UTS SPP
1.Teori Pembenaran Hukuman dikaitkan
dengan kasus pencurian ikan
Hampir
80% dari wilayah Indonesia berupa perairan. Tantangan dalam mengolah sumber
daya laut yang besar tersebut adalah dengan adanya kasus illegal fishing.
Kegiatan illegal berarti suatu tindakan yang tidak sah, melanggar hukum atau
liar. [1] Food and Agricultural Organization (FAO)
pada tahun 2001 merumuskan satu panduan khusus untuk mengatasi IUU-fishing di
samudera dunia. Panduan tersebut diberi nama “International Plan of Action to
Prevent, Determine and Eliminate IUU-Fishing (IPOA-IUU-fishing)”. Penyusunan
pedoman tersebut bertujuan untuk mencegah, menghambat, dan menghilangkan
kegiatan IUU fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan sumber daya
perikanan yang komprehensif, terintegrasi, efektif transparan serta
memperhatikan kelestarian sumber daya bagi negara-negara perikanan dunia.
Naskah panduan tersebut disepakati oelh Committe on Fisheries (COFI) dari FAO
secara konsensus pada tanggal 2 Maret 2001.[2]
Dokumen tersebut pada bagian awalnya berisikan pemahaman mengenai arti dan
istilah illegal, unreported dan unregulated.
Berkaitan
dengan pencurian ikan yang terjadi, kegiatan pencurian ikan dilaut lepas tanpa
izin digolongkan sebagai tindak pidana yang melanggar hukum yang kemudian akan
diproses dalam sistem peradilan pidana. Proses pidana sebagai bentuk reaksi
formal atas kejahatan atau penghukuman dilangsungkan dengan tidak hanya
berdasar pada peraturan perundang-undangan belaka. Secara sosiologi, terdapat
beberapa teori yang menjadi pembenaran dalam mengentaskan suatu penghukuman,
yaitu retributivisme, konsekuensialisme dan ekspresivistik.
Teori-teori
penghukuman berkembang mengikuti dinamika kehidupan masyarakat sebagai reaksi
dan dampak dari timbulnya kejahatan itu sendiri. Christopher W Morris[3]
menyatakan bahwa pembenaran hukuman mengandaikan hilangnya hak moral, tapi pada
saat yang sama adanya penuntutan alasan dalam memotivasi praktik penghukuman
ini. Apa pembenaran atau dasar penalaran akan
adanya sanksi pidana itu? (Justification For Criminal Punishment). Apa yang akan kita lakukan dengan menyatakan bahwa
perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana dan karena itu harus
diberikan sanksi bagi pelanggarnya? Hal ini adalah pertanyaan yang berkisar kepada ”Proses”, khususnya pada aturan-aturan
permainan dari pelaksanaan sanksi pidana itu. Sifat dari sanksi pidana yang kadang-kadang terlalu dilebih-lebihkan
kemampuannya, sehingga menimbulkan masalah bagi kita, yaitu bagaimana membatasi
jangkauan dari sanksi pidana itu. Packer mengemukakan bahwa sanksi pidana itu,
yang merupakan suatu alat yang dimiliki oleh penguasa dan dapat digunakan
dengan sah menurut hukum, namun menurutnya bahwa sanksi pidana itu mempunyai
batas jangkauannya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka terdapat penghukuman
tertentu yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pelaku pencurian ikan dan
bagaimana masing-masing teori pembenaran yang berkaitan dengan penghukuman yang
ada.
1. Retributivisme
Dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa
pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat
tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan
hukum (pribadi, masyarakat, atau negara) yang telah dilindungi. Oleh karena
itu, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa
kejahatan) yang dilakukannya.[4]
Para ahli didalamnya berpendapat bahwa menghukum orang yang bersalah adalah
sesuatu yang sangat bermakna, dalam teori hukuman retributif bagaimanapun
adalah bahwa penjahat harus dihukum sebanding (atau setidaknya tidak lebih dari
perbuatannya) dengan kejahatan mereka. Sedangkan
menurut teori Retribution dari Packer, bahwa ada beberapa kemungkinan atau
beberapa variasi dan perkembangan-perkembangan pemikiran yang menarik.
