korban kepada keluarga. Selain itu,
lembaga juga akan menanyakan apakah korban memerlukan rumah aman atau shelter atau lembaga menyarankan agar
korban demi keamanan, keselamatan, dan kesehatannya ditempatkan disana, namun
keputusan tetap berada di tangan korban.[14]
Undang-Undang PKDRT juga
membedakan fungsi perlindungan dan pelayanan. Artinya, hanya institusi dan
lembaga tertentu saja, dalam hal ini penegak hukum, yang dapat memberikan
perlindungan terutama melalukan tindakan hukum sebagai pemberian sanksi kepada
pelaku kekerasan. Adapun lembaga atau institusi non-penegak hukum dapat
memberikan perlindungan yang sebenarnya lebih bersifat pada pemberian layanan
seperti, pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan, dan rehabilitasi.
Masing-masing institusi dan lembaga akan memberikan perlindungan dan pelayanan
berdasarkan tugas dan fungsinya masing-masing, seperti perlindungan oleh
lembaga oleh kepolisian yang biasanya bekerjasama dengan tenaga kesehatan
sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Sesuai dengan wewenang dan tugasnya, kepolisian juga dapat melakukan
penyidikan, penangkapan, dan penahan dengan atau tanpa surat perintah.
Sedangkan untuk fungsi pelayanan dari kepolisian yaitu terkait dengan ruang
pelayanan khusus (perempuan dan anak) yang dapat dijangkau korban. Selain itu
advokat dapat memberikan perlindungan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan
mediasi, dan negosiasi diantara pihak termasuk keluarga kedua belah pihak
(suami-istri). Advokat dalam hal ini juga berperan dalam mendampingi korban di
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan dalam sidang pengadilan
(litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, pekerja sosial,
maupun relawan pendamping lainnya. Relawan pendamping memberikan pelayanan untuk membantu korban
memahami mengenai hak-hak korban, membantu korban dalam memaparkan secara
objektif tindak KDRT yang dialaminya di tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan dan pengadilan, serta memberikan dorongan secara psikologis dan
fisik kepada korban, dan masih terdapat lembaga dan institusi lainnya. Namun
yang menjadi permasalahan adalah bahwa bentuk perlindungan dan pelayanan
tersebut masih bersifat normatif. Hal ini terkait dengan adanya berbagai
kekurangan-kekurangan yang bersifat implementatif dan operasional, seperti
tidak adanya standar khusus mengenai pelayanan terhadap korban KDRT, masih
kurangnya koordinasi antara kementerian terkait tugas dan fungsinya, aparat
penegak hukum yang belum berjalan dengan efektif, akses keadilan dan bantuan hukum
pada perempuan miskin masih relatif kecil, serta dalam Undang-Undang belum
jelas lembaga mana saja yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi pemulihan pada
korban, dan seterusnya.
Mayoritas
perempuan korban kekerasan takut untuk menjalani dan melanjutkan proses
pengadilan karena ketakutan akan bertemu kembali dengan pelaku di dalam ruang
persidangan. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya sistem peradilan di Indonesia
dimana mengharuskan korban mendatangi ruang peradilan dan bertemu dengan
pelaku. Padahal seharusnya korban dalam hal ini perempuan yang terlibat dalam
kasus korban kekerasan dalam rumah tangga seharusnya dijauhkan dari pelaku
sebagai salah satu upaya memberikan terapi bagi perempuan agar bisa mendapatkan
pemulihan secara psikologis pasca kekerasan yang dialami. Selain itu, faktor keluarga ternyata juga
mempengaruhi penanganan
kasus perempuan korban kekerasan,
dimana mayoritas pihak keluarga
dari pelaku atau korban menolak melanjutkan proses peradilan
sehingga akhirnya perempuan korban
kekerasan mau tidak mau menuruti keinginan keluarganya. Tidak sedikit dari kasus perempuan korban kekerasan dalam keluarga pada akhirnya
lebih memilih mundur dan tidak melanjutkan proses peradilan. Selain faktor
dalam keluarga korban dan dalam diri korban yang menjadi hambatan bagi keadilan
perempuan korban kekerasan dalam sistem peradilan, faktor lain yang mempengaruhi
sedikitnya pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang ditangkap dan menjalani sanksi adalah fakta bahwa perempuan
korban kekerasan mayoritas mendapatkan perlakuan yang kurang baik ketika
melakukan proses pelaporan maupun ketika menjalani proses peradilan. Seperti
contoh,
banyak perempuan korban kekerasan takut melakukan pelaporan terhadap kasusnya
karena takut akan ditanyai dengan pertanyaan seputar apa yang dialami, di dalam kepolisian dan selama
menjalani proses peradilan yang tentunya akan membuka luka lama mereka dan
secara tidak langsung juga menggangu psikologis mereka dan akhirnya berimbas
kepada proses pemulihan korban yang terhambat. Karena faktanya di lapangan
menurut LBH dan data yang diperoleh
bahwa mayoritas perempuan korban kekerasan terus menerus menghadapi pertanyaan
yang sama ketika menjalani proses peradilan baik itu ketika penyusunan BAP, pasca pelaporan kasus korban,
kemudian ketika ditanya jaksa maupun ketika menjadi saksi ketika memasuki
pengadilan oleh hakim. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Indonesia tidak
memberikan aspirasi khusus terhadap bias gender yang tentunya sangat
disayangkan apalagi jika dikaitkan dengan upaya untuk memaksimalkan
perlindungan dan pemulihan
korban dalam hal ini perempuan korban
kekerasan.
