Perdagangan Anak
Perdagangan anak
United Nations Global Initiative to
Fight Human Trafficking yang mendaftar sebab-sebab umum
terjadinya trafficking (dalam Subono, Iman: 2010:31) diantaranya : 1)
kekerasan berbasis gender, 2) praktek-praktek ketegakerjaan yang diskriminatif,
3) struktur sosial yang patriarkal, 4) memudarnya jaringan ikatan keluarga, 4)
menikah dini, 5) tingginya laju perceraian, 6) terbatasnya pendidikan, 7)
terbatasnya kesempatan ekonomi, 8) pemerintah yang korup dan gagal, 9) marginalisasi
etnik, ras dan agama. Dilatarbelakangi kondisi tersebut, Subono, Iman :
2020:31) juga menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah penyebab
utama di balik terjadinya trafficking. Orang-orang miskin seringkali tidak
punya banyak pilihan dalam hidupnya, dan karenanya mereka seolah-olah dipaksa
untuk meninggalkan kampung halaman atau komunitasnya dalam rangka untuk
bertahan hidup, atau untuk mencari kesempatan yang lebih baik secara ekonomi di
tempat lain. Salah satu sumber yang dapat dipakai untuk mendefinisikan
perdagangan anak adalah Protokol Opsional terhadap Konvensi Hak Anak, yang
telah ditandatangani pemerintah Indonesia pada tanggal 23 September 2001. Dalam
pasal 2 (a) Protokol Opsional ini, yang dimaksud dengan perdagangan anak atau
penjualan anak adalah segala tindakan atau transaksi dimana seseorang anak
ditransfer oleh segala orang atau kelompok orang ke orang lain untuk mendapat
imbalan atau pertimbangan lainnya.
Undang-Undang
RI nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
mendefinisikan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Sedangkan untuk
perdagangan anak, terdapat tambahan dalam pasal 1 (4), bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Strategi
Melawan Perdagangan Anak
Kondisi anak-anak yang dilacurkan seringkali tidak
pernah menjadi topik yang menarik bagi pengambil kebijakan. Kemiskinan
seringkali dijadikan “kambing hitam” dalam konteks ini, yang terkadang program
yang digulirkan oleh Pemangku kenijakan tetap belum berpihak kepada anak-anak.
Untuk itu membicarakan strategi memang bukanlah hal yang mudah, apalagi
strategi untuk melawan praktik perdagangan anak perempuan yang dilacurkan.
Dalam konteks perdagangan anak perempuan untuk tujuan seksual ini, aktor atau
pelaku trafficking mempunyai cara serta strategi yang tersembunyi,
sehingga sulit utuk dikenali. Belum lagi, melihat sejarah pelacuran di dunia ini,
yang menunjukkan keberadaan pelacuran sudah sedemikian panjang sejarahnya.
Hampir setiap peradaban umat manusia tidak pernah sepi dari pelacuran. Melihat
kenyataan, bahwa persoalan pelacuran anak ini cukup pelik serta merupakan
sebuah proses pengkondisian serta pembiasaan yang sudah berlangsung sangat lama,
serta terjadi secara terus menerus. Perkembangan modernitas, yang diaktulisasikan
melalui gaya hidup serta pola konsumsi, menjerat anak-anak terlibat dalam
buaian materi yang dibangun di atas kepentingan seksualitas semata. Hal ini
terus menerus terjadi, serta direproduksi melalui jaringannya baik secara
vertikal, maupun horisontal dalam konteks sosial budaya masyarakat. Ada
beberapa hal yang penting dalam membangun sebuah strategi untuk melawan
pelacuran anak, yang bisa dibagi dalam upaya preventif (pencegahan),
perlindungan, rehabilitatif (pemulihan) maupun integratif.
Upaya
Preventif (Pencegahan)
Sebagai sebuah upaya pencegahan, perlu dilakukan
tindakan untuk mencegah terjadinya praktek perdagangan anak yang dilacurkan.
