tugas turlap mata kuliah perlindungan anak
Perdagangan Anak Terselubung dalam Praktik Adopsi IlegalStudi Kasus: Ibu C dan Pasangan X
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Tidak semua keluarga memiliki kesempatan untuk
memiliki anak kandung. Banyak hal yang menyebabkan hal ini. Bisa jadi karena
alasan medis, karena usia, atau karena memang belum “dipercaya” untuk memiliki
anak oleh Tuhan. Bagi keluarga yang belum dikaruniai anak, adopsi merupakan
jalan yang tepat. Banyak keluarga yang mengadopsi anak sebagai “pancingan” agar
secepat mungkin dikaruniai anak kandung. Namun ada juga yang mengadopsi anak
untuk meringankan beban orangtua kandung si anak, terlebih lagi jika orangtua
kandung anak tersebut berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Adopsi atau pengangkatan anak itu sendiri
berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) adalah suatu perbuatan hukum yang
mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat.
Peraturan mengenai tata cara dan akibat hukum dari
pengangkatan anak itu sendiri juga bersifat pluralistik di Indonesia.
Masing-masing etnis dan golongan penduduk mempunyai aturan sendiri mengenai
prosedur dan akibat hukum pengangkatan anak. Keanekaragaman ini sering
menyebabkan ketidakpastian dan masalah hukum yang tidak jarang menjadi sengketa
pengadilan. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih
belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi
masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya.
Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan
tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri.
Masalah pengangkatan anak ada dalam Intruksi
Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, oleh Kompilasi Hukum
Islam mengakui adanya hubungan hukum
antara anak angkat dan orangtua angkat berupa wasiat wajib dalam pasal 299.
Pada mulanya pengangkatan anak hanya dilakukan semata-mata untuk melanjutkan
dan mempertahankan garis keturunan atau marga dalam suatu keluarga yang tidak
mempunyai anak kandung. Di samping itu juga untuk mempertahankan ikatan
perkawinan. Sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi dalam perkembangannya
kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi telah berubah
menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalam Pasal 12 ayat 1
Undang-Undang No 4 Tahun 1979, yang berbunyi “pengangkatan anak menurut adat
dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan
anak”.
Pada dasarnya, legal atau sahnya pengangkatan anak
menurut hukum itu dilihat dari kesesuaian dengan tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adat kebiasaan setempat. Dilihat
secara UU Perlindungan Anak, hal terpenting perihal pengangkatan anak adalah
pengangkatan itu tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orangtua
kandungnya.
Di samping itu, permohonan pengangkatan anak yang
telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan
pengadilan. Pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke
instansi terkait. Namun masih ada juga penyimpangan-penyimpangan seperti misalnya
orangtua ingin menambah atau mendapatkan uang dari hasil adopsi anaknya . Ada
kalanya keluarga yang telah mempunyai anak kandung, merasa perlu lagi untuk
mengangkat anak yang bertujuan untuk menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau
karena kasihan terhadap anak yang diterlantarkan.
Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai
kedudukan yang sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan obyek
persetujuan yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat.
Tawar-menawar seperti dalam dunia perdagangan dapat selalu terjadi. Pengadaan
uang serta penyerahaan sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka yang
telah berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya sifat
bisnis pengangkatan anak. Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah
pengangkatan anak yang menjadi suatu bisnis jasa komersial. Karena hal itu
sudah bertentangan dengan azas dan tujuan pengangkatan anak.
Pengangkatan anak pada hakikatnya dapat dikatakan
salah satu penghambat usaha perlindungan anak. Oleh sebab pengangkatan anak memutuskan
hubungan antara orangtua kandung dengan anak kandung, menghambat seorang ayah
kandung melaksanakan tanggung jawabnya terhadap anak kandung dalam rangka
melindungi anak (mental, fisik,dan sosial). Pasal 40 UU perlindungan anak,
mewajibkan orangtua angkat memberitahukakan asal-usul orangtua kandung kepada
anak kelak.
Pengangkatan anak menyangkut nasib anak yang harus
dilindungi, sebab anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus
cita-cta perjuangan bangsa. Anak mempunyai peran yang strategis dalam menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu
setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhalak
mulia. Oleh sebab itu juga, pengangkatan anak harus menjadi pokok perhatian
perlindungan anak, serta pelaksanaannya harus diamankan oleh hukum perlindungan
anak demi perlakuan adil dan sejahtera bagi kehidupan anak.
Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak
menerima pengaduan 480 anak korban ESKA, jumlah ini meningkat jika dibandingkan
pada jumlah pengaduan tahun 2010 yakni 412 kasus. Peningkatan angka ini cukup
memprihatinkan. Modusnya, selain tipu muslihat, janji-janji untuk dipekerjakan,
tetapi juga berkembang modus baru yakni penculikan dengan pembiusan yang
dilakukan bagi anak-anak remaja pada saat pergi dan pulang sekolah maupun
melalui kecanggihan teknologi seperti internet dan situs-situs lainnya. Dari
pengalaman empirik Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, bahwa tujuan
penculikan dan penjualan anak-anak
berusia di bawah 1 tahun, adalah untuk tujuan adopsi ilegal baik untuk
permintaan dalam negeri dan inter-country.
Dari kasus-kasus penculikan bayi yang berhasil dibongkar oleh pihak Kepolisian
ditemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diadopsi secara ilegal, tersebut umumnya
para adopter memberikan imbalan kepada para pelaku dengan kisaran harga 5 -10 juta sebagai pengganti biaya
persalinan dan perawatan. Selain itu, ada juga data-data menunjukkan anak
diculik untuk tujuan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi bagi anak-anak
yang berusia dibawah 12 tahun. Dipekerjakan di jalanan maupun ditempat-tempat
prostitusi
1.2. Permasalahan
Penelitian
Perdagangan anak dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Salah satunya adalah adopsi anak secara ilegal. Dengan adanya adopsi anak
secara ilegal, maka dapat dikatakan bahwa anak diperlakukan sebagai obyek. Anak
seharusnya memiliki hak. Tetapi, anak tidak dipandang sebagai subyek, melainkan
obyek.
Adopsi ilegal biasanya berakhir pada eksploitasi.
Tetapi tidak dalam semua kasus berakhir sama. Ada orangtua angkat yang mengurus
anaknya layaknya anaknya sendiri. Makalah ini membahas bahwa adopsi secara
ilegal terdapat di dalamnya unsur-unsur tindakan perdagangan anak walaupun
orangtua angkat mengurus anak angkatnya dengan baik, seperti anaknya sendiri.
Kasus perdagangan anak yang ada di dalam makalah ini disebabkan oleh faktor ekonomi,
yaitu kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab utama dalam banyak kasus perdagangan
anak.
1.3.Pertanyaan
penelitian
1. Mengapa
praktik adopsi rentan dengan praktik perdagangan anak?
2. Apakah
kemiskinan menjadi sebab utama untuk melakukan perdagangan anak?