Di tahun 2006, laporan dari PBB
menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dikriminalisasikan di 104 negara,
dengan 32 negara menyatakan bahwa marital
rape adalah sebuah pelanggaran hukum yang spesifik dan 74 sisanya memasukkan isu tersebut ke dalam kasus
pemerkosaan secara umum. Dari negara-negara yang belum menganggap kekerasan
dalam rumah tangga sebagai pelanggaran hukum, 53 di antaranya menyatakan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga bukanlah pelanggaran hukum yang harus dituntut dan 4 negara
mengkriminalisasikan kekerasan dalam rumah tangga hanya ketika pasangan
dinyatakan bercerai dalam hukum.[15]
Terdapat berbagai argumen untuk
mendekriminalisasikan kekerasan dalam rumah tangga, layaknya klaim terhadap
privasi yang dimiliki oleh ikatan pernikahan seorang suami dan istri.
Intervensi secara legal dari badan hukum dianggap tidak pantas, karena ikatan
pernikahan dianggap memiliki sebuah bentuk intimasi.[16] Hal itu tidak menjadi
justifikasi yang benar untuk dapat mendukung dekriminalisasinya kekerasan dalam
rumah tangga. Oleh karena ikatan pernikahan layak untuk diintervensi oleh pihak
yang berwajib jika salah satu pihak mengalami penderitaan. Namun argumen utama yang
mendukung adanya dekriminalisasi adalah pandangan yang menyatakan bahwa
pemerkosaan di dalam pernikahan itu merupakan hal yang mustahil. Masyarakat
telah mengkonstruksikan suatu pandangan bahwa sudah kewajiban istri untuk
memenuhi kebutuhan suami dan mematuhi keinginan suami, oleh karena itu tidak
mungkin suami memerkosa istrinya.
