pendampingan dan bantuan hukum yang diberikan LBH Jakarta dalam pendampingan kasus KDRT

BAB I
PENDAHULUAN
I.                   Latar Belakang
Tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan sebagai suatu pola kelakuan atau perbuatan memaksakan kehendak dari sesorang terhadap pasangannya, yang termasuk dalam golongan ini adalah kekerasan secara fisik, mental, ataupun seksual bisa juga termasuk penguasaan ekonomi.[1] Tindakan kekerasan juga menyangkut tindakan agresif dan kasar (violent) terhadap anggota keluarga sendiri (domestic abuse) dapat berbentuk penyiksaan, perkosaan, dan pemaksaan. Secara umum abuse dapat diartikan sebagai penyalahgunaan kekuatan untuk memperlakukan orang lain yang di bawah kekuasaannya dengan menyakiti secara fisik, menghina dengan kata-kata kasar, melukai atau mencederai dengan tindakan atau mengambil keuntungan dari kekuasaan itu secara tidak adil.[2] Menurut Deklarasi Beijing, adanya pola hubungan yang tidak seimbang (ketidakselarasan hak antara perempuan dan laki-laki) yang dikonstruksikan sedemikian rupa inlah yang membuka peluang terjadinya kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan secara emosi, ekonomi, seksual, intimidasi, penggunaan hak pribadi laki-laki, ancaman dan tekanan dengan menggunakan anak. Kesemuanya merupakan akibat dari pola hubungan kekuasaan dan kontrol yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hubungan yang timpang ini kemudian mewujudkan kekuasaan yang ditunjukkan oleh orang yang memiliki posisi (kedudukan) yang lebih tinggi atau kuat terhadap orang yang lebih rendah atau lemah posisinya. Kenyataan inilah yang menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap keluh-kesah para istri yang mengalami persoalan KDRT dalam perkawinan. Akibatnya, mereka memendam persoalan itu sendirian, tidak tahu bagaimana menyelesaikannya, dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, yaitu suami memang mengontrol istri.[3]
II.        Permasalahan Penelitian
Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan KDRT dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur hukum dan non hukum. Jalur hukum yang dimaksud adalah penanganan kasus dengan memprosesnya secara pidana melalui pengadilan terhapa pelaku kekerasan. Sedangkan penanganan non-hukum dapt ditempuh korban dengan membuka dan menceitakan kasus yang dialaminya kepada orang yang dipercayainya dapat membantu mengatasi masalah yang dialaminya kepada orang yang dipercayai dapat membantu mengatasi masalah yang dialaminya, dengan menghubungi lembaga-lembaga yang memberikan layanan konsultasi, konseling atau hotline, maupun mendatangi crisis centre yang ada untuk memperoleh bantuan pelayanan secara fisik, emosi, motivasi, advokasi dan akomodasi yang sifatnya sementara maupun jangka panjang.[4] Tindak kekerasan yang dilakukan suami ini juga merupakan akibat lemahnya lembaga formal salah satunya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang berwenang menanggulangi kasus pengaduan-pengaduan dari korban.
III.       Pertanyaan Penelitian
·         Bagaimana pendampingan dan bantuan hukum yang diberikan LBH Jakarta dalam pendampingan kasus KDRT?
IV.       Tujuan Penelitian
·         Untuk mengetahui pendampingan dan bantuan hukum yang diberikan LBH Jakarta dalam pendampingan kasus KDRT



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
I.                   Definisi Konseptual
Perempuan
Menurut (KBBI): perempuan adalah orang yang mempunyai alat kelamin (vagina), dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.

Sex
            Sex mengarah ke status biologis seseorang dan seringkali dikategorikan sebagai perempuan, laki-laki, dan interseks, yaitu kombinasi fitur yang membedakan laki-laki dari perempuan. Terdapat sejumlah indikator yang menentukan hal tersebut, yaitu kromosom, gonads, organ reproduksi internal, dan alat genital. [5]

Gender
Gender mengarah ke sikap, perasaan, dan perilaku yang diasosiasikan dengan status biologis (sex) seseorang. Perilaku dalam hal ini dapat dikaitkan dengan ekspektasi budaya masyarakat atau dapat juga disebut dengan gender-normative.  Sebagai tambahan, terdapat juga istilah gender identity, yaitu perasaan dimana seseorang melihat dirinya sebagai laki-laki, perempuan, atau transgender (APA, 2006) dan gender expression, yaitu cara dimana seseorang bertindak untuk mengkomunikasikan gender. [6]

Patriarki
            Patriarki merupakan sistem sex atau gender dimana laki-laki mendominasi perempuan dan apa yang dianggap sebagai hal maskulin, lebih dihargai daripada apa yang dianggap sebagai hal feminim. Patriarki merupakan sistem stratifikasi sosial, yang berarti hal itu digunakan untuk berbagai kontrol sosial dan praktis untuk mempertahankan kekuatan laki-laki sedangkan anak perempuan dan perempuan dianggap sebagai kaum subordinat atau lebih rendah.[7]
Eksploitasi
Menurut KBBI adalah pengusahaan dan pendayagunaan kemanfaatan untuk keuntungan sendiri.
KDRT
Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
a.Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Bentuk-bentuk KDRT:
a. Kekerasan fisik: perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat
b. Kekerasan psikis: perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat padaseseorang
c. Kekerasan seksual: setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi :
·         Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
·         Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

d. Penelantaran rumah tangga: seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