1.4. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa
praktik adopsi yang ilegal dan tidak sesuai dengan cara-cara pengadopsian
rentan menjadi salah satu praktik perdagangan anak. Karena, seharusnya adopsi
anak dilakukan secara sah atau legal. Selain itu, penelitian ini ingin
membuktikan bahwa kemiskinan merupakan sebab utama dalam perdagangan anak.
Karena banyak dari kasus perdagangan anak, kemiskinan disebutkan sebagai sebab
utama untuk melakukan perdagangan anak.
Bab 2
Kajian Pustaka
2.1. Definisi
Konseptual
·
Definisi
Anak
Menurut UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Pasal 1 angka 1 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Menurut pasal tersebut
anak adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih
di dalam kandungan yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan
perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak berada di dalam kandungan
hingga berusia 18 tahun.
Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, negara,
pemerintah, dan pemerintah daerah. Menurut UU RI No 35 Tahun 2014 menyebutkan
bahwa “Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh orangtuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.”
Dalam hal terjadi pemisah, Anak tetap berhak: bertemu langsung dan berhubungan
pribadi secara tetap dengan kedua orangtuanya, mendapatkan pengasuhan,
pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari
kedua orangtuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, memperoleh
pembiayaan hidup dari kedua orangtuanya, dan memperoleh hak anak lainnya.
·
Perdagangan
Orang
Resolusi
Majelis Umum PBB Nomor 49/166 mendefinisikan istilah “trafiking” :
“Trafficking is the illicit and clandestine movement
of persons across national and international borders, largely from developing
countries and some countries and some countries with economies in transition,
with the end goal of forcing women and girl children into sexually or
economically oppressive and exploitative situations for the profit of
recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal
activities related to trafficking, such as forced domestic Labour, false
marriages, clandestine employment and false adoption.” (Perdagangan adalah
suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang di lintas nasional dan perbatasan
internasional, sebagian besar berasal dari negara-negara yang berkembang dengan
perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak-anak
perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan
eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur, dan sindikat kejahatan,
sebagaimana kegiatan ilegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti
pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap, dan adopsi).
Global Alliance Against
Traffic in Women (GAATW) mendefinisikan istilah
perdagangan (trafficking):
“Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan
perekrutan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, atau penerimaan
seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan ancaman
kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk
menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak, untuk kerja
yang tidak diinginkan (domestik seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa
atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana
orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama
kali.
Sesuai dengan definisi tersebut di atas bahwa
istilah “perdagangan“ (trafiking) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Rekrutmen
dan /transportasi manusia;
b. Diperuntukkan
bekerja atau jasa /melayani;
c. Untuk
keuntungan pihak yang memperdagangkan.
Protokol
PBB pada Desember Tahun 2000, pengertian trafiking, yaitu untuk mencegah,
menekan, dan menghukum pelaku terhadap manusia, khususnya perempuan dan anak (Protocol to prevent, suppress, and punish
trafficking in persons especially women and children, supplementing the United
Nations Convention against transnational organized crime, December 2000).
Pemerintah Indonesia telah menandatangani protokol ini.
Kegiatan
mencari, mengirim, memindahkan, menampung, atau menerima tenaga kerja dengan
ancaman, kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, dengan cara menipu,
memperdaya (termasuk membujuk dan mengiming-iming) korban, menyalahgunakan
kekuasaan/wewenang atau memanfaatkan ketidaktahuan, keingintahuan, kepolosan,
ketidakberdayaan, dan tidak adanya perlindungan terhadap korban, atau dengan
memberikan atau menerima pembayaran atau imbalan untuk mendapatkan
izin/persetujuan dari orangtua, wali, atau orang lain yang mempunyai wewenang
atas diri korban dengan tujuan untuk mengisap atau memeras tenaga
(mengeksploitasi) korban (Irwanto dkk. 2001: 9).
Pengertian mengenai perdagangan manusia menurut
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
menyebutkan bahwa perdagangan manusia adalah:
“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara,
untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Undang-Undang
No.21 tahun 2007)
Mengemukanya persoalan perdagangan manusia di
Indonesia setidaknya sejak awal tahun 2000-an yang juga dipicu oleh
ditempatkannya Indonesia sebagai salah satu negara tersier ketiga, yang berarti
sebagai suatu negara yang memiliki persoalan besar menyangkut perdagangan
manusia tapi belum mengambil langkah-langkah apapun untuk mengatasi persoalan
tersebut.
Konsep dasar trafficking
adalah pemindahan anak dari seseorang ke orang lain untuk memperoleh keuntungan
uang atau keuntungan lainnya. Trafficking
anak berbeda dengan perdagangan anak, perdagangan anak adalah sebuah transaksi
penjualan dan pembelian dengan harga yang telah disepakati, sedangkan trafficking merupakan paksaan, penipuan,
ancaman kekerasan serta penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi.
Perdagangan anak perempuan dan anak banyak melibatkan keluarga, di mana daerah
pedesaan umumnya masih adanya sisi yang mengajarkan wajib patuh pada orangtua.
Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafiking manusia di
Indonesia. Trafiking disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari
bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda.
·
Viktimisasi
Viktimologi, dari kata victim ( korban ), dan logi
( ilmu pengetahuan), bahasa latin victim (korban)
dan logos ( ilmu pengetahuan). Secara
sederhana viktimologi atau victimology
artinya ilmu pengetahuan tentang korban ( kejahatan). Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang
ahli bahwa victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau
penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan
atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”.
Di sini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan
seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.
Pada perkembangannya, korban kejahatan bukan saja
orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya hanya banyaknya
jumlah (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa, dan
negara. Hal ini dinyatakan bahwa korban dapat berarti “individu atau kelompok
baik swasta maupun pemerintah”.
Korban dalam lingkup viktimologi memiliki arti yang
sangat luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata
menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta, maupun pemerintah,
sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau
tindakan korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau
tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan.
Dengan kelengkapan perangkat perundang-undangan yang
mengatur lingkup perlindungan hak korban dan saksi beserta komisi atau lembaga
yang menjalankan fungsi untuk itu, diharapkan perlindungan korban dan saksi
menjadi lebih baik. Mengingat pada kenyataannya kejahatan tidak mungkin dapat
dihilangkan dan hanya dapat dikurangi. Kemungkinan kejahatan akan terus
berlangsung dan meningkat. Apabila ini terjadi, korban dipastikan menjadi
bertambah. Pihak korban bukan saja perorangan, tetapi kelompok, masyarakat,
institusi, dan bahkan negara. Bahkan pengabaian korban (victim) terjadi pada tahap-tahap penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di pengadilan, dan prosesproses selanjutnya.
