plea bargaining
Plea
Bargaining dalam
Kasus Jual Beli Soal Ujian Nasional
Bargaining
Justice
Salah
satu penyebab buruknya reputasi dalam penegakan hukum adalah kinerja aparat
hukum yang kurang baik, dilihat dari segi etika atau moral, maupun segi
integritas dalam kerja. Akibatnya asas peradilan yang cepat, sederhana, dan
biaya ringan tidak tercapai sehingga terjadilah penumpukan perkara di semua
tingkat peradilan. Akibat lainnya , putusan yang diambil baik oleh kepolisian,
kejaksaan maupun pengadilan terkadang hanya memberikan keadilan brokratis yang
menerapkan undang-undang saja, bukan keadilan substansial.[1]
Pada prinsipnya semua perkara pidana yang telah masuk ke kepolisian harus
dilakukan pemeriksaan yang hasilnya berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP). BAP
itu kemudian diserahkan kepada kejaksaan sebagai bahan untuk menyusun dakwaan.
Dakwaan yang telah disusun jaksa kemudian dijadikan bahan untuk persidangan di
muka pengadilan. Di Indonesia penyelesaian perkara melalui jalur non litigasi
menurut Undang-undang No.8 Tahun 1981 tidak dikenal, kecuali dari perkara lalu
lintas, akan tetapi realitas di masyarakat menunjukkan bahwa sering dijumpai
perkara pidana dapat diselesaikan melalui kompromi atau kesepakatan antara
tersangka dan korban atau keluarganya dengan melibatkan polisi atau advokat
atau perangkat desa bahkan pemuka masyarakat sebagai mediator.[2]
Proses
non litigasi ini mirip dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat yaitu Plea bargaining, namun jika Plea bargaining masuk dalam ranah
litigasi. Apabila kita melihat di Amerika dengan adanya “plea bargaining system” dalam penyelesaian suatu perkara pidana
yaitu adanya negosiasi antara penuntut umum dengan terdakwa, yang pada
prinsipnya negosiasi tersebut harus berlandaskan pada kesukarelaan tertuduh
untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman
hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya. Motivasi negosiasi tersebut
yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana.[3] Plea bargaining hanya mempermudah
penyelesaian perkara pidana melalui jalur litigasi dan tak menghapuskan atau
menghentikan proses peradilan pidana. Sedangkan penyelesaian perkara pidana
melalui jalur non litigasi dapat menghapuskan ataupun menghentikan proses
peradilan pidana sampai tingkat kepolisian. Jadi proses peradilan pidana itu
tidak dilanjutkan setelah tercapai kesepakatan antara pelaku kejahatan dan
korban mengenai bentuk ganti rugi yang akan diberikan.[4]
Plea
bargaining
dalam kasus Jual Beli soal Ujian Nasional (UN)
Ujian
nasional merupakan suatu kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh Kementerian
Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan dalam mengevaluasi hasil belajar
pelajar seluruh Indonesia. Semua sekolah wajib menjalani UN baik negeri maupun
swasta tanpa terkecuali bila mengikuti aturan pendidikan nasional. Tentu
sebelum UN berlangsung pelajar Indonesia akan mempersiapkan diri dengan belajar
serius. Namun ada juga yang curang dengan cara instan melalui bocoran soal UN.
Tentu cara tersebut terbilang curang. Dalam bocornya soal UN SMA terdapat oknum
yang sengaja melakukan hal tersebut, dimana tiap orang memiliki motif
tersendiri melakukan hal tersebut. Berita dari Tempo.com menyebutkan kasus
terbaru yaitu bocornya soal ujian UN jurusan IPA dalam bentuk PDF yang tersebar
di internet melalui Google Drive. Terkait dengan kebocoran ini polisi melakukan
penggeledahan di Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PPNRI). Sehingga
pihak PPNRI di bawa ke polisis sebagai saksi.[5]
Tak hanya itu bentuk kecurangan selama pelaksanaan ujian nasional untuk sekolah
menengah atas dan sederajat seperti jual beli kunci jawaban dengan cara
patungan dengan murid yang lain, ada
pula siswa mencontek menggunakan handphone dan sobekan kecil. Modus yang lain
yaitu melibatkan tim sukses di sekolah maupun Dinas Pendidikan setempat, yaitu
para siswa hanya perlu menyebutkan nama, nomor ujia, dan nama sekolah kepadaa
oknum. Kemudian petugas pemindai yang akan mengubah jawaban sesuai permintaan
dan besarnya bayaran.[6]