Walaupun begitu, kekerasan dalam
rumah tangga bukanlah isu yang dapat ditoleransi. Secara normatif, disebutkan di dalam UU PKDRT, pasal 5, setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahnya
dengan (Salah
satunya) kekerasan seksual, dijabarkan lebih lanjut di dalam pasal 8 yakni,
kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi, (salah satunya) pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut. Kasus diatas menyatakan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia telah
mengakui korban pemerkosaan ingga kekerasan dan mengkriminalisasikan pelaku
dibawah UU Kekerasan
di dalam Rumah
Tangga. Seperti pada
kasus, Hari Ade Purwanto yang merupakan tersangka daripemaksaan
hubungan seksual terhadap istrinya. Namun muncul
permasalahan yang terletak pada pemahaman masyarakat
terhadap kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri. Kasus perkosaan dalam
pernikahan yang terjadi di Indonesia jarang dilaporkan kepada lembaga penegak
hukum. Hal itu disebabkan oleh minimnya pemahaman perempuan terhadap perkosaan
dalam pernikahan. Banyak perempuan dalam kondisi ini tidak memahami jika mereka
sudah menjadi korban pemerkosaan dalam rumah tangga. Data dari laman resmi
Komnas Perempuan juga menyebutkan, pemahaman yang berkembang dalam hubungan
rumah tangga selama ini adalah hubungan seksual yang merupakan kewajiban
seorang istri. Maka dari itu, istri tidak bisa menolak ketika suami meminta
untuk berhubungan seksual dalam keadaan dan cara apapun. Pemahaman tersebut
juga dinilai diakibatkan oleh budaya dan interpretasi agama yang menempatkan
perempuan hanya dalam fungsi reproduksinya[17]. Feminis radikal melihat seks atau gender dalam sistem patriarkhi sebagai akar dari bentuk opresi
terhadap perempuan. Dalam struktur masyarakat patriarkhi, tubuh perempuan dianggap objek
utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki[18]. Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan produk dari sistem patriarkhi, dimana laki-laki yang memiki kekuasaan dalam rumah tangga
berperan sebagai subjek seksual dan perempuan sebagai objek seksual. Peran
reproduksi dan seksual perempuan dalam sistem patriarkhi menyebabkan berbagai jenis opresi
terhadap dirinya. Kasus yang dipaparkan sebelumnya membuktikan bahwa sebuah
bentuk opresi seksual, layaknya kekerasan dalam rumah tangga akan menimbulkan
berbagai opresi lainnya yang dapat terjadi terhadap perempuan di lingkungan
rumah tangga.
Tokoh feminis, Angela Davis
mendefiniskan perkosaan bukan sebagai bentuk pelampiasan hasrat seksual yang
dimiliki oleh laki-laki, namun bahwa hal tersebut dilakukan oleh karena
temperamen laki-laki yang senantiasa ingin dapat mengontrol perempuan.[19]
Berangkat dari data-data LBH dan data-data sekunder diatas maka perlu
diterapkan sebuah sistem peradilan yang baik guna memberikan pelayanan yang
baik terhadap perempuan korban kekerasan terutama korban kekerasan dalam rumah
tangga. Hal ini untuk mendukung perempuan dan memberikan perlindungan terkait
dengan viktimisasi yang ia terima dan apa yang harus dilakukan oleh perempuan
korban kekerasan agar mendapatkan keadilan dalam sistem peradilan dan agar
mereka mau melaporkan pelaporan dan proses peradilan hingga akhir sehingga para
pelaku tindak kekerasan bisa dikurangi. Selain hal tersebut perlu adanya
perlindungan khusus terhadap korban yang bias gender artinya perlu untuk
memberikan hal-hal khusus terkait dengan perempuan sebagai korban kejahatan.
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Penanganan
kasus korban viktimisasi lembaga peradilan masih terkesan kurang memihak
terhadap korban terlebih dalam kaitannya dengan pendampingan korban perempuan
yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mayoritas kasus pelanggaran dan
kekerasan yang menimpa perempuan sebagai korban kekerasan berakhir dengan kata
damai dan jarang ada yang berlanjut ke pengadilan. Faktor penghambat kasus
pelaporan KDRT pun beragam. Mulai dari Keluarga yang tidak ingin memperpanjang perkara
sampai proses pelaporan di kepolisian yag kurang memperhatikan kondisi kejiwaan
korban. Negara pun terlibat dengan tidak mengkontruksi aturan yang baik bagi
kepentingan korban dan mempermudah proses hukum yang berjalan bagi korban KDRT.
Pada akhirnya kelompok kami
menyimpulkan bahwa setiap elemen dalam sistem peradilan maupun masyarakat dan
pemerintah haruslah berperan maksimal dalam penangangan korban KDRT. Hal
tersebut kami simpulkan dari beratnya pekerjaan LBH dalam menyelesaikan kasus
KDRT dengan banyak alasan dan atau faktor yang sudah kami sebutkan sebelumnya.
Kepentingan korban dan semua hal yang berkaitan dengan korban baik dalam proses
hukum maupun dalam proses rahabilitasinya haruslah sangat diperhatikan oleh
setiap elemen yang terkait dalam penyelesaian kasus KDRT. Dengan demikian
kasus-kasus KDRT akan terrestorasi dengan baik dan menjadi pelajaran bagi
masyarakat dalam penyelesaian kasus yang ramah bagi korba KDRT.