Viktimisasi dapat dirumuskan sebagai suatu
penimbulan penderitaan (mental, fisik, dan sosial) pada pihak tertentu oleh
pihak-pihak tertentu dan demi kepentingan tertentu (Gosita, 2004: 101). E.A
Fattah (1991) dalam Ernesto Kiza mendefiniskan viktimisasi struktural sebagai
proses viktimisasi yang berkaitan dengan struktur sosial dan kekuasaan yang ada
di dalam masyarakat. Viktimisasi struktural yang terjadi dalam kasus
perdagangan orang dapat dikategorikan economically
structural victimization dikarenakan karena modus yang biasa digunakan oleh
orangtua yang memiliki keterbatasan dalam bidang ekonomi seperti untuk membayar
hutang, untuk membayar biaya persalinan, dan lain-lain.
·
Syarat
dan Prosedur Adopsi yang Legal
Persyaratan
untuk bisa mengadopsi anak secara legal berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI
No 41/HUK/Kep/VII/1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan
Anak:
• Pasangan harus berstatus menikah
dengan usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Dan juga diperbolehkan
untuk wanita atau pria yang masih lajang asalkan mempunyai motivasi yang kuat
untuk mengasuh anak.
• Minimal pasangan yang akan mengadopsi
anak telah menikah 5 tahun saat pengajuan. Pasangan tersebut harus menyerahkan
dokumen secara tertulis berisikan keterangan, seperti: tidak memungkinkan
memiliki anak kandung dari dokter ahli, tidak memiliki anak, memiliki satu anak
kandung, atau hanya memiliki seorang anak angkat, tetapi tidak mempunyai anak
kandung.
• Harus memiliki kondisi keuangan dan
sosial yang mapan dengan menyerahkan surat keterangan dari negara asal pasangan
tersebut.
• Memperoleh persetujuan tertulis dari
pemerintah negara asal pemohon (berlaku bagi pasangan yang bukan warga Negara
Indonesia).
• Kelima, surat keterangan kelakuan
baik dari kepolisian. Surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa pasangan
tersebut adalah sehat secara jasmani dan rohani.
• Adanya surat pernyataan secara
tertulis yang menyatakan bahwa pengangkatan tersebut memang semata-mata untuk
kepentingan dan kesejahteraan anak yang bersangkutan.
Prosedur resmi mengadopsi anak, yaitu: Pertama,
ajukan surat permohonan ke pengadilan di wilayah tempat tinggal calon anak
angkat. Pemerintah telah menunjuk dua yayasan untuk melayani proses adopsi,
yaitu Yayasan Sayap Ibu (Jakarta) dan Yayasan Matahari Terbit (Surabaya).
Kedua, petugas dari dinas sosial akan mengecek mulai dari kondisi ekonomi,
tempat tinggal, penerimaan dari calon saudara angkat (bila sudah punya anak),
pergaulan sosial, kondisi kejiwaan, dan lain-lain. Pengecekan keuangan
dilakukan untuk mengetahui pekerjaan tetap dan penghasilan memadai. Untuk WNA,
harus ada persetujuan atau izin untuk mengadopsi bayi Indonesia dari instansi
yang berwenang dari negara asal. Ketiga, calon orangtua dan anak angkat diberi
waktu untuk saling mengenal dan berinteraksi. Pengadilan akan mengizinkan
membawasi anak untuk tinggal selama 6-12 bulan, di bawah pantauan dinas sosial.
Keempat, menjalani persidangan dengan menghadirkan minimal dua saksi. Kelima,
permohonan disetujui atau ditolak, bila disetujui akan dikeluarkan surat
ketetapan dari pengadilan yang berkekuatan hukum. Keenam, dicatatkan ke kantor
catatan sipil.
2.2. Telaah Artikel
atau Jurnal Ilmiah Internasional
Adoption: Distinguishing Between Gray Market and
Black Market Activities, Family Law Quarterly oleh Melinda Lucas,
Vol. 34 No. 3, 2000.
Menurut perkiraan nasional, 1 juta anak di Amerika
Serikat tinggal dengan orangtua angkat. Pada tahun 1990-an, terdapat sekitar
120.000 adopsi anak di Amerika Serikat setiap tahunnya. Anak-anak ini
ditempatkan dalam tiga adoption market:
(1) “white market”, adopsi yang
dilakukan dengan agen atau lembaga, baik lembaga publik atau swasta; (2) “gray market” atau disebut independen,
adopsi yang dilakukan oleh orangtua kandung, terkadang dengan bantuan dari
perantara; dan (3) “black market”,
adopsi ilegal dimana anak dijual demi mendapat keuntungan.
Dalam 30 tahun belakangan, terdapat lonjakan yang
besar terkait popularitas adopsi independen. Hal ini terutama dapat disebabkan
oleh tiga faktor. Pertama, adopsi independen merupakan pilihan yang lebih
realistis bagi calon orangtua angkat yang tidak mampu melewati tes yang
diadakan oleh lembaga adopsi. Selain itu, adopsi independen lebih cepat
dilakukan dibandingkan adopsi melalui lembaga. Calon orangtua angkat yang ingin
mencari bayi yang sehat juga cenderung lebih sering menemukannya dalam gray market dibandingkan white market.[1]
Di Amerika Serikat, pada tahun 1992, dari 127.438
adopsi legal, hanya 15,5% (19.753) merupakan adopsi dari lembaga publik.
Diperkirakan sekitar dua per tiga adopsi anak yang baru lahir adalah adopsi
independen atau private. Beberapa
faktor berkontribusi terhadap tumbuhnya ketidakpuasan dengan adopsi melalui
lembaga publik. Misalnya, orangtua kandung dan orangtua angkat sama-sama ingin
mengetahui satu sama lain dan memainkan peran yang lebih aktif untuk memilih
satu sama lain. Adopsi independen menyediakan pihak-pihak terkait atas
kesempatan ini. Orangtua kandung dan orangtua angkat juga cenderung memilih
pengadopsian independen yang memungkinkan bayi untuk langsung dibawa ke rumah orangtua
angkat saat keluar dari rumah sakit. Selain itu, calon orangtua angkat juga
tidak perlu melalui screening process dalam adopsi independen.[2]
Black market
adoption merupakan adopsi independen yang ilegal
dimana pengadopsian dilakukan dengan tujuan “menghasilkan keuntungan finansial
yang tidak benar, dan mereka sama saja dengan ‘memperdagangkan’ anak”. Hal ini
dapat terjadi ketika perantara menerima keuntungan karena telah mencari bayi
untuk calon orangtua angkat dan efek peralihan dari hak orangtua kandung ke orangtua
angkat.[3]
Training Manual to Fight Trafficking in
Children for Labour, Sexual and Other Forms of Exploitation: Understanding Child
Trafficking – Risk
and Vulnerability[4]
Perdagangan
anak memakai sebuah konsep dari ekonomi. Konsep tersebut merupakan konsep
perdagangan yang berisi permintaan dan penawaran. Pelaku perdagangan anak
disebut sebagai penawar dan orang yang membeli anak disebut sebagai peminta. “Permintaan”
anak mencoba untuk menjaga harga rendah agar mendapat keuntungan karena sudah bersedia
untuk mengambil anak-anak yang diperdagangkan. Hal ini juga datang dari para
pedagang, yang berharap untuk membuat uang dari perdagangan anak-anak.