II.                Telaah Jurnal
Michigan telah membuat kemajuan yang signifikan dalam merespon kekerasan dalam rumah tangga dengan jalan melalui hukum kriminalisasi KDRT yang terus melakukan perbaikan atas tindak pidana dan kompensasi untuk korban atas segala kerugian dan derita yang mereka alami. ketentuan Selanjutnya, pada tahun 1983 negara memberlakukan adanya program  perlindungan pribadi dalam hubungan rumah tangga dan pada tahun 1993 diperpanjang. Juga pada tahun 1993, legislatif Michigan mengungkapkan pendapatnya tentang pentingnya menangani kekerasan dalam rumah tangga pada anak tahanan penting ketika diubah Penitipan Anak Act menambahkan MCL 722,23 (k), mandat pertimbangan kekerasan dalam rumah tangga dalam tahanan atau sengketa orang tua. Sementara usaha ini cukup besar pengaruhnya, ada peluang tambahan untuk pihak Michigan untuk memperluas perlindungan dan solusi terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga. Artikel ini akan memuat survei hukum dan solusi yang ditawarkan di negara-negara lain yang memberikan bantuan tambahan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga dan keluarga mereka.
The Model Code on Domestic and Family Violence
            Pada tahun 1994, Dewan Nasional Juvenile dan Family Court Judges mengembangkan Kode Model pada kasus Kekerasan dalam rumahtangga untuk mendorong negara-negara untuk mengadopsi undang-undang untuk intervensi yang efektif dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kode Model komprehensif dalam pendekatan dan alamat hukuman pidana, perintah perlindungan sipil, hak asuh anak, dan pencegahan dan pengobatan. Setiap bab dalam Kode Model dapat secara independen diadopsi atau dimodifikasi oleh badan legislatif negara.
Personal Protection Orders
            Di Michigan, perintah perlindungan pribadi melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga dengan menahan pelaku yang terlibat dalam perilaku tertentu yang akan membahayakan atau mengancam membahayakan korban. Seorang pelaku juga dapat menahan diri dari mengeluarkan anak kecil, tapi hanya jika pihak petisi memiliki hak asuh hukum. Namun, negara-negara lain telah mengakui hubungan antara kekerasan dalam rumah tangga dan membahayakan anak-anak, dan negara mengizinkan pengadilan untuk tahanan dari seorang anak kecil dalam rangka melanjutkan pelindung, biasanya menunggu sidang penuh. Beberapa negara bagian selain Michigan juga mengizinkan pengadilan untuk memberikan dukungan penghargaan dan restitusi dan melarang penyalahgunaan.
Address Confidentiality Programs
            Meskipun korban meminta perintah perlindungan pribadi di Michigan dapat melindungi alamat mereka, Michigan tidak memiliki program alamat kerahasiaan lainnya. Tiga puluh dua negara telah lulus undang-undang menetapkan program alamat kerahasiaan untuk membantu menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga korban yang membutuhkan untuk pindah dan menjaga rahasia lokasi mereka . Program-program ini memberikan korban alamat hukum pengganti untuk digunakan di tempat alamat fisik mereka dan dapat digunakan setiap kali alamat diperlukan untuk catatan publik, seperti pemilih atau pendaftaran surat ijin mengemudi . Surat diterima di alamat pengganti dan diteruskan ke alamat korban yang asli.
Housing
Banyak korban dari laporan kekerasan dalam rumah tangga kehilangan rumah mereka karena kekerasan dalam hidup mereka dan sering perlu untuk pindah ke tempat tinggal baru dan lebih aman. Michigan baru-baru ini bergabung dengan 14 negara-negara lain ketika undang-undang yang memungkinkan korban kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual untuk mengakhiri sewa early. Namun banyak negara telah membuat hukum tambahan untuk mengatasi beberapa masalah perumahan lain yang dihadapi oleh korban. Delapan negara melarang tuan tanah yang melakukan diskriminasi terhadap penyewa atas dasar mereka sebagai Status sbagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Enam negara melarang tuan tanah dari pembatasan atau membatasi korban dari menelepon polisi atau bantuan darurat dalam menanggapi insiden kekerasan dalam rumah tangga. Sepuluh negara memberikan perlindungan terhadap penggusuran untuk korban kekerasan dalam rumah tangga. Lima negara mengizinkan pemilik tanah untuk membagi dalam dua cabang sewa dan mengusir pelaku. Tiga negara memegang pelaku bertanggung jawab untuk sewa yang belum dibayar atau kerusakan akibat kekerasan dalam rumah tangga. Sepuluh negara bagian mengizinkan atau mengharuskan pemilik tanah untuk mengubah kunci pada unit korban kekerasan domestik
Unemployment Insurance Benefits
            Di bawah hukum Michigan, orang yang meninggalkan pekerjaan karena kekerasan dalam rumah tangga tidak memenuhi syarat untuk tunjangan pengangguran. 33 Negara telah menambahkan korban kekerasan dalam rumah tangga kedalam asuransi pengangguran. Sebagian besar negara ini memberikan manfaat kepada para korban yang terpaksa meninggalkan pekerjaan serta mereka yang mengalami kerugian karena konsekuensi dari kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa negara juga memperpanjang kelayakan untuk korban kekerasan seksual. Akses ke asuransi tersebut memberikan peningkatan rasa keselamatan dengan keamanan ekonomi yang diperlukan untuk meninggalkan pekerjaan untuk mencari perumahan yang aman, perawatan medis, atau bantuan hukum.
Conclusion
            Keselamatan terhadap kekerasan dalam rumah tangga memerlukan berbagai pilihan dan penanganan, beberapa di antaranya harus datang sebuah reformasi sebagai legislatif yang mengakui dan merespon dengan tepat kekerasan dalam rumah tangga. Namun, kemungkinan konsekuensi negatif dan tidak diinginkan reformasi legislatif menyoroti pentingnya kesiapan sistemik sebelum pelaksanaan. Dengan demikian, reformasi pun harus disertai dengan pelatihan, pendidikan, dan ketersediaan sumber daya yang memadai yang mendukung
Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan[9]
Kekerasan di masyarakat bukan lagi suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersamaan dengan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yang paling menarik perhatian publik kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga yang seringkali banyak menimpa kaum perempuan. Kekerasan tersebut cenderung tersembunyi karena baik pelaku ataupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Pada kenyataannya sangatlah sulit mengukur secara tepat luasnya jangkauan kekerasan terhadap perempuan, karena masalah ini masuk wilayah peka kehidupan perempuan, di mana perempuan itu sendiri enggan membicaraknnya. Pada awalnya secara umum kekerasan tehadap perempuan hanya diatur dalam KUHP, dalam bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Lambat laun kekerasan terhadap perempuan meningkat dan mendapat perhatian publik karena sifat dan dampaknya sangat berpengaruh bagi masyarakat. Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Menyadari adanya kompleksitas permasalahan terkait kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan, maka kaum perempuan mendapat angin segar dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga yang secara umum dapat memback up kaum perempuan dalam mendapatkan hak-hak hukumnya. Undang-undang tersebut semestinya melindungi pihak-pihak yang paling rentan di dalam rumah, yaitu perempuan dan anak. Namun, dalam implementasinya ternyata undangundang tersebut justru mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan, terutama karena aparat penegak hukum tidak mempertimbangkan hubungan antara suami, istri dan anak, dalam menerapkan undang-undang ini. Akibatnya, perempuan korban kekerasan tidak mendapatkan hak-haknya. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan memandang bahwa Undang-Undang PKDRT adalah terobosan hukum bagi upaya menghadirkan keadilan hak asasi di Indonesia. Undang-Undang PKDRT merupakan salah satu wujud komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984.3
Upaya Si Korban mencari keadilan dihadapkan berbagai hambatan. Aparat penegak hukum juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan bantuan hukum masih langka dan sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit penanganan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. Komnas Perempuan juga menerima laporan di mana aparat penegak hukum melakukan memediasi pelaku dan korban tanpa dikerangkai misi memutus siklus kekerasan dan memberi efek jera pada pelaku. Sejumlah aparat penegak hukum juga mengabaikan hak korban atas informasi yang utuh tentang proses hukum yang akan dijalani dan akibat hukumnya. Keadaan ini menyebabkan korban merasa terintimidasi dan akibatnya, sejumlah banyak korban mencabut laporannya atau meminta aparat penegak hukum menghentikan proses kasus atas kekerasan yang dialami.
 Selama ini masyarakat Indonesia memandang Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Negeri (PN) yang memutus perkara sengketa perkawinan/keluarga sebagai “pengadilan keluarga” (“family court”). Kenyataan membuktikan bahwa kedua pengadilan tersebut belum dapat menyelesaikan secara tuntas masalahmasalah terkait dengan perkawinan dan keluarga sebagaimana dialami oleh perempuan dan anak. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 2010 terdapat 105.103 kasus, 96 persen adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan/istri. Ini menunjukkan bahwa kasus KDRT yang dialami perempuan/istri sangat tinggi dan dominan. Namun terbatasnya alternatif sanksi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Undang-Undang PKDRT), yakni hanya memberikan sanksi pidana penjara kepada pelaku tindak kekerasan. Hal ini memberikan dilema tersendiri bagi perempuan karena tidak semua perempuan memilih jalur pidana untuk menyelesaikan kasusnya. Tidak jarang mereka masih berharap perkawinannya bisa diselamatkan, istri hanya melaporkan suaminya ke pihak yang berwenang agar suami jera. Hal ini terlihat dari fenomena pencabutan laporan KDRT di kepolisian yang sering juga dikeluhkan oleh Polisi.
Overview of the Legal System[10]
Kasus kekerasan dalam rumah tangga mungkin melibatkan baik hukum perdata dan hukum pidana. Pengadilan yang berbeda menangani administrasi kasus perdata dan pidana. Keluhan yang mungkin dirasakan pengadu adalah pergi ke salah satu atau bahkan harus ke kedua pengadilan tersebut. Dalam Sistem UU hukum sipil, Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang memberikan kewenangan perintah penahanan, adalah hukum perdata. Di bawah hukum perdata, satu orang bisa menuntut orang lain untuk masalah pribadi. Dalam aksi kekerasan dalam rumah tangga, Korban dapat meminta pengadilan untuk memberikan perlindungan dari orang yang melakukan kekrasan pada korban. Dalam hal ini Korban dapat  tidak meminta pengadilan sipil untuk menempatkan orang tersebut saat melakukan kejahatan sebelum melakukan proses pelaporan. Dalam kasus perdata, Korban adalah penggugat dan pihak lawan atau pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah terdakwa. Kedua belah pihak dapat menyewa pengacara. Di pengadilan sipil, hakim tidak dapat menunjuk seorang pengacara untuk salah satu pihak. tindakan hukum umum lainnya dibawa di pengadilan sipil korban bisa mendapatkan restitusi sebagai biaya pemulihan maupun biaya pengganti atas derita yang selama ini dialami. Dalam Sistem hukum pidana, menangani kasus yang melibatkan pelanggaran hukum pidana, seperti pelecehan, kekerasan, pembunuhan, pencurian, dll Karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya, semua pelanggaran hukum pidana negara dianggap kesalahan umum dan kejahatan terhadap negara.
Jaksa mewakili negara dengan mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan. Korban, adalah Saksi untuk kasus jaksa. Seseorang dituduh melakukan kejahatan disebut terdakwa. terdakwa dapat menyewa pengacara untuk mewakili dia di pengadilan. Seorang terdakwa yang tidak mampu membayar pengacara mungkin dapat memiliki hak untuk mendapatkan seorang kuasa hukum dari salah satu lembaga bantuan hukum yang ditunjuk. Korban dapat mengajukan baik pengaduan pidana terhadap pelaku dan keluhan untuk perintah penahanan atau untuk tindakan yang sama dari kekerasan dalam rumah tangga. Korban juga dapat mengajukan hanya satu jenis keluhan dan bukan yang lain jika itu adalah apa yang Anda memilih untuk melakukannya.
Using Civil Law—the Prevention of Domestic Violence Act
            Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu ketetapan dalam hukum perdata New Jersey yang menawarkan bantuan hukum kepada para korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban mungkin dapat menggunakan hukum ini untuk mendapatkan perintah pengadilan untuk menahan pelaku apabila pelaku tidak datang dari orang dekat yang berada di sekitar anda jika Anda berada di salah satu jenis berikut dengan  dengan pelaku:
·         Korban telah menikah dengan pelaku.
·         Korban memiliki seorang anak, atau pelaku Anda adalah seseorang dengan siapa Anda mengharapkan seorang anak, jika salah satu pihak sedang hamil.
·         Korban telah memiliki hubungan dekat. Ini termasuk hubungan kencan seks yang sama. Seorang hakim akan memutuskan apakah hubungan dekat tersebut ada berdasarkan sifat dan frequency interaksi antara para pihak, harapan hubungan, apakah ada penegasan dari hubungan Anda sebelum orang lain, dan faktor lainnya.
·         Anda saat ini hidup dengan atau sebelumnya telah hidup dengan yang pelaku.
Perlu Diperhatikan bahwa, dalam rangka untuk mendapatkan perintah penahanan terhadap pelaku di bawah Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU, pelaku harus berusia 18 tahun atau lebih tua atau minor beremansipasi (ini termasuk mengasuh anak). Jika pelaku adalah di bawah usia 18 maka Anda mungkin melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada polisi setempat karena pelaku masih tergolong dalam usia Anak-anak.
Konseling untuk korban
Korban mungkin merasa tertekan, tidak berdaya, dan kewalahan oleh situasi yang korban alami. Hal ini sangat sulit untuk membuat keputusan atau perubahan ketika Korban sedang cemas tentang suatu konsekuensi dari keputusan yang telah korban ambil dalam proses peradilan. Hal ini terutama sulit untuk berpikir ketika Korban tidak memiliki tempat untuk mencurahkan keluh kesah, Dengan siapa korban dapat berbicara atau berbagi keprihatinan yang korban alami untuk diri sendiri dan keluarga korban. Tanpa seseorang untuk membantu korban memilah-milah semua hal ini, korban dapat terus merasa terjebak atau terlalu takut untuk bergerak atau melakukan tindakan. Seorang konselor profesional dapat membantu korban menemukan beberapa alternatif atau setidaknya memberikan dukungan emosional untuk Korban selama masa yang sangat sulit. Penyedia layanan kekerasan dalam rumah tangga lokal Anda dapat merujuk Anda ke seorang konselor yang memahami isu-isu kekerasan dalam rumah tangga Anda. Apabila korban terbentur biaya untuk mendapatkan jasa pelayanan konselor mak korban bisa mendapatkan Layanan Konseling dari NGO maupun dari lembaga bantuan-bantuan hukum yang ada.