Menurut Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Rumadi Ahmad dalam keterangan
tertulisnya, Kamis (16/4/2015). "Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang
Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) juga mengatur ketentuan pidana bagi siapa
saja yang membocorkan informasi yang dikecualikan atau rahasia negara dengan
ancaman maksimal 2 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 20 juta,”[7]
Bentuk
kecurangan yang dilakukan seperti penjualan kunci jawaban tersebut menjadi
suatu kasus yang dalam prosesnya memungkinkan untuk dilakukannya plea bargaining. Romli Atmasasmita
menyimpulkan beberapa hal mengenai plea bargaing. Pertama, plea bargaining ini pada hakekeatnya merupakan negosiasi antara
pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya. Kedua, motivasi negosiasi
utamanya ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana. Ketiga,
sifat negosiasi harus dilandaskan pada kesukarelaan tertuduh untuk mengakui
kesalahannya dan kesediann penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang
dikehendaki tertuduh atau pembelanya. Keempat, keikutsertaan hakim sebagai
wasit yang tidak memihak dalam negosiasi dimaksud tidak diperkenankan.[8]
Plea bargaining
terjadi pada pentahapan arraignment
dan preliminary hearing. Apabila
seorang tertuduh menyatakan dirinya bersalah atas kejahatan yang dilakukan,
proses selanjutnya adalah penjatuhan hukuman tanpa metode “trial”. Periode arraignment
on information or indictment ini merupakan suatu proses singkat guna
mencapai dua tujuan, yaitu memberitahukan kepada tertuduh perihal tuduhan yang
dijatuhkan padanya, dan memberikan kesempatan pada tertuduh untuk menjawab
tuduhan tersebut dengan menyatakan not
guilty atau guilty atau nolo contendere (no-contest). Pada
langkah di atas, pengadilan akan membacakan tuduhan yang diajukan kepada
tertuduh dan kemudian diajukan pertanyaan kepada tertuduh dan bagaimana jawaban
tertuduh atas tuduhan tersebut. Jika tertuduh menyatakan not guilty; maka perkaranya disiapkan untuk dilnajutkan dan
kemudian diadili di muka persidangan oleh juri. Apabila tertuduh menyatakan guilty atau nolo contendere maka perkaranya siap untuk diputus. Khusus
pernyataan nolo contendere (no
conttest) pada hakikatnya memiliki implikasi yang sama dengan pernyataan guilty, tetapi dalam hal ini tidak
disyaratkan bahwa tertuduh harus mengakui kesalahannya, melainkan cukup jika ia
menyatakan bahwa dia tidak menentang tuduhan jaksa di muka persidangan juri
nantinya.[9]
Di
Kejaksaan sebenarnya praktek plea
bargaining sudah terjadi walaupun tidak dituangkan secara tertulis,
misalnya pada perkara penganiyaan, perkara kelalaian yang menyebabkan luka atau
meninggal, dimana terdakwa akan ditanya mengenai penyesalannya dan bersedia
meminta maaf dan memberikan ganti rugi atau tidak, sebenarnya praktek yang
terjadi tersebut merupakan adanya kemiripan dengan plea bargaining.[10]
Dengan
mengadopsi sistem plea bargaining
seperti yang diterapkan di Amerika kasus Jual beli Soal Ujian Nasional dapat
dilaksanakan oleh penuntut umum yaitu pada saat tahap 2 dari penyidik
tersebutlah proses negosiasi antara terdakwa dan penuntut umum bisa mulai
dilakukan dan apabila terdakwa bersedia berdamai dengan korban dan bersedia
meminta maaf serta tidak akan mengulangi perbuatannya untuk menjual kunci
jawaban Ujian Nasional, sehingga sanksi pidananya dapat berkurang menjadi
pidana denda atau yang lain sebagainya. Apalagi dengan menjadikan Nilai Ujian
Nasional disyaratkan sebagai syarat kelulusan murid untuk lulus dari
sekolahnya, tak hanya itu nilai tersebut juga menjadi salah satu syarat untuk
masuk perguruan tinggi. Maka tingkat kecurangan semakin meningkat. sehingga
menurut saya, kasus jual beli ini dilakukan karena Ujian Nasional menjadi suatu
hal yang menjadi tolak ukur dalam kesuksesan murid ditingkat Sekolah Menengah
Atas atau sederajat.
Dalam
menerapkan Plea bargaining dapat
mencontoh mekanisme plea bargaining
di India yang memiliki persyaratan diantaranya[11]:
·
Plea bargaining hanya dapat digunakan dalam perkara
yang hukumannya dibawah 7 tahun.