Ketika
ditanya kepada beberapa orang mengenai mengapa beberapa anak menjadi korban
perdagangan. Banyak orang akan langsung menjawab, "karena mereka
miskin". Memang benar bahwa kemiskinan merupakan elemen penting dalam
menjelaskan alasan beberapa anak diperdagangkan. Namun, kemiskinan bisa berarti
banyak hal.
Pada
kenyataannya, kemiskinan hanya satu dari beberapa faktor risiko kerentanan
seseorang anak diperdagangkan. Seringkali banyak anak mengalami keadaan sosial
yang sama, miskin. Tetapi ada salah satu dari anak-anak tersebut sangat rentan
diperdangangkan. Contohnya adalah anak yang memiliki penyakit. Ia semakin
rentan untuk diperdagangkan. Keadaan tersebut disebut sebagai “poverty plus”, yaitu adanya faktor
tambahan selain miskin yang membuat anak semakin rentan untuk
diperjual-belikan.
Faktor
yang dapat meningkatkan kerentananan perdagangan anak dilihat dari beberapa
subyek, yaitu individu, keluarga, komunitas, dan risiko tingkat kelembagaan.
Contoh kasus dari keluarga adalah terdapat gangguan dalam keluarga, misalnya
kepala keluarga atau sang ayah tertembak mati saat perang. Sehingga, keluarga
tersebut hanya memiliki satu orangtua. Contoh lainnya adalah terjadi bencana
alam yang membuat kelurga pindah ke kamp pengungsian. Saat di pengungsian,
keluarga tersebut dan perekrut sama-sama tahu bahwa keluaraga tersebut sudah
tidak memiliki apa. Sehingga, perdagangan anak rentan di kondisi seperti itu.
Pada
tingkat komunitas atau masyarakat, kerentanan anak untuk diperdagangkan juga
dapat terjadi. Misalnya, anak yang tinggal di daerah perbatasan rentan untuk
diperdagangkan. Selain itu, sifat dari komunitas atau masyarakat itu sendiri
bisa menjadi risiko untuk anak diperdagangkan. Misalnya, seorang petani tidak
ingin anaknya menjadi petani dan memiliki cita-cita bahwa anaknya akan ke kota.
Keadaan tersebut akan membuat perekrut perdagangan anak mudah mendapatkan
targetnya.
Pada
tingkat institusi, dikatakan bahwa anak-anak dan keluarga yang rentan diperdagangkan
disebabkan oleh kesenjangan pembangunan sosial seperti kurangnya akses terhadap
pendidikan, kebijakan diskriminatif yang meminggirkan beberapa kelompok etnis
dalam suatu negara; sistem yang digunakan miskin atau tidak pencatatan
kelahiran yang membuat tidak mungkin untuk melacak kesejahteraan anak-anak;
serta faktor geografis seperti perubahan iklim yang menghancurkan mata
pencaharian nelayan atau bertani masyarakat.
Penjelasan
di atas merupakan penjelasan dari jenis-jenis “poverty plus”. Kemiskinan sangat rentan untuk membuat anak diperdagangkan.
Tidak adanya pekerjaan membuat orangtua tidak menafkahi keluarganya dan dapat
memikirkan jalan pintas untuk menjual anaknya sendiri. Di beberapa kasus, orangtua
sebenarnya ingin bekerja, tetapi tidak adanya lapangan pekerjaan membuat mereka
tidak bekerja. Maka dari itu, adanya lapangan pekerjaan untuk orangtua dan
pendidikan serta training untuk anak
di sekolah sangat penting. Kedua hal tersebut adalah satu-satunya jalan untuk
memberantas lingkaran perdagangan anak.
The Child Adoption Marketplace:
Parental Preferences and Adoption Outcomes[5]
Jurnal ini menjelaskan
mengenai biaya dan pilihan orangtua
terhadap anak yang akan diadopsinya. Pilihan orangtua yang akan mengadopsi anak
atau orangtua angkat berhubungan dengan karakteristik. Hubungan karakteristik antara
orangtua angkat dan karakteristik anak angkat adalah langkah pertama dalam
menegaskan pilihan. Bahkan, orangtua angkat dapat mengeluarkan biaya adopsi
tambahan untuk mendapatkan karakteristik yang sama dengan orangtuanya.
Orangtua
angkat yang memiliki pendapatan besar akan memilih anak dari panti asuhan dan
karakteristik (ras atau etnis) yang sama. Sedangkan, orangtua angkat yang
memiliki pendapatan yang lebih besar akan mengadopsi anak Afrika-Amerika.
Jika dilihat dari agama,
orangtua angkat akan Kristen akan memilih anak angkat yang memiliki ras
Afrika-Amerika dan multi ras daripada anak yang berkulit putih atau Kaukasian.
Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, orangtua angkat yang memiliki
pendidikan tinggi akan mengadopsi anak berkulit hitam, seperti Afrika. Selain
itu, mereka juga akan memilih anak yang berasal dari Asia atau Latin.
Kesimpulan dari bagian jurnal
ini adalah orangtua angkat ada yang mencari anak adopsi yang mendekati atau
menjauh dari karakteristik mereka. Pemilihan tersebut dapat dipengaruhi dengan
pendapatan, agama, dan pendidikan.
2.3. Kerangka Pemikiran
1. Teori Strain
Robert K. Merton pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara
perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan
menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran
norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk
perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan kultural. Menurut
Merton, terdapat pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat
yang terstruktur. Dalam pencapaian tujuan tersebut, ternyata tidak setiap orang
menggunakan sarana-sarana yang tersedia, akan tetapi ada yang melakukan cara
tidak sesuai dengan cara-cara yang telah ditetapkan (illegitime means).
Aspek ini dikarenakan, menurut Robert
K. Merton, struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan
adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan.[6]
Misalnya, mereka yang berasal dari kelas rendah (lower class) mempunyai
kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka
yang berasal dari kelas tinggi (uper class).[7]
Masyarakat kelas rendah yang biasanya memiliki kesulitas dalam ekonominya akan
memiliki kerentanan yang lebih besar untuk melanggar undang-undang karena ia
tidak memiliki sarana untuk memenuhi cara pencapaian sesuai undang-undang.