BAB III
Metode Penelitian
3.1       Subjek Penelitian
Karakteristik Subjek penelitian yaitu petugas LBH Jakarta yang menangani kasus KDRT. Petugas LBH memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai kasus yang ia tangani pada korban KDRT. Jumlah subjek Penelitian berjumlah 1 orang.
3.2       Tahapan Penelitian
Dalam melakukan penelitian  ini dibutuhkan pula serangkaian persiapan dan pelaksanaan dari peneliti agar bukti penelitian ini dapat digunakan sebagaimana mestinya. Adapun tahap-tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
Untuk dapat melakukan wawancara terhadap subjek secara terfokus dan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, maka dibuatlah pedoman wawancara yang didasari literature yang sesuai dengaan tujuan penelitian. Untuk Subjeknya peneliti sudah mendapatkan pedoman untuk meneliti mengenai LBH Jakarta. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam tahap persiapan :
1)      Pertanyaan masalah penelitian.
2)      Mengkaji konsep dan teori berdasarkan referensi.
3)      Menentukan subjek penelitian.
4)      Penyusunan pedoman wawancara dan pedoman observasi
Wawancara dilakukan di LBH Jakarta pada hari Senin 16 Mei 2016 pukul 12.00-12.35. Pada tahap ini melakukan metode pengambilan data dengan metode wawancara dan metode observasi, berdasarkan pedoman yang telah disusun sebelumnya ditahap awal. Wawancara yang digunakan merupakan wawancara yang bersifat informal tetapi tetap searah dengan menggunakan pedoman wawancara yang dibuat.
            3.3       Hambatan Penelitian
            Hambatan penelitian dalam kasus ini yaitu pada pencarian subjek, yaitu anggota pihak LBH Jakarta. Kami tidak bertemu dengan staff yang menangani kasus KDRT secara langsung. Dikarenakan waktu yang terbatas, kami hanya berhasil mewawancarai 1 narasumber saja.