Sisi lain dari teori retribusi, adalah yang oleh
Packer dinamakan ”Expiation Theori” yaitu teori penderitaan dan penebusan dosa,
yakni si pelaku kejahatan menjalani pidana sebenarnya untuk membayar kembali
kesalahannya atau membersihkan dirinya (bertobat). Karena itulah pandangan atau teori retribusi ini
dianggap melihat ke belakang (backward looking).
Pada kasus
pencurian ikan, pelaku akan menerima penghukuman yang setimpal dengan kejahatan
yang ia perbuat. Bentuk hukuman penenggelaman kapal bisa menjadi contoh dalam
berlakunya teori pembenaran retributif, dimana orang yang melakukan pencurian
ikan maka harus menerima balasan yang setimpal sehingga dirinya tidak bisa
melakukan perbuatan tersebut lagi. Teori pembenaran retributif menjadi contoh
bahwa perlakuan penenggelaman, bahkan pembakaran kapal pelaku pencurian ikan di
laut lepas menjadi suatu hal yang lazim dilakukan atas dasar bentuk penderitaan
pelaku dan penghukuman sebanding terhadap apa yang dilakukan.
2.
Konsekuensialisme
Pandangan kedua ini justru berorientasi ke masa depan
(forward looking). Kadang-kadang paham konsekuensialis ini juga disebut sebagai
paham pencegahan (preventation atau deterrence). Dalam paham ini berkembang dua
teori, yakni, (i) teori deterrence,
yang mengemukakan bahwa efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan
terjadi setelah pemidanaan (after the
fact inhibation) dan (ii) teori intimidasi, yaitu bahwa efek itu diharapkan
sudah timbul sebelum pidana dijatuhkan (before
the fact inhibation). Yang
lebih ditekankan oleh pandangan utilitarian ini adalah situasi atau keadaan
yang akan tercipta atau yang akan dihasilkan jika pidana itu dijatuhkan, baik
menyangkut si terpidana yang bersangkutan maupun menyangkut orang lain.Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si
pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi
masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan
sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan pada
masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan untuk melaksanakan
maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat
sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal,
selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.[5]
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi
kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan
orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. Tujuan pidana
adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib masyarakat itu
diperlukan pidana.[6] Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang
telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya
sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dasar pembenaran pidana
terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana
dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan
melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering juga disebut teori tujuan (utilitarian
theory). [7] Dalam kasus pencurian ikan teori ini merupakan bentuk konkrit
dari adanya penahanan pihak-pihak yang telah melakukan pencurian ikan di sekitar
wlayah Indonesia. Hal ini merupakan suatu bentuk inkapasitasi pada pelaku
sehingga pelaku tidak melakukan illegal fishing saat berada dalam penjara.
Namun sayangnya terdapat kelemahan dalam hal ini masih belum menimbulkan efek
jera. Jika kita memenjarakan pelaku pencurian ikan yang merupakan anggota dari
suatu organisasi tertentu, maka tentu saja akan menimbulkan suatu tindakan yang
terus menerus tidak dapat dihentika. Dalam hal ini harusnya yang dilakukan
adalah penghukuman terhadap bagian atas pengelola organisasi tersebut.
3. Teori
Ekspresivistik tentang penghukuman
Teori ini
mempertimbangkan secara serius bahwa sanksi hukum memiliki fungsi komunikatif
atau ekspresif, dan menyarankan bahwa dalam kebajikan fungsi hukuman ini harus
dibenarkan. Ada 2 teori dalam elompok teori ekspresivistik ini yang pertama
adalah teori pendidikan moral dan teori komunikatif dari hukuman. Teori ini
menggabungkan antara pandangan ke depan dan pandangan ke belakang (forward
looking dan backward looking). Melihat ke belakang berarti hukuman dibenarkan
sebagai sensor yang layak. Pandangan ke depan yang fokus pada reformasi dan
rekonsiliasi dimana tujuannya adalah memulihkan hubungan pelaku dan masyarakat.