2. Teori Konflik
Radikal
Teori konflik radikal memposisikan diri dari anarki politik
menyambung Marxisme dan materialisme ekonomis menuju perbedaan nilai. Marx melihat konflik dalam
masyarakat disebabkan adanya hak manusia atas sumber-sumber tersebut, khususnya
mengenai kekuasaan.[8]
Dari pandangan tersebut, dapat dikaitkan dengan konsep Marx mengenai
komodifikasi yang ia maknai sebagai apapun yang diproduksi dan untuk
diperjualbelikan. Tidak ada nilai guna murni yang dihasilkan, namun hanya nilai
jual, diperjualbelikan bukan digunakan. Komodifikasi menggambarkan proses
dimana sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomis diberi nilai dan karenanya
bagaimana nilai pasar dapat menggantikan nilai-nilai sosial lainnya. (Karl Marx
dalam Evans).[9]
Pandangan Marx adalah bahwa di dalam interaksi-interaksi mereka dengan alam dan
dengan para aktor lain, orang-orang memproduksi obyek-obyek yang mereka
butuhkan untuk bertahan hidup. Terkadang, para aktor bukan hanya memproduksi
untuk dirinya atau asosiasi langsung mereka, melainkan untuk orang lain
(kapitalis). Produk-produk memiliki nilai-tukar, artinya bukannya digunakan
langsung, tapi dipertukarkan di pasar demi uang atau demi obyek-obyek yang
lain.[10]
Bab 3
Metode Penelitian
Cara
melakukan Penelitian
Fokus utama dan
sekaligus kriteria penelitian ini adalah untuk
mengetahui bahwa praktik adopsi yang ilegal dan tidak sesuai dengan cara-cara
pengadopsian rentan menjadi salah satu praktik perdagangan anak. Selain itu,
penelitian ini ingin membuktikan bahwa kemiskinan merupakan sebab utama dalam
perdagangan anak. Karena, kemiskinan disebutkan sebagai sebab utama untuk
melakukan perdagangan anak. Penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam
untuk mengetahui latar belakang dan alasan orangtua kandung anak yang sekaligus
menjadi pelaku penjualan anak dan untuk mengetahui alasan dari orangtua yang
membesarkan serta bagaimana prosedur
yang ditempuh dalam rangka pengalihtanganan anak diantara kedua belah pihak.
Peneliti menggunakan teknik driver thing yaitu
dengan sedikit menyamarkan tujuan penelitian, disebutkan bukan untuk mengetahui
praktik adopsi ilegal dan perdagangan anak, tetapi hanya disebutkan untuk
mengetahui alasan orangtua kandung anak memilih untuk mencarikan orangtua lain
untuk merawat dan membesarkan anaknya serta mengentahui alasan orangtua lainnya
yang bersedia membesarkan anak. Cara ini digunakan agar subyek lebih terbuka
untuk memberikan informasi tanpa merasa dikriminalisasi dan disalahkan.
Wawancara dilakukan
dengan orangtua yang membesarkan anak, yang menjadi subjek penelitian yaitu Ibu
C dan pasangan X. Pada kasus pertama dengan narasumber Ibu C merupakan kasus
utama kemudian untuk validasi data dilakukan wawancara mendalam kepada pada
pasangan X yang dianggap memiliki pola-pola
kasus yang sama.
Proses
Menemukan Subjek Penelitian
Peneliti sebelumnya
mempelajari kasus-kasus umum mengenai adopsi ilegal yang banyak terjadi di masyarakat.
Dalam penelitian ini yang berperan sebagai pelaku perdagangan adalah orangtua
kandung dan dibantu perantara biasanya masih dalam relasi keluarga. Peneliti
menyadari bahwa dalam praktiknya, terdapat unsur-unsur perdagangan anak, dimana
orangtua mendapatkan sejumlah keuntungan dari praktik tersebut, seperti
dibebaskan dari biaya-biaya tertentu (dalam temuan data dibebaskan biaya
persalinan dan lain-lain), terbebas dari kewajiban mengurus, merawat, dan
membesarkan anak, dan mendapatkan sejumlah uang untuk keperluan tertentu atau
kepentingan pribadi. Memang dalam kasus yang ditemukan, berdasarkan dari
keterangan subyek, orangtua kandung dan perantara tidak secara lugas untuk
meminta sejumlah uang atau profit tertentu tetapi niat tersebut diselubungi
dengan alasan-alasan seperti, harus bekerja, harus mengurus anak lainnya, tidak
mampu secara ekonomi, memikirkan masa depan anak, dan lain sebagainya. Peneliti
menemukan subyek penelitian berdasarkan informasi dari beberapa anggota peneliti
yang memiliki tetangga maupun saudara yang memiliki pengalaman sesuai dengan
tema penelitian yang akan diangkat. Peneliti awalnya menghubungi subyek via telepon
dan melakukan pendekatan. Selanjutnya, peneliti mengemukakan maksud dan tujuan
peneliti, kemudian berusaha meyakinkan subyek bahwa identitas baik subyek,
anak, dan wilayah asal akan disamarkan dan penelitian hanya digunakan untuk
kepentingan akademis. Setelah terjadi kesepakatan antara peneliti dan subyek
kemudian ditentukan janji untuk melakukan wawancara mendalam. Beberapa hari
setelah pendekatan, peneliti kemudian melakukan wawancara dengan subyek
penelitian. Wawancara dilakukan via telepon karena memang peneliti dan subyek
berada di kota yang berbeda dan juga mengingat sedikitnya waktu dalam
pengumpulan data dan penulisan makalah. Masing-masing subyek penelitian
melakukan wawancara dengan anggota peneliti yang memang mengenal subyek.
Peneliti menyusun pedoman wawancara terkait dengan poin-poin yang akan
ditanyakan (wawancara tidak terstruktur). Wawancara dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyan yang tidak baku dan terstruktur untuk menjaga kealamian
dari proses wawancara.
Berdasarkan informasi
dari kedua subjek ditemui kriteria-kriteria yang sama dan juga berbeda.
Persamaannya, perdagangan anak yang dilatarbelakangi oleh latar belakang
ekonomi dan sosial orangtua kandung yang terbatas, dilakukan oleh orangtua dan
saudara sebagai perantara, anak dipindahtangankan kepada keluarga yang dianggap
lebih mapan, hubungan anak dan orangtua kandung benar-benar diputus, terdapat
hal-hal yang disepakati diantara kedua belah pihak, identitas asli anak
dirahasiakan, orangtua kandung dibebaskan dalam hal biaya persalinan dan
ditambah pemberian uang lainnya. Perbedaannya, subjek pertama sebelumnya sudah memiliki
anak, sedangkan subyek kedua merupakan pasangan memang tidak memiliki anak, dan
jenis kelamin anak pada masing-masing kasus.
Bab 4
Temuan Data
Kasus 1
Wawancara pada kasus
pertama dilakukan dengan Ibu C. Ibu C dalam hal ini berperan sebagai orangtua
yang membesarkan anak. Ibu C sebenarnya memiliki dua orang anak laki-laki.
Ceritanya berawal dari pertemuan Ibu C dengan Ibu X yang berperan sebagai
perantara. Ibu X merupakan langganan di toko baju Ibu C, biasanya Ibu X membeli
celana pendek, handuk, dan lain-lain untuk kepentingan karyawan usaha cucian
motor yang ia punya. Ibu X dan Ibu C sudah saling kenal, kira-kira selama 2
tahun sebelum peristiwa utama. Pada suatu ketika Ibu X mendatangi toko baju Ibu
C untuk membeli beberapa helai baju bayi untuk sepupunya yang akan melahirkan.