BAB IV
TEMUAN DATA
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah satu staf LBH Jakarta, bernama Pratiwi Febry diperoleh beberapa informasi. Adapun pengaduan kasus-kasus kepada LBH Jakarta secara garis besar dapat dikelompokkan dalam klasifikasi berdasarkan isu utama, yaitu kasus perburuhan, kasus perkotaan dan masyarakat urban, kasus sipil dan politik, kasus keluarga, kasus perempuan dan anak, dan kasus non-struktural. Selama jangka waktu lima tahun terakhir total pengaduan kasus yang diterima LBH Jakarta yaitu sebanyak 5.249 kasus. Para pengadu tidak hanya berasal dari Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga berasal dari wilayah luar Jakarta, misalnya Aceh, Sumatra, Bali, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan seterusnya. Latar belakang pendidikan terakhir pengadupun juga beragam yang paling banyak diantaranya, SMA, Perguruan Tinggi, SD, SMP, dan tidak sekolah. Sesuai dengan tema penelitan ini yaitu mengenai KDRT, masuk ke dalam klasifikasi kasus keluarga. Terkait dengan kasus keluarga, aduan yang diterima LBH Jakarta dirinci lagi menjadi kasus pernikahan, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), perceraian, dan waris.
Jika terdapat aduan mengenani kasus KDRT, LBH tidak mempunyai wewenang menangkap tersangka. Ketika kasus dilaporkan, LBH akan mendampingi korban atau menjadi pengacara korban. Di LBH Jakarta sendiri, terdapat 18 pengacara publik, termasuk advokat magang. Terutama untuk kasus KDRT banyak menghadapi hambatan dalam proses pendampingan oleh LBH Jakarta, diantaranya, bentuk reaksi dan sikap korban dalam menghadapi kekerasan. Terdapat dua reaksi dalam menghadapi kekerasan oleh korban, pertama reaksi emosional, biasanya ditunjukkan dengan sikap menyalakan diri sendiri atau suami, kedua yaitu reaksi tindakan, seperti mengajak suami untuk berdiskusi, meminta pertolongan, meninggalkan rumah, melaporkan ke polisi. Banyak kasus KDRT, pada awalnya korban mengadu dalam keadaan yang mengalami perlukaan dan dalam keadaan terguncang meminta untuk kasusnya ditangani, tetapi setelah kasusnya diproses dan suami korban yang juga merupakan tersangka ditahan, korban datang dan memohon agar suaminya dibebaskan. Sehingga tidak sedikit dari aduan maupun pelaporan kasus KDRT dicabut kembali oleh korban. Berdasar hasil wawancara, adapun hambatan terbesar lainnya dalam akses keadilan dan bantuan hukum kasus KDRT yaitu ketika adanya campur tangan oleh pihak ketiga, biasanya oleh keluarga suami maupun keluarga dari pihak korban yang memiliki keinginan yang berbeda dari korban, seperti ketika korban menginginkan untuk memproses kasus secara hukum tetapi keluarga menolak dan meminta korban untuk mencabut laporannya. Dalam beberapa kasus, korban dipaksa oleh keluarga atau termasuk juga suaminya untuk mencabut laporan dan menghentikan kasus, sehingga banyak kasus yang ditangani LBH Jakarta sendiri tidak sampai ke pengadilan, bahkan hampir pada semua kasus KDRT.
Hambatan lainnya yaitu bahwa perempuan dan anak dalam keluarga tersebut secara finansial bertumpu kepada suami dan berkaitan dengan sistem nilai yang meletakkan aib sebagai tabu sosial. Dalam hal ini perempuan korban akan berpikir ulang untuk melanjutkan kasusnya ke pengadilan. Selain itu, penyelesaian kasus KDRT secara hukum, belum melihat relasi suami-istri, yaitu ketika suami dipidanakan maka istri, terutama yang secara finansial bertumpu pada suami akan terganggu keuangannya. Sehingga diantara aduan mengenai kasus KDRT yang diterima LBH Jakarta banyak yang akhirnya justru terhenti dan sulit untuk dibawa ke ranah hukum. Jikapun, kasus dapat masuk dan diproses secara hukum, tetapi hukum yang ada belum responsif dan sensitif gender, dan hal tersebut dirasa berpotensi bagi korban untuk mengalami pengalaman traumatik lainnya atau reviktimisasi dari aparat penegak hukum.
            Pergerakan perempuan terutama untuk memperoleh akses hukum dan perlindungan dalam kasus KDRT menjadi terbatasi pada respon lingkungan terutama kepolisian dan pengadilan. Sebagian besar aparat kepolisian masih tetap memandang bahwa masalah kekerasan antar pasangan merupakan masalah pribadi pasangan tersebut. Kedua institusi tersebut juga merespon tindakan didasari serius tidaknya perlukaan fisik (mengabaikan dampak psikologis) yang memang terlihat. Sehingga, jika pasangan saling melakukan kekerasan dengan pukulan yang tidak menimbulkan perlukaan berat yang mengharuskannya untuk dirawat secara medis, maka respon yang dihasilkanpun cenderung lemah. Dalam tahap antara aduan dan Berita Acara Pemeriksaan yang akan dilimpahkan ke Kejaksaan, terdapat celah terjadinya praktik jual beli perkara, yang biasanya dilakukan pelaku yang memiliki status sosial dan ekonomi yang cukup. Sehingga praktik ini dapat semakin memperkecil angka perkara yang dapat maju ke Kejaksaan dan Pengadilan, dengan perolehan rata-rata hanya 10% dari semua kasus aduan. Selanjutnya, kendala yang dapat muncul di lembaga kejaksaan terhadap perempuan korban kekerasaan yaitu sebagian dari masyarakat terutama perempuan korban kesulitan untuk memahami proses hukum acara dan tidak mengetahui bagaimana kasus dapat dibawa ke persidangan. Dalam kasus KDRT perempuan dapat berperan menjadi korban maupun perempuan korban sebagai pelaku, namun jumlahnya lebih sedikit. Upaya memberikan layanan pada korban kekerasan terhadap perempuan dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu upaya litigasi atau upaya hukum dan upaya non-litigasi. Pada upaya non-litigasi biasanya dilakukan melalui mediasi yang lebih bertujuan untuk pemenuhan hak-hak korban, namun dalam kasus yang ditangani oleh berbagai LBH, biasanya tidak menyarankan untuk perdamaian. Banyak dari pengaduan dari kasus KDRT yang diselesaikan melalui proses mediasi akibatnya pencabutan laporan seringkali terjadi. Adapun perempuan korban KDRT yang kemudian dirujuk ke lembaga lainnya, seperti LPSK terkadang menolak pengadu dengan alasan statusnya yang masih sebagai pelapor, bukan saksi atau korban. Dalam hal ini LBH lebih berperan dalam hal pemulihan kondisi korban terlebih dahulu dengan merujuk pengadu kepada jaringan kerjasama bersama lembaga pemulihan kemudian baru dibantu dalam pendampingan di ranah hukum.
 Untuk upaya hukum, di Indonesia sendiri masih menemui masalah terkait dengan aparat penegak hukum dan masalah implementasi Undang-Undang. Peradilan belum tentu menjadi bakal pemulihan korban dan korban sebagai pelaku karena belum tentu keadilan tersebut memihak. Misalnya, dalam penanganan kasus perempuan korban sebagai pelaku, aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, dan hakim masih menggunakan pendekatan positivis (menilai kasus berdasarkan fakta dan bukti). Secara tidak langsung sikap ini telah mendiskriminasikan perempuan karena mengabaikan kasus dan posisi perempuan dalam keluarga mengenai riwayat kekerasan dan latar belakang kasus. Sehingga selama perempuan dalam kasus KDRT berada dalam sistem peradilan pidana, secara tidak langsung juga telah menghambat proses pemulihannya. Dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana, hakim, jaksa, dan polisi masih kurang dalam sensitif gender. Sehingga yang menjadi salah upaya LBH menanggapi hal tersebut adalah mendekatkan bantuan hukum yang sensitif jender, mengawal implementasi Undang-Undang seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta mengadvokasi revisi KUHP dan KUHAP.