Daftar Pustaka
American Psychological Association Council of Representatives: The
Guidelines for Psychological
Practice with Lesbian, Gay, and Bisexual Clients, February 18th
-20th, 2011. Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
American
Psychological Association Council of Representatives: The Guidelines for
Psychological Practice with Lesbian, Gay, and Bisexual Clients, February 18th
-20th, 2011. Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
Anonimus. 2015. Bagaimana Kasus Perkosaan Terjadi Dalam
Pernikahan. Diakses pada 19 Maret 2016, melalui http://geotimes.co.id/bagaimana-kasus-perkosaan-terjadi-dalam-pernikahan/.
Collier, Rohan. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Mayoritas dan Minoritas. Cet 1.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Elain, Jill
Hasday, 2000. Contest and Consent: A Legal History of Marital Rape.
California Law Review Vol 88 No.5. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/3481263.
General Secretary of United Nations. 2006. Ending Violence Against Women: From Words to
Action. United Nations Publication.
Hasbiianto, Elli N. 1999. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan Yang Tersembunyi. Dalam
Syafik Hasyim: Menakar Harga Perempuan Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak
Reproduksi Perempuan Dalam Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Legal Services of New Jersey, 2016, Domestic
Violence : “A Guide to the Legal Rights
of Domestic Violence Victims In New Jersey” Legal Services of New Jersey
Muhammad
Ishar Helmi, Juli 2014, “Implementasi
Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP)” Pusat
Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKANSI)
Rebecca E.
Shiemke,September 2011 “Domestic
Violence Legal Remedies in Other States”, Michigan Bar Journal
Renzetti, C., &
Curran, D. J. 1999. Women, men and society. Boston: Allyn & Bacon.
Suparno, Indiyati. 2002. Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran Situasi Kekerasan terhadap
Isteri. Solo: Solidaritas Perempuan untuk kemanusiaan dan HAM (SPEK-HAM) &
Civil Society Support and Strengthening Program (CCSP)
Veronica,
Noni Liliana, 2010. Bantuan Hukum LBH
APIK dalam Penanganan Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas
Indonesia.
Vold, George B. 2002. Theoretical Criminology. Oxford University Press
[1] Collier,
Rohan. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Mayoritas dan Minoritas. hlm 11
[2] Sommer R
dalam Muhammad 1998, hlm 94
[3]
Hasbianto. 1995. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang
Tersembunyi. Hlm 18
[4] Suparno 2002.
Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran Situasi Kekerasan terhadap Istri.hlm
16
[5] American Psychological Association Council of
Representatives: The Guidelines for Psychological Practice with
Lesbian, Gay, and
Bisexual Clients, February 18th -20th, 2011. Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
[6] American Psychological Association Council of
Representatives: The Guidelines for Psychological Practice with Lesbian, Gay,
and Bisexual Clients, February 18th -20th, 2011.
Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
[8] Rebecca E. Shiemke,September
2011 “Domestic
Violence Legal Remedies in Other States”, Michigan Bar Journal
[9] Muhammad Ishar Helmi, Juli 2014, “Implementasi Gagasan Sistem Peradilan
Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
(SPPT-PKKTP)” Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKANSI)
[10]
Legal Services of New Jersey,
2016, Domestic Violence : “A Guide to the Legal Rights of Domestic Violence
Victims In New Jersey” Legal Services of New Jersey
[11]
Scott, London, dan Myers,
2002, dalam Noni Veronica Liliana, Bantuan
Hukum LBH APIK dalam Penanganan Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas
Indonesia, 2010, hlm,22.
[12]
Katjasungkana, Nursyahbani,
dan Mumtahanan, Kasus-Kasus Kekerasan
terhadap Perempuan, dalam Ibid hlm, 37.
[13]
Noni Veronica Liliana, Bantuan Hukum LBH APIK dalam Penanganan
Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas Indonesia, 2010, hlm, 23.
[15] General Secretary of United Nations. Ending Violence Against Women: From Words to Action, United Nations Publication, 2006, Hlm, 113.
[16] Jill Elain Hasday, Contest and Consent: A Legal History of Marital Rape. California
Law Review Vol 88 No.5. 2000, Diakses
melalui http://www.jstor.org/stable/3481263
[17]Anonimus.. Bagaimana Kasus
Perkosaan Terjadi Dalam Pernikahan. 2015, Diakses
pada 19 Maret 2016, melalui http://geotimes.co.id/bagaimana-kasus-perkosaan-terjadi-dalam-pernikahan/.
Komentar