Ibu X menceritakan bahwa sepupunya ini tidak berencana untuk mengurus dan
membesarkan bayi tersebut. Menurut cerita dari Ibu X, ia dan saudara sepupunya
pernah mendatangi dukun dan kemungkinan anak dalam anak kandungan berjenis
kelamin laki-laki. Ibu X menawari anak tersebut kepada Ibu C, tapi ia menyadari
bahwa Ibu C telah memiliki dua orang anak laki-laki. Beberapa hari kemudian,
Ibu C dikabari oleh karyawan tokonya bahwa ada Ibu X yang mencarinya dan
meninggalkan sesuatu di toko kemudian pergi beberapa saat untuk membeli obat ke
apotik dan akan kembali lagi untuk menemui Ibu C. Setelah diperiksa oleh
karyawan toko, sesuatu yang ditinggalkan oleh Ibu X adalah ari-ari bayi.
Setelah Ibu C sampai ke tokonya, ia diberi kabar bahwa anak yan dilahirkan
sepupu Ibu X berjenis kelamin perempuan. Ibu X menawari Ibu C untuk menebus si
anak di rumah sakit dan memiliki anak tersebut secepat mungkin dengan alasan
banyak pasangan lainnya terutama para tetangga yang ingin memiliki anak tersebut.
Ibu X meyakinkan Ibu C bahwa anak tersebut sangat cantik, putih, berhidung
mancung, bulu mata lentik, dan berambut ikal. Alasan lainnya yaitu Ibu X tidak
ingin anak ini akhirnya jatuh ke tangan tetangganya yang memiliki agama yang
berbeda darinya. Ibu X memang tinggal di wilayah liar di Kota B yang banyak
dihuni oleh para transmigran yang berasal dari Medan dan beragama Kristen
sedangkan Ibu X dan sepupunya beragama Islam. Ibu C saat itu cukup terkejut
karena tidak pernah mempunyai rencana demikian dan juga tidak ada anggota
keluarga yang mengetahui hal ini sebelumnya. Saat Ibu C mengabari suaminya,
sempat terdapat penolakan yang cukup keras. Tapi Ibu C berusaha menyakinkan
lagi dengan alasan bahwa bayi tersebut
secara fisik sangat baik dan sempurna dan ingin dipelihara oleh orang
yang seagama. Setelah suami Ibu C sedikit yakin, Ibu C diwakili adiknya pergi
ke rumah sakit untuk melihat bayi tersebut. Setelah ditemui, memang bayi
seperti apa yang telah diceritakan oleh Ibu X. Besoknya Ibu C mendatangi rumah
sakit dan menyempatkan mengobrol dengan Ibu Y (Ibu kandung si bayi) menanyakan
alasan kenapa ia tidak ingin membesarkan anaknya. Ibu Y mengaku bahwa ia tidak
sanggup membesarkan anaknya, karena juga memiliki dua anak lainnya yang masih
kecil dan jarak umurnya dekat. Selain itu, Ibu Y mengaku bahwa ia kesulitan
dalam hal biaya. Ibu Y menceritakan bahwa ia kesulitan membayar biaya
sehari-hari termasuk membayar persalinan dan masih mengontrak di rumah
saudaranya terutama setelah suaminya menganggur. Ibu Y tidak memberikan ASI
kepada bayi tapi memberikannya susu formula. Setelah ditanyakan, Ibu Y memang
sengaja karena ia tidak ingin menyusui bayinya agar tidak memiliki keterikatan.
Ibu C saat itu memberikan pilihan kepada Ibu Y dimana Ibu C bersedia membayar
persalinan tetapi bayi tetap dibesarkan oleh ibu kandungnya, namun Ibu Y
menolak dengan alasan bahwa ia nanti pasti keteteran
karena memang harus mengurus anak lainnya dan ia memikirkan masa depan anak
tersebut. Ibu Y juga menceritakan bahwa ia berencana untuk kembali ke daerah
asalnya karena tidak sanggup lagi membayar biaya hidup dan juga tempat tinggal
masih dalam keadaan mengontrak. Dengan mendengar berbagai alasan tersebut, Ibu
C memutuskan untuk membesarkan bayi tersebut.
Selanjutnya, untuk
urusan surat menyurat, Ibu C dibekali dengan surat asli yang masih tertulis bin dan binti anak dari orangtua asli. Ibu C berusaha menyampaikan pada
salah satu bidan di rumah sakit tersebut agar surat digantikan dengan nama Ibu
C dan suaminya. Bidan mengatakan bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan di
rumah sakit yang besar dan memberikan saran agar Ibu C pergi ke klinik yang
lebih kecil atau praktik bidan untuk mengeluarkan surat kelahiran. Ibu C
kebetulan memiliki seorang kenalan bidan yang memiliki praktik sendiri. Dibantu
dengan bidan tersebut akhirnya dikeluarkan surat dengan tanggal dan pukul
kelahiran yang sama tetapi diubah dalam hal tempat kelahiran dan nama
orangtuanya. Proses surat menyurat tersebut menurut Ibu C tidak terlalu sulit.
Ibu C akhirnya menebus bayi dengan membayar biaya persalinan, membelikan
sejumlah vitamin dan obat-obatan yang diperlukan pasca kelahiran, dan
memberikan sejumlah uang yang jumlahnya tidak disebutkan.
Tidak ada kesepakatan
tertulis antara Ibu C dengan Ibu Y, namun ada hal-hal yang memang disepakati
secara lisan yang disampaikan oleh Ibu Y, seperti bahwa anak tidak boleh
dibedakan dengan anak kandung dari Ibu C. Ibu C menyampaikan bahwa ia justru
takut bahwa anak ini suatu ketika akan merasakan perbedaan dan Ibu C tidak tahu
harus bagaimana jika si anak menanyakan identitas aslinya. Untuk menghindari
hal tersebut, Ibu C sampai saat ini
berusaha menutupi dan menetralisir kira-kira jika ada pembicaraan yang mengarah
ke sana. Anak laki-laki pertama Ibu C mengetahui sejak awal identitas bayi tapi
tidak dengan anak laki-laki kedua dari Ibu C, karena pada saat itu anak kedua
Ibu C masih berusia kecil dan tidak mengerti jika diberi pengertian mengenai
hal tersebut. Setelah tiga tahun anak diserahkan, Ibu C sempat mendatangi rumah
Ibu X dan Ibu Y mengecek keadaan dan keberadaan mereka, namun perumahan liar
tersebut ternyata sudah digusur. Sejak saat itu Ibu C tidak lagi pernah bertemu
dengan Ibu X maupun Ibu Y. Yang menjadi kekhawatiran Ibu C sampai saat ini
adalah jika ia tidak bisa menunjukkan siapa dan dimana orangtua asli jika anak
sudah menyadari hal tersebut.