BAB V
ANALISIS
Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi terhadap perempuan namun kasusnya sulit untuk dibongkar.  Kesulitan dalam membongkar kasus KDRT dapat diidentifikasi dari beberapa faktor, diantaranya kasus KDRT terjadi dalam institusi yang legal dan intim, ruang lingkup terjadinya kekerasan relatif tertutup dan terjaga ketat oleh anggota keluarga, dan anggapan bahwa suami pemimpin keluarga. Kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga seperti yang ditunjukkan dalam berbagai penelitian terdahulu terjadi karena tertanamnya budaya patriakhi, yang dipahami bahwa laki-laki menduduki posisi yang superior dan perempuan menduduki posisi yang inferior yang mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan perempuan. Hal ini semakin didukung dengan adanya interpretasi yang keliru terhadap stereotip jender yang sudah disosialisasikan sedari dini. Secara lebih spesifik Bornstein (2006 dalam Veronica), membagi faktor penyebab kekerasan domestik yang dilakukan oleh pasangan menjadi dua, yaitu pertama, ketergantungan ekonomi. Ketergantungan ekonomi menggambarkan sebuah keadaan dimana salah satu pihak memiliki kondisi eksklusif untuk mengatur sumber-sumber keuangan. Kendali yang ekslusif dalam urusan finasial tidak hanya disebabkan karena hanya salah satu pihak saja yang memiliki sumber finansial, tetapi juga dapat dilakukan melalui ancaman dan intimidasi.[11] Kedua, yaitu ketergantungan emosional yang ditandai oleh kebutuhan akan pengasuhan, perlindungan, dan dukungan, walaupun di dalam situasi dimana seseorang dapat berfungsi secara baik dengan menggunakan kapasitas dirinya sendiri dan dapat menghadapi tantangan yang akan datang kepadanya. Dengan adanya bentuk-bentuk ketergantungan tersebut, menjadi persoalan yang sulit bagi istri (sebagai korban) manakala harus melaporkan suaminya sendiri sekaligus pelaku kekerasan, hingga akhirnya tidak memilih upaya hukum sebagai jalur penanganan kasus. Selain itu, jika melihat realitanya, baik berdasarkan pandangan masyarakat, kepolisian, kejaksaan, peradilan, bisa ditarik asumsi bahwa KDRT, masih dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak perlu campur tangan pihak luar untuk menyelesaikannya.[12] Selain itu alasan lain yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suamii melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.[13]/
KDRT tidak dapat dicegah dan dihentikan oleh lembaga formal pemerintah saja tetapi terdapat pula upaya pemenuhan hak perempuan korban KDRT dalam mendapatkan pelayanan hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga non-formal lainya, salah satunya yaitu LBH Jakarta. Walaupun tidak mengkhususkan diri dalam membahas mengenai kasus KDRT, tetapi isu kasus keluarga salah satunya KDRT masuk ke dalam jenis kasus aduan yang diterima dan dilayani oleh LBH Jakarta. Perempuan korban KDRT terkait dengan layanan LBH berhak untuk mendapatkan pelayanan hukum, konsultasi hukum, pendampingan, dan pembelaan baik di luar atau di dalam pengadilan, terutama bagi perempuan yang mengalami ketidakadilan dan lemah secara politik serta ekonomi. Selama menjalankan fungsinya, LBH Jakarta dan lembaga non-formal lainnya mencatat bahwa pengetahuan tentang hukum dan hak-hak perempuan dalam keluarga oleh mitra atau kliennya masih sedikit.
Selanjutnya, yang menjadi prosedur umum bagi lembaga dalam hal ini LBH dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban, dimulai dengan lembaga menanyakan data atau identitas diri korban, biasanya diisikan pada formulir khusus yang harus diisi, kemudian menanyakan mengenai tujuan korban mendatangi lembaga, apakah untuk mendapatkan layanan konsultasi atau pendampingan. Selanjutnya lembaga mencari tahu persoalan atau masalah yang dihadapi korban terkait dengan posisi kasus, bagaimana hubungan korban dengan pelaku, dan orang-orang yang berada disekitar korban dan pelaku. Lembaga dalam hal ini terlebih dahulu untuk mengetahui mengenai kondisi psikis dan status sosial dari korban. Kemudian lembaga memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai hak-hak dasar yang dimiliki korban, selain itu lembaga juga memberitahukan mengenai beberapa pilihan dan konsekuensi dari setiap piliha yang dilakukan korban untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang dialaminya. Artinya, dalam hal ini lembaga memberitahukan pilihan atau cara apa saja yang dapat ditempuh korban, litigasi atau non-litigasi, tetapi keputusan tetap berada di tangan korban. Selanjutnya korban menentukan pilihan penyelesaian kasus, jika korban memilih penyelesaian kasus secara kekeluargaan, maka lembaga selanjutnya akan menanyakan waktu dan tempat pelaksanaan, siapa saja yang terlibat, dan pilihan apa saja yang dilakukan jika upaya tidak berhasil, jika korban memilih penyelesaian kasus melalui mediasi, lembaga akan menanyakan siapa yang menjadi mediator atau mengusulkan lembaga sebagai mediator, dan apakah korban memerlukan pendampingan, dan jika korban memilih upaya hukum, maka lembaga akan mengajukan beberapa perjanjian mengenai pendampingan dan membuat surat kuasa hukum korban kepada keluarga. Selain itu, lembaga juga akan menanyakan apakah korban memerlukan rumah aman atau shelter atau lembaga menyarankan agar korban demi keamanan, keselamatan, dan kesehatannya ditempatkan disana, namun keputusan tetap berada di tangan korban.[14]
Undang-Undang PKDRT juga membedakan fungsi perlindungan dan pelayanan. Artinya, hanya institusi dan lembaga tertentu saja, dalam hal ini penegak hukum, yang dapat memberikan perlindungan terutama melalukan tindakan hukum sebagai pemberian sanksi kepada pelaku kekerasan. Adapun lembaga atau institusi non-penegak hukum dapat memberikan perlindungan yang sebenarnya lebih bersifat pada pemberian layanan seperti, pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan, dan rehabilitasi. Masing-masing institusi dan lembaga akan memberikan perlindungan dan pelayanan berdasarkan tugas dan fungsinya masing-masing, seperti perlindungan oleh lembaga oleh kepolisian yang biasanya bekerjasama dengan tenaga kesehatan sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Sesuai dengan wewenang dan tugasnya, kepolisian juga dapat melakukan penyidikan, penangkapan, dan penahan dengan atau tanpa surat perintah. Sedangkan untuk fungsi pelayanan dari kepolisian yaitu terkait dengan ruang pelayanan khusus (perempuan dan anak) yang dapat dijangkau korban. Selain itu advokat dapat memberikan perlindungan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi, dan negosiasi diantara pihak termasuk keluarga kedua belah pihak (suami-istri). Advokat dalam hal ini juga berperan dalam mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, pekerja sosial, maupun relawan pendamping lainnya. Relawan pendamping  memberikan pelayanan untuk membantu korban memahami mengenai hak-hak korban, membantu korban dalam memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dan pengadilan, serta memberikan dorongan secara psikologis dan fisik kepada korban, dan masih terdapat lembaga dan institusi lainnya. Namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa bentuk perlindungan dan pelayanan tersebut masih bersifat normatif. Hal ini terkait dengan adanya berbagai kekurangan-kekurangan yang bersifat implementatif dan operasional, seperti tidak adanya standar khusus mengenai pelayanan terhadap korban KDRT, masih kurangnya koordinasi antara kementerian terkait tugas dan fungsinya, aparat penegak hukum yang belum berjalan dengan efektif, akses keadilan dan bantuan hukum pada perempuan miskin masih relatif kecil, serta dalam Undang-Undang belum jelas lembaga mana saja yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi pemulihan pada korban, dan seterusnya.