Dalam kasus pencurian ikan, tindak pidana yang terjadi merupakan bagian dari
kesalahan umum. Dimana masyarakat secara keseluruhan memiliki kepentingan,
dipandang juga sebagai kesalahan umum, tidak hanya kesalahan kepada korban.
Tujuan dari penghukuman ini adalah mengkomunikasikan kepada pelaku adalah
salah, karena pencurian ikan seperti menggunakan bahan peledak dan bahan yang
tidak ramah lingkungan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem yang ada, bahkan
menghilangkan bibit ikan kecil yang juga akan mati apabila menggunakan peledak.
Butuh adanya upaya bersama dari masyarakat untuk dapat mencegah tindak
pencurian ikan ini baik dari sektor pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan
masyarakat yang juga turut mengawasi hal ini.
2. Kaitan antara
Terorisme dengan Model Peradilan Pidana Crime
Control Model
Dalam
sistem peradilan pidana terdapat 2 model peradilan pidana yang umumnya dikenal
yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. Ketika membicarakan
proses dalam sistem peradilan pidana maka tidak lepas dari asas praduga tidak
bersalah. Asas praduga tidak bersalah merupakan hak kepada tersangka untuk
dikatakan tidak bersalah sampai ada keputusan yang sah dari pengadilan terkait dengan
perbuatannya. Ketika asas praduga tidak bersalah lebih menerapkan pada apa yang
dinamakan sebagai proses maka akan dihasilkan Crime Control Model, yang lebih mengutamakan bagaimana penegak
hukum menjalankan proses. Tapi jika sebaliknya lebih mengutamakan pada hak
tersangka yang sesuai dengan prosedur maka termasuk dalam Due Process Model. Seiring dengan perkembangan zaman. Juga ada
paham baru yang berkembang mengenai Restorative
Justice. Restorative Justice merupakan suatu Ideologi yang berfokus pada pengurangan
bahaya yang dimunculkan dari perselisihan dan membuat setiap pihak memaafkan
kesalahan sehingga menjadi suatu kesepakatan yang menyelesaikan perselisihan
tersebut. [8]
dalam kasus terorisme menurut pikir say, model restorative justice sulit untuk diterapkan
pada penanganan teroris, dikarenakan dalam keadaan seperti itu kita dapat
mengaitkan tindakan yang dilakukan sebagai penyerahan diri penuh secara
emosional terhadap kepercayaan yang diyakini benar yang oleh Durkheim disebut
bunuh diri afektual.[9] Paham-paham
yang berkembang di masyarakat pula yang menstigma teroris menjadi suatu
kejahatan yang luar biasa juga menjadi penghambat pelaksanaan Restorative
Justice. Sehingga akan susah model restorative justice dilakukan dalam penangan
teroris
1. Due Process Model
Prinsip
yang ada pada peradilan yang adil dan dan layak (due process) selalu mengacu
pada pentingnya proses pemeriksaan dilaksanakan melalui aturan formal yang
memberikan jaminan terhadap hak individu.[10] Due Process Model merupakan tipe
negative model, yang berarti menekankan pembatasan pada kekuasaan formal.[11]
Proses yang dijalankan merupakan bentuk birokrasi administrasi, yang di
Indonesia terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Due Process Model muncul suatu nilai
baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak
individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan peradilan pidana,
jadi dalam model ini proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter.[12]
Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa hal yang penting dari Due Process Model dalam sistem peradilan
pidana adalah untuk memberikan cara dimana individu akan memiliki hak-hak
mereka yang dapat diamati dan yang akan membantu tersangka untuk menjalani
pengadilan yang adil dimana mereka akan diberi kesempatan untuk membela diri.