Melalui tindakan pencegahan, diharapkan tidak akan banyak korban anak-anak yang
terlibat aktivitas eksploitasi seksual. Hal ini penting untuk dilakukan melalui
peningkatan kesadaran tentang hak-hak anak, bahaya eksploitasi seksual maupun
trik yang digunakan pelaku perdagangan anak. Kegiatan ini dilakukan bagi
seluruh elemen masyarakat, khususnya di daerah yang diindikasikan rawan
perdagangan anak, maupun area-area yang rawan terjadinya tindakan perdagangan
anak yang dilacurkan ini. Hal ini bertujuan untuk memperkuat dan memobilisasi
komunitas lokal untuk memonitar dan melindungi anak-anak serta merangsang
terwujudnya komunitas yang peduli anak, khususnya issue-issue perlindungan
anak. Beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya
perdagangan anak yang dilacurkan ini, yaitu 1) pencegahan melalui institusi
pendidikan, khususnya melalui integrasi ke dalam kurikulum sekolah mengenai hak
anak, pendidikan seks, dan eksploitasi seks serta wacana modernitas. Seperti
yang kini dilakukan oleh seorang Guru di salah satu SMPN di salah satu desa di
Kabupaten Sukabumi. Kasus yang menimpa anak didiknya Nani, yang dijual ke
Medan, mendorong dirinya untuk melakukan pendidikan dini mengenai trafficking
dan modusnya. Kini pengetahuan mengenai trafficking, selalu dia berikan di
sela-sela pelajaran yang diberikan pada muridnya-muridnya.
Berharap, cukup satu Nani yang menjadi korban. Dia
telah berhasil memulangkan satu Nani, dan sekarang dia memiliki banyak Nani
yang masih harus dijaga; 2) peningkatan kesadaran mengenai sindikat perdagangan
anak yang dilacurkan, modusnya maupun pola rekruitment yang dilakukan melalui
media massa; 3) mobilisasi komunitas untuk mengembangkan sistem monitoring atas
upaya perlindungan anak, untuk mendorong masyarakat yang tanggap terhadap pola-pola
perdagangan anak yang dilacurkan ; 4) upaya untuk pemberdayaan ekonomi
produktif bagi keluarga miskin, yang diharapkan mampu menekan terjadinya
tindakan ”pembiaran” terhadap anak-anak untuk terlibat pekerjaan yang beresiko,
termasuk keterlibatan anak-anak komersialisasi seks melalui perdagangan anak
yang dilacurkan.
B.
Upaya Perlindungan
Langkah ini bertujuan untuk memberikan perlindungan
terhadap anak-anak korban perdagangan untuk tujuan seksual. Upaya perlindungan
ini, dilakukan melalui penguatan jaringan hukum atau implementasi hukum tersebut,
termasuk penguatan basis komunitas untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap
anak-anak dari ancaman perdagangan anak yang dilacurkan. Strategi yang
digunakan diantaranya, 1) peninjauan berbagai aturan perlindungan anak, serta
mengawal implementasi atas aturan dan kebijakan yang ada, 2)penguatan jaringan
komunitas yang peduli anak, melalui berbagai pelatihan untuk membangun kepekaan
terhadap issue-issue anak yang berada dalam situasi khusus, termasuk anak yang
dilacurkan, 3) mendorong terbentuknya dan peran aktif dari unit perlindungan
khusus, seperti yang sekarang sudah ada di kepolisian melalui RPK Anak dan
Perempuan (Ruang Pelayanan Khusus).