Mayoritas perempuan korban kekerasan takut untuk menjalani dan melanjutkan proses pengadilan karena ketakutan akan bertemu kembali dengan pelaku di dalam ruang persidangan. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya sistem peradilan di Indonesia dimana mengharuskan korban mendatangi ruang peradilan dan bertemu dengan pelaku. Padahal seharusnya korban dalam hal ini perempuan yang terlibat dalam kasus korban kekerasan dalam rumah tangga seharusnya dijauhkan dari pelaku sebagai salah satu upaya memberikan terapi bagi perempuan agar bisa mendapatkan pemulihan secara psikologis pasca kekerasan yang dialami. Selain itu, faktor keluarga ternyata juga mempengaruhi penanganan kasus perempuan korban kekerasan, dimana mayoritas pihak keluarga dari pelaku atau korban menolak melanjutkan proses peradilan sehingga akhirnya perempuan korban kekerasan mau tidak mau menuruti keinginan keluarganya. Tidak sedikit dari kasus perempuan korban kekerasan dalam keluarga pada akhirnya lebih memilih mundur dan tidak melanjutkan proses peradilan. Selain faktor dalam keluarga korban dan dalam diri korban yang menjadi hambatan bagi keadilan perempuan korban kekerasan dalam sistem peradilan, faktor lain yang mempengaruhi sedikitnya pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang ditangkap dan menjalani sanksi adalah fakta bahwa perempuan korban kekerasan mayoritas mendapatkan perlakuan yang kurang baik ketika melakukan proses pelaporan maupun ketika menjalani proses peradilan. Seperti contoh, banyak perempuan korban kekerasan takut melakukan pelaporan terhadap kasusnya karena takut akan ditanyai dengan pertanyaan seputar apa yang dialami, di dalam kepolisian dan selama menjalani proses peradilan yang tentunya akan membuka luka lama mereka dan secara tidak langsung juga menggangu psikologis mereka dan akhirnya berimbas kepada proses pemulihan korban yang terhambat. Karena faktanya di lapangan menurut LBH dan data yang diperoleh bahwa mayoritas perempuan korban kekerasan terus menerus menghadapi pertanyaan yang sama ketika menjalani proses peradilan baik itu ketika penyusunan BAP, pasca pelaporan kasus korban, kemudian ketika ditanya jaksa maupun ketika menjadi saksi ketika memasuki pengadilan oleh hakim. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Indonesia tidak memberikan aspirasi khusus terhadap bias gender yang tentunya sangat disayangkan apalagi jika dikaitkan dengan upaya untuk memaksimalkan perlindungan dan pemulihan korban dalam hal ini perempuan korban kekerasan.
 Di tahun 2006, laporan dari PBB menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dikriminalisasikan di 104 negara, dengan 32 negara menyatakan bahwa marital rape adalah sebuah pelanggaran hukum yang spesifik dan 74 sisanya memasukkan isu tersebut ke dalam kasus pemerkosaan secara umum. Dari negara-negara yang belum menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai pelanggaran hukum, 53 di antaranya menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukanlah pelanggaran hukum yang harus dituntut dan 4 negara mengkriminalisasikan kekerasan dalam rumah tangga hanya ketika pasangan dinyatakan bercerai dalam hukum.[15] Terdapat berbagai argumen untuk mendekriminalisasikan kekerasan dalam rumah tangga, layaknya klaim terhadap privasi yang dimiliki oleh ikatan pernikahan seorang suami dan istri. Intervensi secara legal dari badan hukum dianggap tidak pantas, karena ikatan pernikahan dianggap memiliki sebuah bentuk intimasi.[16] Hal itu tidak menjadi justifikasi yang benar untuk dapat mendukung dekriminalisasinya kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena ikatan pernikahan layak untuk diintervensi oleh pihak yang berwajib jika salah satu pihak mengalami penderitaan. Namun argumen utama yang mendukung adanya dekriminalisasi adalah pandangan yang menyatakan bahwa pemerkosaan di dalam pernikahan itu merupakan hal yang mustahil. Masyarakat telah mengkonstruksikan suatu pandangan bahwa sudah kewajiban istri untuk memenuhi kebutuhan suami dan mematuhi keinginan suami, oleh karena itu tidak mungkin suami memerkosa istrinya.
Walaupun begitu, kekerasan dalam rumah tangga bukanlah isu yang dapat ditoleransi. Secara normatif, disebutkan di dalam UU PKDRT, pasal 5, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahnya dengan (Salah satunya) kekerasan seksual, dijabarkan lebih lanjut di dalam pasal 8 yakni, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi, (salah satunya) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kasus diatas menyatakan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia telah mengakui korban pemerkosaan ingga kekerasan dan mengkriminalisasikan pelaku dibawah UU Kekerasan di dalam Rumah Tangga. Seperti pada kasus, Hari Ade Purwanto yang merupakan tersangka daripemaksaan hubungan seksual terhadap istrinya. Namun muncul permasalahan yang terletak pada pemahaman masyarakat terhadap kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri. Kasus perkosaan dalam pernikahan yang terjadi di Indonesia jarang dilaporkan kepada lembaga penegak hukum. Hal itu disebabkan oleh minimnya pemahaman perempuan terhadap perkosaan dalam pernikahan. Banyak perempuan dalam kondisi ini tidak memahami jika mereka sudah menjadi korban pemerkosaan dalam rumah tangga. Data dari laman resmi Komnas Perempuan juga menyebutkan, pemahaman yang berkembang dalam hubungan rumah tangga selama ini adalah hubungan seksual yang merupakan kewajiban seorang istri. Maka dari itu, istri tidak bisa menolak ketika suami meminta untuk berhubungan seksual dalam keadaan dan cara apapun. Pemahaman tersebut juga dinilai diakibatkan oleh budaya dan interpretasi agama yang menempatkan perempuan hanya dalam fungsi reproduksinya[17]. Feminis radikal melihat seks atau gender dalam sistem patriarkhi sebagai akar dari bentuk opresi terhadap perempuan. Dalam struktur masyarakat patriarkhi, tubuh perempuan dianggap objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki[18]. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan produk dari sistem patriarkhi, dimana laki-laki yang memiki kekuasaan dalam rumah tangga berperan sebagai subjek seksual dan perempuan sebagai objek seksual. Peran reproduksi dan seksual perempuan dalam sistem patriarkhi menyebabkan berbagai jenis opresi terhadap dirinya. Kasus yang dipaparkan sebelumnya membuktikan bahwa sebuah bentuk opresi seksual, layaknya kekerasan dalam rumah tangga akan menimbulkan berbagai opresi lainnya yang dapat terjadi terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga.
Tokoh feminis, Angela Davis mendefiniskan perkosaan bukan sebagai bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dimiliki oleh laki-laki, namun bahwa hal tersebut dilakukan oleh karena temperamen laki-laki yang senantiasa ingin dapat mengontrol perempuan.[19] Berangkat dari data-data LBH dan data-data sekunder diatas maka perlu diterapkan sebuah sistem peradilan yang baik guna memberikan pelayanan yang baik terhadap perempuan korban kekerasan terutama korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini untuk mendukung perempuan dan memberikan perlindungan terkait dengan viktimisasi yang ia terima dan apa yang harus dilakukan oleh perempuan korban kekerasan agar mendapatkan keadilan dalam sistem peradilan dan agar mereka mau melaporkan pelaporan dan proses peradilan hingga akhir sehingga para pelaku tindak kekerasan bisa dikurangi. Selain hal tersebut perlu adanya perlindungan khusus terhadap korban yang bias gender artinya perlu untuk memberikan hal-hal khusus terkait dengan perempuan sebagai korban kejahatan.



BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Penanganan kasus korban viktimisasi lembaga peradilan masih terkesan kurang memihak terhadap korban terlebih dalam kaitannya dengan pendampingan korban perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mayoritas kasus pelanggaran dan kekerasan yang menimpa perempuan sebagai korban kekerasan berakhir dengan kata damai dan jarang ada yang berlanjut ke pengadilan. Faktor penghambat kasus pelaporan KDRT pun beragam. Mulai dari Keluarga yang tidak ingin memperpanjang perkara sampai proses pelaporan di kepolisian yag kurang memperhatikan kondisi kejiwaan korban. Negara pun terlibat dengan tidak mengkontruksi aturan yang baik bagi kepentingan korban dan mempermudah proses hukum yang berjalan bagi korban KDRT.
            Pada akhirnya kelompok kami menyimpulkan bahwa setiap elemen dalam sistem peradilan maupun masyarakat dan pemerintah haruslah berperan maksimal dalam penangangan korban KDRT. Hal tersebut kami simpulkan dari beratnya pekerjaan LBH dalam menyelesaikan kasus KDRT dengan banyak alasan dan atau faktor yang sudah kami sebutkan sebelumnya. Kepentingan korban dan semua hal yang berkaitan dengan korban baik dalam proses hukum maupun dalam proses rahabilitasinya haruslah sangat diperhatikan oleh setiap elemen yang terkait dalam penyelesaian kasus KDRT. Dengan demikian kasus-kasus KDRT akan terrestorasi dengan baik dan menjadi pelajaran bagi masyarakat dalam penyelesaian kasus yang ramah bagi korba KDRT.