Hal ini akan memastikan bahwa proses ini berimbang dan individu dihukum di luar
keraguan yang masuk akal.[13]
Esensi dari konsep Due Process, setiap penegakan dan penerapan hukum pidana
harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum. Oleh
karena itu due process tidak membolehkan adanya pelanggaran terhadap sesuatu
bagian ketentuan hukum dalih guna menegakan bagian hukum yang lain.[14]
2. Crime Control Model
Sistem
nilai yang menggaris bawahi Crime Control
Model berdasarkan rencana penekanan tindak pidana adalah fungsi yang jauh
lebih penting yang harus dilakukan oleh proses pidana. Adanya efisiensi dimana
proses pidana beroperasi melindungi tersangka, menentukan bersalah, menggunakan
tindakan hukum yang tepat kepada orang yang dihukum karena kejahatan.[15] Crime Control Model disebut juga
Alternative Model yang selalu menekankan pada eksistensi dan penggunaan
kekuasaan pada seetiap sudut proses peradilan pidana. Crime Control Model ini mengasusmsikan bahwa tujuan dari peradilan
pidana adalah untuk mengurangi kejahatan dan karena itu tidak harus terlibat
dalam membuktikan bersalah atau tidak bersalah dai tersangka.[16]
Disisi lain dalam hal Crime Control Model
harus berhasil, akan didukung oleh pernyataan bahwa menekan kejahatan adalah
fungsi tertinggi dari sistem peradilan pidana yang harus dilakukan dalam proses
efektif dan cepat.[17]
Model yang lebih cocok digunakan dalam menangani kasus terorisme adalah
menggunakan sistem Crime Control Model.
Secara garis besar pun kecenderungan penegak hukum dalam kasus terorisme lebih
condong pada penggunaan sistem Crime
Control Model yang diatur dalam UU NO.15 tahun 2003 tentang tindak pidana
terorisme seperti dalam contoh penanganan tindak pidana terorisme.
Dalam
proses penyelidikan kecenderungan penegak hukum lebih mengguanakan sistem Crime Control Model yaitu dilihat dari
penggunaan laporan intelejen yang digunakan sebagai bukti permulaan.[18]
Penyelidikan dalam kasus terorisme berati serangkaian tindakan untuk mencari
dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan terorisme
atau yang diduga sebagai aksi terorisme. Pencarian dan usaha menemukan
peristiwa yang diduga sebagai terorisme, dilakukan untuk menentukan penyelidik,
apakah terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan penyelidikan.[19]
Salah satu ketentuan khusus dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dalam masalah penyelidikan adalah keterlibatan lembaga non-judicial, yakni
penggunaan laporan intelejen dalam memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk
dijadikan dasar menetapkan seseorang menjadi tersangka, sehingga dapat
dilakukan penangkapan, penyadapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
Penyalahgunaan dan kesalahan dalam pemeriksaan laporan intelejen dapat
berdampak kepada terlanggarnya HAM seseorang karena hasil pemeriksaannya akan
digunakan oleh aparat untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan. Dilihat dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa model
penegakan hukum dalam proses penyelidikan terhadap terorisme cenderung
menggunakan sistem Crime Control Model.
Dimana penegak hukum diberikan wewenang yang lebih lluas dan lebih longgar
dalam memperoleh bukti permulaan. Hal ini terbukti dari penggunaan laporan
intelejen yang bisa digunakan sebagai bukti permulaan. Dilihat dari Crime Control Model hal ini juga berlaku
pada proses penyidikan,penangkapan dan penahanan yang artinya penegak hukum
telah diberikan kekuasaan yang lebih longgar dalam melakukan prses pidana
terorisme melihat ketentuan khusus pula yang diberikan kepada penegak hukum
mengenai jangka waktu penangkapan yang jauh lebih panjang, dibandingkan dengan
ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP. Dengan diaturnya ketentuan khusus
dalam proses penahanan bahwa penegak hukum dalam mengatasi masalah tindak
pidana terorisme diberikan kewenangan khusus atau dapat dikatakan memeiliki
ketentuan yang lebih longgar dalam menjalankan proses penahanan. Hal itu
terbukri dari ketentuan waktu penahanan yang jauh lebih panjang yang diatur
dalam UU Tindak Pidana terorisme. Dimana tersangka ditahan paling lama 6 (enam)
bulan.[20].