Upaya
Rehabilitatif (pemulihan)
Upaya rehabilitatif ini sangat penting dalam
penyelamatan anak-anak pasca mereka keluar dari dunia pelacuran ataupun yang
pernah menjadi korban perdagangan anak yang dilacurkan. Meskipun demikian, bagi
anak-anak yang sudah terjebak dalam dunia pelacuran, pada kenyataannya
mengalami kesulitan untuk bisa keluar dari lokalisasi. Jebakan gaya hidup,
konsumerisme, hutang dan keberadaan kiwirnya seringkali menyulitkan anak-anak
keluar dari lokalisasi. Belum lagi kekhawatiran mereka kalau mereka kembali
pada keluarga atau daerah asalnya. Perasaan bersalah, sudah tidak perawan,
maupun resiko atas penyakit yang dideritanya seperti beberapa kisah Putik, Irma
maupun Ami yang terinfeksi virus HIV seringkali membuat mereka merasa putus
asa, dan mendorong mereka untuk bertahan di lokalisasi. Untuk itu perlu
diupayakan beberapa langkah yang bisa membantu anak-anak korban keluar dari
krisis yang mereka hadapi termasuk pesona jebakan dunia lokalisasi yang
mendatangkan banyak uang bagi mereka. 1) melalui pemberdayaan hak anak-anak yang
dilacurkan. Wacana atas penyadaran hak bagi mereka, diharapkan mampu mendorong
pola tindakan yang tidak mengkuti habitus yang sudah mengakar, dalam lingkungan
lokalisasi. Proses penyadaran, diharapkan mampu memberikan dukungan bagi sesama
anak-anak dan perempuan yang melacurkan diri, untuk mendorong mereka keluar
dari dunia pelacuran; 2) pembentukan rumah aman (crisis center), yang diharapkan
mampu menjadi ruang antara bagi anak-anak untuk mempersiapkan diri keluar dari
lokalisasi dan kembali ke keluarga serta komunitasnya; 3) pendidikan non formal
maupun pelatihan keahlian juga sangat penting bagi anak-anak untuk bisa mendapatkan
alternatif pilihan pekerjaan lain ; 4) dan yang paling penting adalah layanan
dukungan bagi mereka untuk keluar dari lokalisasi, uang yang berlimpah yang mereka
dapatkan harus mampu tergantikan dengan kepercayaan akan keselamatan mereka
dari resiko dan bahaya penularan penyakit Infeksi Menular Seksual termasuk HIV.
D.
Upaya Integratif
Melalui upaya integratif ini diharapkan bisa
mewujudkan kelangsungan hidup yang lebih baik bagi anak-anak, yang diharapkan
melibatkan keluarga. Proses reintegrasi sangat penting, dimana penerimaan anak
dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan pendidikan menjadi kunci penting
dalam tahapan ini. Tujuan dalam proses reintegrasi ini adalah untuk
memfasilitasi anak-anak korban perdagangan untuk tujuan seksual ini bisa kembali
kepada keluarga dan komunitasnya. Beberapa upaya untuk merealisasikan hal ini diantaranya,
1) upaya pertemuan anak dan keluarga, meskipun untuk kasus ini hanya bisa
terjadi bagi anak-anak yang
memang
sadar dirinya menjadi korban, hal ini akan berbeda tingkat kesulitannya terhadap
anak-anak yang akhirnya menemukan habitus barunya di dunia pelacuran; 2) untuk
mendukung pemenuhan hak dasarnya, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar
juga merupakan bagian terpenting bagi anak-anak yang dilacurkan bisa keluar
dari dunia pelacuran. Seperti yang diharapkan oleh Putik, gadis 17 tahun ini
hanya sempat menamatkan pendidikannya sampai SMP, dia berharap bisa melanjutkan
ke jenjang lebih atas, bahkan bisa kuliah untuk mendapatkan pekerjaan lain yang
lebih baik. Pengakuan Yani, maupun Nina yang lulusan SD juga mengharapkan bisa
mengikuti Kejar Paket B dan C, untuk selanjutnya bisa mendapatkan pekerjaan
lain yang lebih baik tentunya; 3) bantuan penempatan kerja alternatif, hal ini
merupakan kelanjutan dari pilihan keahlian yang diberikan bagi anak-anak yang
dilacurkan. Karena seringkali pemberian keahlian atau keterampilan diberikan,
namun tidak diikuti dengan
pertemuannya
dengan pasar kerjanya.
Sumber:
Farida, Yanuar. 2012. Perdagangan Anak Perempuan yang Dilacurkan (Potret suram kemiskinan
versus perlindungan anak). Dalam Child proverty and social protection
Conference. Jakarta: ILO
Rosenberg, Ruth, 2003, Perdagangan
Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta, USAID bekerjasama dengan ICMC dan
ACILS
Komentar