·
Tidak dapat diaplikasikan untuk perkara
yang bisa mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi negara atau telah didakwa
melakukan pidana terhadap seorang perempuan atau seorang anak dibawah 14 tahun
·
Permohonan untuk mengajukan Plea bargain
harus secara sukarela oleh terdakwa
Kemanfaatan sistem Plea bargaining
jika diterapkan di Indonesia pada kasus-kasus tertentu seperti kasus Jual Beli
Soal Ujian Nasional akan menjadikan Plea bargaining suatu sistem dalam sistem peradila pidana yang
dapat mengurangi penumpukan perkara di persidangan, menghindari penahanan yang
dapat mengurangi kelebihan kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan (overcrowded) di
Indonesia yang semakin banyak, efisiensi penanganan perkara dari segi biaya
maupun waktu sehingga sumberdaya yang ada seperti jaksa maupun hakim dapat
menyelesaikan kasus yang lain. Kemungkinan Plea
bargaining di berlakukan di Indonesia khususnya dalam kasus tertentu
seperti Kasus Jual Beli Soal Ujian Nasional adalah mungkin dengan melibatkan
banyak pihak di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri.
Kesimpulan
Sistem
Plea bargaining dapat diterapkan di
Indonesia pada kasus-kasus tertentu dengan syarat-syarat tertentu, mengingat
sistem ini memiliki keuntungan salah satunya adalah mengurangi kelebihan
kapasitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang sudah overcrowded. Dalam
kasus jual beli soal Ujian Nasional perilaku ini hanya bersifat situasional
dimana hanya ada pada saat pelaksanaan Ujian Nasional. Kasus pelanggaran ini
sering terjadi sehingga pemerintah mungkin yang kemudian dapat mengubah sistem
kelulusan yang tidak ditentukan berdasarkan hasil nilai Ujian Nasional saja,
yang kemudian dapat mengurangi tingkat kejahatan dalam kasus ini.
Sumber:
Agus Raharjo. Artikel: Mediasi dalam Basis Penyelesaian Tindak Pidana.
Anang Zaky. 2013.Skripsi: Hak Korban dalam Penentuan Penghentian Penyidikan
atau Penuntutan Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga. Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Mohammad Kemal D dan Mohammad Irvan
Oli’i. 2015. Sosiologi Peradilan Pidana.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Romli Atmasasmita. 1996.Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme,
Banduhng: Bina Cipta
Santobello v New York, 404 US 257, dalam
artikel berjudul “Plea Bargain: A Unique Remedy, Sidhartha Mohapatra & Hailshree
Saksena,indlaw.com
Satjipto Rahardjo, 1999, Sosiologi Pembangunan Peradilan Bersih dan Berwibawa. Makalah pada
Seminar Reformasi Sistem Peradilan, FH Undip Semarang, 6 Maret
https://m.tempo.co/read/news/2015/04/16/298658119/soal-un-bocor-polisi-angkut-pegawai-percetakan-negara diakses pada 2 Juni 2016 pukul 21.33
https://m.tempo.co/read/news/2015/04/16/079658121/ini-kecurangan-ujian-nasional-2015-versi-fsgi diakses pada 2 Juni 2016 pukul 21.39
http://news.detik.com/berita/2888747/kip-pembocor-soal-un-bisa-dijerat-pidana-uu-kip diakses pada 2 Juni 21.45
[1] Satjipto
Rahardjo, 1999, Sosiologi Pembangunan Peradilan Bersih dan Berwibawa. Makalah
pada Seminar Reformasi Sistem Peradilan, FH Undip Semarang, 6 Maret, hlm 10-11
[2] Agus
Raharjo. Artikel: Mediasi dalam Basis Penyelesaian Tindak Pidana.hlm 2
[3] Anang
Zaky. 2013.Skripsi: Hak Korban dalam Penentuan Penghentian Penyidikan atau
Penuntutan Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga. hlm 176
[4] Agus
Raharjo. Artikel: Mediasi dalam Basis Penyelesaian Tindak Pidana.hlm 105
[5] https://m.tempo.co/read/news/2015/04/16/298658119/soal-un-bocor-polisi-angkut-pegawai-percetakan-negara
diakses pada 2 Juni 2016 pukul 21.33
[6] https://m.tempo.co/read/news/2015/04/16/079658121/ini-kecurangan-ujian-nasional-2015-versi-fsgi
diakses pada 2 Juni 2016 pukul 21.39
[7] http://news.detik.com/berita/2888747/kip-pembocor-soal-un-bisa-dijerat-pidana-uu-kip
diakses pada 2 Juni 21.45
[8] Romli
Atmasasmita. 1996.Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan
Abilisionisme, Banduhng: Bina Cipta hlm 113-114
[9] Ibid,
hlm 111-112
[10] Anang
Zaky. 2013.Skripsi: Hak Korban dalam Penentuan Penghentian Penyidikan atau
Penuntutan Perkara Kekerasan dalam Rumah Tangga. hlm 187
[11] Santobello v New York, 404 US 257, dalam artikel berjudul “Plea
Bargain: A Unique Remedy, Sidhartha
Mohapatra & Hailshree Saksena,indlaw.com
Komentar