Daftar Pustaka

American Psychological Association Council of Representatives: The Guidelines for Psychological Practice with Lesbian, Gay, and Bisexual Clients, February 18th -20th, 2011. Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
American Psychological Association Council of Representatives: The Guidelines for Psychological Practice with Lesbian, Gay, and Bisexual Clients, February 18th -20th, 2011. Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
Anonimus. 2015. Bagaimana Kasus Perkosaan Terjadi Dalam Pernikahan. Diakses pada 19 Maret 2016, melalui http://geotimes.co.id/bagaimana-kasus-perkosaan-terjadi-dalam-pernikahan/.
Collier, Rohan. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Mayoritas dan Minoritas. Cet 1. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Elain,  Jill Hasday, 2000. Contest and Consent: A Legal History of Marital Rape. California Law Review Vol 88 No.5. Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/3481263.
General Secretary of United Nations. 2006. Ending Violence Against Women: From Words to Action. United Nations Publication.
Hasbiianto, Elli N. 1999. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan Yang Tersembunyi. Dalam Syafik Hasyim: Menakar Harga Perempuan Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Legal Services of New Jersey, 2016, Domestic Violence : “A Guide to the Legal Rights of Domestic Violence Victims In New Jersey” Legal Services of New Jersey
Muhammad Ishar Helmi, Juli 2014, “Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP)” Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKANSI)
Rebecca E. Shiemke,September 2011 Domestic Violence Legal Remedies in Other States”, Michigan Bar Journal
Renzetti, C., & Curran, D. J. 1999. Women, men and society. Boston: Allyn & Bacon.
Suparno, Indiyati. 2002. Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran Situasi Kekerasan terhadap Isteri. Solo: Solidaritas Perempuan untuk kemanusiaan dan HAM (SPEK-HAM) & Civil Society Support and Strengthening Program (CCSP)
Veronica, Noni Liliana, 2010. Bantuan Hukum LBH APIK dalam Penanganan Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas Indonesia.
Vold, George B. 2002. Theoretical Criminology. Oxford University Press




[1] Collier, Rohan. 1998. Pelecehan Seksual: Hubungan Mayoritas dan Minoritas. hlm 11
[2] Sommer R dalam Muhammad 1998, hlm 94
[3] Hasbianto. 1995. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi. Hlm 18
[4] Suparno 2002. Persepsi Pengetahuan Perempuan dan Gambaran Situasi Kekerasan terhadap Istri.hlm 16
[5] American Psychological Association Council of Representatives: The Guidelines for Psychological Practice with Lesbian, Gay, and Bisexual Clients, February 18th -20th, 2011. Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
[6] American Psychological Association Council of Representatives: The Guidelines for Psychological Practice with Lesbian, Gay, and Bisexual Clients, February 18th -20th, 2011. Diakses dari https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/sexuality-definitions.pdf).
[7]  Renzetti, C., & Curran, D. J. (1999). Women, men and society. Boston: Allyn & Bacon.
[8] Rebecca E. Shiemke,September 2011 “Domestic Violence Legal Remedies in Other States”, Michigan Bar Journal
[9] Muhammad Ishar Helmi, Juli 2014, “Implementasi Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP)” Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKANSI)
[10] Legal Services of New Jersey, 2016, Domestic Violence : “A Guide to the Legal Rights of Domestic Violence Victims In New Jersey” Legal Services of New Jersey
[11] Scott, London, dan Myers, 2002, dalam Noni Veronica Liliana, Bantuan Hukum LBH APIK dalam Penanganan Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas Indonesia, 2010, hlm,22.
[12] Katjasungkana, Nursyahbani, dan Mumtahanan, Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, dalam Ibid hlm, 37.
[13] Noni Veronica Liliana, Bantuan Hukum LBH APIK dalam Penanganan Perempuan Korban KDRT, skripsi, Universitas Indonesia, 2010, hlm, 23.
[14] Ibid, hlm,48-49.
[15] General Secretary of United Nations. Ending Violence Against Women: From Words to Action, United Nations Publication, 2006, Hlm, 113.
[16] Jill Elain Hasday, Contest and Consent: A Legal History of Marital Rape. California Law Review Vol 88 No.5. 2000, Diakses melalui http://www.jstor.org/stable/3481263                            
[17]Anonimus.. Bagaimana Kasus Perkosaan Terjadi Dalam Pernikahan. 2015, Diakses pada 19 Maret 2016, melalui http://geotimes.co.id/bagaimana-kasus-perkosaan-terjadi-dalam-pernikahan/.
[18]Ibid.
[19] George B. Vold, Theoretical Criminology. Oxford University Press, 2002.

Komentar

Postingan Populer