Kasus 2
Pada kasus kedua, peneliti memilih contoh kasus yang
tidak beda jauh dengan kasus yang pertama, selain digunakan untuk membandingkan
antar dimensi waktu dan tempat, kasus ini juga ditujukan untuk memperkuat
argumen. Jika pada kasus pertama yang menjadi subjek penelitian adalah bayi
perempuan, pada kasus kedua ini bayi yang diteliti adalah laki-laki. Bayi ini
merupakan anak dari ibu W yang mengaku tidak mampu secara ekonomi untuk merawat
dan membesarkan anaknya. Pekerjaannya sebagai pekerja rumah tangga dan
statusnya berupa istri kedua dari seorang suami yang tidak bertanggung jawab
ini memperkuat keinginannya untuk memberikan bayinya kepada orang lain setelah
lahir. Sahabat dekat yang membantunya dari semenjak proses kelahiran hingga
perawatan sementara atas bayi dan dirinya, menemukan bahwa salah satu dari
anggota keluarganya merupakan pasangan mandul dan memiliki kemungkinan untuk
mau merawat anak ini. Akhirnya, pasangan X tersebut menghampiri untuk mengambil
bayi yang masih berusia sekitar 5 – 6 bulan dari ibu W. Proses perpindahan bayi
pun hanya sebatas menggunakan surat perjanjian yang ditulis manual dan
pengurusan atas surat kelahiran bayi yang diganti identitas orangtuanya.
Setelah itu, pasangan X ini memberikan sejumlah uang kepada Ibu W sebagai uang
pegangan dan ongkos untuk pulang ke kampungnya di Surabaya. Salah satu isi dari
perjanjian tersebut bahwa Ibu W tidak diperbolehkan untuk meminta kembali
anaknya apabila sudah besar nanti, akibatnya hingga menikah pun si anak tidak
mengetahui identitas ibu kandungnya dengan alasan untuk menghindari konflik dan
peringkaran perjanjian.
Bab 5
Analisis
Dari data yang didapatkan dari nsubyek penelitian dengan metode
wawancara mendalam ditemukan bahwa kedua subyek penelitian mengaku mengadopsi
anak bayi tersebut dan bukan membeli bayi dari ibu kandungnya. Bila berdasarkan
proses pengadopsian yang legal kedua keluarga tersebut hanya memenuhi
persyaratan seperti: berstatus menikah dengan usia minimal 25 tahun dan maksimal
45 tahun, telah menikah lebih dari 5 tahun, dan memiliki kondisi keuangan dan
sosial yang mapan. Akan tetapi kedua keluarga tersebut tidak melakukan prosedur
resmi mengadopsi anak karena tidak mengajukan surat permohonan ke pengadilan di
wilayah tempat tinggal calon anak angkat, dengan tidak diajukannya prosedur
penganggkatan yang pertama maka prosedur-prosedur selanjutnyapun tidak sah
untuk dilakukan.
Pada kasus yang pertama tidak ada sama sekali
perjanjian tertulis yang dilakukan oleh kedua belah pihak, ibu kandung bayi
tersebut hanya mengatakan bahwa ia tidak ingin berhubungan sama sekali dengan
bayinya. Pada kasus yang kedua, memang ada perjanjian yang tertulis dari kedua
belah pihak yang menyebutkan bahwa ibu kandung tidak
diperbolehkan untuk meminta kembali anaknya apabila sudah besar, akan tetapi
isi perjanjian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai surat pengadopsian.
Dengan demikian kedua kasus tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pengadopsian
yang sah atau legal dimata hukum.
Dari kedua kasus yang ada ibu kandung bayi
tersebut tidak ingin berhubungan dan mengurus anak mereka sehingga memberikan
bayi kepada orangtua angkatnya, padahal jika menurut UU No 35 tahun 2014 pasal
14 ayat 2 menyebutkan bahwa bila terjadi pemisahan yang demi kepentingan
terbaik bagi anak, anak tetap berhak bertemu langsung dan berhubungan pribadi
secara tetap dengan kedua orangtua kandungnya, mendapatkan pengasuhan,
pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuhkembang dari kedua
orangtuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Hal serupa juga
dijelaskan dalam jurnal Comparing The
Efficiacy of Domestic Versus International Child Adoption bahwa perhatian
utama dalam adopsi domestik adalah hilangnya hak asuh atas orangtua kandung.
Kebanyakan anak dari adopsi domestik putus hubungan dengan orangtua aslinya,
bahkan mereka tidak mengenal nama satu sama lain. Kedua kasus tersebutpun
menyebutkan bahwa pembuatan akta kelahiran anak dipalsukan yaitu pada nama orangtua
bayi bukanlah nama ibu dan bapak kadung tetapi nama orangtua angkatnya, menurut
UU No 35 tahun 2014 pasal 39 ayat 2 dan
2A menyebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dan orangtua kandungnya, pengangkatan anak wajib dicatatkan
dalam akta kelahiran dengan tidak menghilangkan identitas awal anak. Sehingga
secara tidak langsung praktik adopsi anak yang mana pada kasus ini tidak
membiarkan anak untuk berhubungan dengan orangtua kadungnya telah merampas
hak-hak yang dimiliki oleh anak tersebut.
Secara
umum, kasus adopsi bayi yang dilakukan oleh ibu kadung disebabkan oleh kondisi
ekonomi, lebih khususnya kemiskinan. Seperti yang dijelaskan pada jurnal yang
dikeluarkan oleh OLO dan UNICEF, ketika ditanya kepada beberapa orang mengenai
mengapa beberapa anak menjadi korban perdagangan, banyak orang akan langsung
menjawab, ‘karena mereka miskin’. Hal serupa dijelaskan oleh Merton dalam teori
Strain, bahwa dalam masyarakat perilaku pelanggaran dapat dihubungkan dengan
struktur sosial yang memberikan kesempatan dan sarana-sarana yang berbeda bagi
masing-masing masyarakat dalam menggapai tujuannya. Sehingga, individu atau
kelompok yang pada awalnya tidak ingin melakukan pelanggaran, akhirnya
melakukannya karena keterbatasan sarana untuk pencapaian tujuannya. Dalam kasus
ini kedua orangtua kadung bayi memberikan anaknya karena tidak mampu secara
ekonomi untuk merawat dan membesarkannya. Selain itu, juga ditemukan kesamaan
pada faktor lain yang menyebabkan adopsi ini terjadi dalam kedua kasus ini,
yaitu kedua ibu kandung bayi sama-sama tidak mendapatkan tanggung jawab dari
suami mereka. Sehingga beban hidup mereka tanggung sendiri, dan pada akhirnya
anak pun dianggap sebagai penambah dari beban hidup mereka.
Menurut Melinda Lucas dalam jurnalnya Adoption: Distinguishing Between Gray Market
and Black Market Activities, Family Law Quarterly, kedua kasus tersebut
dapat dikategorikan sebagi gray market karena pengadopsi tersebut dilakukan oleh dan atas keinginan
langsung dari ibu kandung bayi yang ingin menyerahkan bayinya kepada orang lain
dengan bantuan saudaranya sebagai perantara dari pengadopsian. Seperti yang
dijelaskan dalam jurnal tersebut, bahwa grey
market memiliki kecenderungan untuk mengarah terhadap black market adoption yang merupakan adopsi independen yang ilegal
dimana pengadopsian dilakukan dengan tujuan “menghasilkan keuntungan finansial
yang tidak benar, dan sama saja dengan ‘memperdagangkan’ anak, karena bisa saja
terdapat keuntungan-keuntungan pribadi yang didapatkan oleh orangtua kandung
secara langsung ataupun tidak langsung. Hasil temuan data dari kedua kasus
tersebut juga mengatakan demikian, bahwa dalam kedua kasus tersebut ibu kandung
bayi mendapatkan uang dari calon orangtua angkat dengan kedok sebagai uang
pegangan dan ongkos untuk pulang ke kampungnya.