Namun
terdapat beberapa proses yang harus dilakukan berdasarkan Due Process Model seperti
dalam proses penggeledahan dan penyitaan. Proses tersebut harus dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku. Dan penegak hukum harus tunduk pada
aturan hukum tersebut. Karena mengenai proses penggeledahan dan penyitaan tidak
diatur secara khusus dalam UU No.15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Dimana penggeledahan harus dengan izin ketua Pengadilan
Negeri. Dilihat dari proses pemeriksaan pengadilan penegak hukum cenderung pada
penggunaan sistem Crime Control Model.
Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme alat bukti laporan intelejen dan
rekaman dapat digunakan, sementara dalam KUHAP alat bukti berupa laporan
intelejen dan rekaman tidak diperbolehkan. [21]Maka
dapat dikatakan dimana UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan
kewenangan yang lebih pada aparat penegak hukum dalam menangani masalah
terorisme.
Dapat
disimpulkan bahwa dalam penanganan terorisme, Crime Control Model memiliki nilai lebih dibandingkan model
peradilan pidana yang lain. Dan juga lebih banyak digunakan dalam praktiknya
untuk mengatasi masalah terorisme. Namun tiap-tiap proses tentunya memiliki penyelesaian
masing-masing sehingga Crime Control
Model tidak sepenuhnya menjadi model peradilan pidana yang digunakan dalam
proses penindakan kasus terorisme. Adapula proses yang menggunakan model Due Process Model, seperti dalam hak
korban yang diatur dalam Pasal 36 yang menyebutkan masalah kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi yang berdasarkan Due Process Model. Tetap harus ada keseimbangan pemakaina model
peradilan pidana antara Crime Control
Model dan Due Process Model.
[1] Echols
and Shadily. 2002. Kamus bahasa Inggris-Indonesia
[2] FAO.2001.
International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate illegal,
Unreported and Unregulated Fishing. Rome.Page 24
[3]
Christopher W Morris dalam Kemal Darmawan Olii. 2015. Sosiologi Peradilan
Pidana. Hlm.26
[4] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum
Pidana I (Stelsel Pidan, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan, dan Batas
Belakunya Hukum Pidana), Cetakan 7, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hlm
157.
[6] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana (Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Hlm 96-97
[8] Mohammad Kemal D dan Mohammad Irvan Oli’i. 2015. Sosiologi Peradilan Pidana.hlm 83
[9] Muhammad
Mustofa. Metode Penelitian Kriminologi. hlm 126
[10] Anthon
F. Susanto. Wajah Peradilan Kita-Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan,
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. Hlm 127
[11] Romli
Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Hlm 11
[12] Fanny
Fajriah 2015. Model Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Terorisme. Skripsi UIN
Syarih Hidayatullah hlm 35
[13]
Mohammad Kemal D dan Mohammad Irvan Olii.2015. Sosiologi Peradilan Pidana.
hlm.78
[14] M.Yahya
Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Hlm 95
[15] Fanny
Fajriah. 2015. Model Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Terorisme. Skripsi UIN
Syarih Hidayatullah hlm.36
[17] Ibid.
[18] Fanny
Fajriah. Op.Cit., hlm 80
[19] Abdul
Wahid dkk. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Hukum dan HAM. Hlm 104
[20] Fanny
Fajriah. 2015. Model Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Terorisme. Skripsi UIN
Syarih Hidayatullah.hlm 53
[21] Ibid.,
hlm.64
Komentar