Hal tersebut juga dapat dijelaskan
melalui teori Konflik Radikal dari Karl Marx bahwa konflik dalam masyarakat
disebabkan adanya hak manusia akan suatu sumber, lalu dengan menggunakan hak
tersebut individu memanfaatkannya untuk mengambil kegunaan atau keuntungan dari
sumber yang dikuasainya. Salah satu bentuk pemanfaatannya adalah komodifikasi
yaitu proses
dimana sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomis diberi nilai. Dalam kasus
ini, ibu kandung yang memiliki hak atas sumber yang dalam konteks ini adalah
bayi, secara tidak langsung memperlakukan anaknya sebagai objek yang akhirnya
diberi nilai ekonomis atau nilai tukar. Kemudian, kebermanfaatan tersebut
diperolehnya untuk kepentingan pribadi, yang pada akhirnya praktik komodifikasi
ini pengarahkan pada perilaku pertukaran obyek atau perdagangan.
Bab 6
Kesimpulan
Proses
adopsi ilegal dapat mengarah kepada terjadinya tindak perdagangan anak. Perdagangan
anak terutama yang dilakukan oleh orangtua kandung dan dibantu oleh perantara
baik saudara maupun orang yang dikenal, dalam praktiknya memiliki maksud dan
tujuan yang terselubung. Tujuan orangtua untuk mendapatkan keuntungan,
dibebaskan dari biaya persalinan, dan mendapatkan modal serta kepentingan
pribadi terselubung dalam alasan-alasan seperti
tidak mempunyai biaya untuk membesarkan anak, harus bekerja sehingga
tidak dapat mengurus anaknya, harus mengurus anaknya yang lain, atau memikirkan masa depan si anak.
Biasanya orangtua kandung sebelum melahirkan telah mempunyai rencana dan
mencari orangtua angkat dengan kriteria keluarga yang dianggap lebih mapan
darinya, atau pasangan yang tidak memiliki anak dan berkemampuan cukup. Namun
diantara kedua belah pihak tidak menggunakan prosedur adopsi yang legal karena
dirasa rumit, membutuhkan waktu yang lama dan belum pasti. Hal ini menyebabkan
kesepakatan hanya terjadi diantara kedua belah pihak dengan syarat-syarat
tertentu seperti tidak menghubungi dan meminta anaknya lagi di masa depan,
merahasiakan identitas asli anak, dan kesepakatan mengenai pembayaran biaya
persalinan dan keperluan lainnya. Dalam kasus yang demikian, tanpa adanya
pengawasan dari lembaga dapat menyebabkan anak rentan untuk diekploitasi dan
mendapatkan perlakuan salah, walaupun dalam
temuan kasus di atas anak dibesarkan dengan baik. Dalam pengadopsian
yang ilegal ini ada beberapa hak anak yang dilanggar seperti hak anak untuk mendapatkan informasi mengenai
identitas aslinya, hak anak untuk tetap berhubungan dengan orangtua aslinya, dan
memperlakukan anak sebagai objek yang memiliki nilai ekonomi.
Daftar
Pustaka
D.
S. Evans, dan
P., 2004. Das
Kapital untuk Pemula, Yogjakarta: Resist Book.
Darma,
Made Weda,
1996. Kriminologi, Penerbit PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
ILO dan UNICEF. 2009. Training Manual to Fight Trafficking in
Children for Labour, Sexual and Other Forms of Exploitation: Understanding
Child Trafficking – Risk and Vulnerability. Geneva: ILO, file:///C:/Users/asus/Downloads/Textbook_1%20unicef%20child%20trafficking%20(2).pdf.,
diakses pada 15 Mei 2016 pkl. 13.55 WIB.
Lucas, Melinda, 2000. Adoption: Distinguishing Between Gray Market
and Black Market Activities, Family Law Quarterly, Vol. 34 No. 3.
Mulyadi, Lilik. 2009. Kajian Kritis dan Analitis
Terhadap Dimensi Teori-Teori Kriminologi dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana Modern. Jambi; Pengadilan Tinggi Jambi.
Ritzer,
George dan Goodman, Douglas J., 2009. Teori Sosiologi dan Teori Sosiologi
Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, diterjemahkan
oleh Nurhadi, Yogjakarta: Kreasi Wacana.
Skidmore, Mark etc., 2016. The Child Adoption Marketplace: Parental
Preferences and Adoption Outcomes(SAGE: Public Finance Review 2016, Vol.
44(2),
file:///C:/Users/asus/Downloads/Textbook_1%20unicef%20child%20trafficking%20(2).pdf,
2016), pg. 163-169, diakses pada 15 Mei 2016 pkl 18.19 WIB.
William, Frank P.
III dan Marilyn McShane , 1988. Criminological Theory, New
Jersey: Printice Hall, Englewood Cliffs.
[1] Melinda
Lucas, Adoption: Distinguishing Between
Gray Market and Black Market Activities, Family Law Quarterly Vol. 34 No.
3, 2000, hlm. 553-554.
[3] Ibid, hlm. 557.
[4]ILO
dan UNICEF, Training Manual to Fight
Trafficking in Children for Labour, Sexual and Other Forms of Exploitation:
Understanding Child Trafficking –Risk and Vulnerability (Geneva: ILO,file:///C:/Users/asus/Downloads/Textbook_1%20unicef%20child%20trafficking%20(2).pdf,
2009), pg. 23-25, diakses pada 15 Mei 2016 pkl. 13.55 WIB.
[5]Mark
Skidmore, etc., The Child Adoption
Marketplace: Parental Preferences and Adoption Outcomes(SAGE: Public
Finance Review 2016, Vol. 44(2), file:///C:/Users/asus/Downloads/Textbook_1%20unicef%20child%20trafficking%20(2).pdf,
2016), pg. 163-169, diakses pada 15 Mei 2016 pkl 18.19 WIB.
[6] Frank P. William III dan Marilyn McShane, Criminological
Theory, New Jersey Printice hall, Englewood Cliffs , 1988, hlm. 63.
[8] Lilik Mulyadi. Kajian Kritis dan Analitis
Terhadap Dimensi Teori-Teori Kriminologi dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana Modern. Jambi; Pengadilan Tinggi Jambi. 2009, hlm. 20
[9]
Evans, D. S. & P., Das Kapital untuk Pemula, (Yogjakarta: Resist
Book, 2004), dalam ibid, hal. 16
[10] Ritzer, George dan Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi
dan Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial
Postmodern, diterjemahkan oleh Nurhadi, (Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2009),
dalam ibid, hal 37.
Komentar