Sosiologi Kepenjaraan Indonesia
Penyebab-penyebab Terjadinya
Kematian Tahanan dalam Penjara
BAB I
A.
Latar Belakang
Penjara
merupakan institusi yang diharapkan berperan untuk melakukan transformasi
seorang kriminal menjadi warga negara yang baik. Di dalam pelaksanaan pidana
penjara menimbulkan berbagai derita selain pembatasan kebebasan bergerak.
Permasalahan yangada dalam pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan dengan sistem
pemasyarakatan di Indonesia sangatlah banyak, salah satunya adalah permasalahan
kesehatan yang ada dalam penjara. Permasalahan ini kemudian menimbulkan
beberapa masalah turunan hingga menyebabkan kematian dalam penjara. PBB
mensahkan/ menyetujui Standard Minimum Rules The Treatment of Prisoners (yang
disebut SMR) sebagai upaya perlakuan terhadap terpidana dan rang-orang tahanan
yang dapat diterima dari sudut penologi maupun hak asasi manusia dan
menganjurkan kepada setiap negara anggotanya untuk menerapkan SMR tersebut
sesuai kondisi setempat.[1]
Seperti yang dikutip dalam berita Tempo.Co Sebanyak 240 penghuni Lembaga
Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang, terserang penyakit leptospirosis. Dua di
antaranya meninggal, yaitu Mochammad Robi, 38 tahun, dan Fahrid Fajari, 19
tahun. Hal ini disebabkan air sumur yang diduga telah tercemar urine tikus yang
membawa bakteri leptospira. Air minum yang dikonsumsi sudah diambil contohnya
untuk diuji di laboratorium. Selain itu, petugas medis menemukan bakteri
salmonella, penyebab penyakit tifus.[2] Permasalahan
kematian dalam penjara tidak hanya dikarenakan masalah kesehatan namun adapula
masalah perlakuan terhadap narapidana, baik antar narapidana maupun antara
narapidana dan petugas penjara. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemasyarakatan
yang dianggap baik sebagai pelakuan terhadap narapidana menghadapi berbagai
problema.
B. Pokok
Masalah
Narapidana
yang masuk kedalam lembaga pemasyarakatan diharapkan menjadi lebih baik ketika
keluar dari lembaga pemasyarakatan tersebut. Namun hal ini menghadapi berbagai
permasalahan saat berada di dalam penjara tersebut. Narapidana harus
beradaptasi di dalam penjara agar bertahan hidup. Dalam makalah kali ini akan
dibahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kematian di dalam
penjara.
BAB II
Kerangka Pemikiran
Donald
Clemmer[3] mengemukakan
bahwa adanya prisonization dalam penjara. Prisonisasi “ the taking on, in greater or lesser degree, of the folkways, mores,
customs, and general culture of the pententiary.” Dengan adanya prisonisasi
maka seseorang yang masuk dalam penjara akan dihadapkan pada berbagai
permasalahan, yang hidup dan berkembang dalam penjara. Permasalahan tersebut
tidak hanya berasal dari narapidana yang lain tetapi juga dari petugas. Adanya
prisonisasi ini membuat narapidana yang sebelumnya (tidak) jahat, menjadi
(lebih) jahat. Dengan demikian tidak berlebihan jika ada anggapan bahwa lembaga
pemasyarakatan adalah perguruan tinggi kejahatan. Dalam konsep pemasyarakatan
terkait konsep terpidana dan narapidana. Terpidana ialah istilah “seseorang
yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
yang tetap”. Sedangkan narapidana adalah seseorang yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di LAPAS.[4] Berbagai
pandangan dan pendapat ahli maupun praktisi tentang masalah pelaksanaan pidana
penjara bak itu memandangnya sebagai suatu yang buruk atau suatu yang
konstruktif, namun semua itu tidak bisa menjamin apakah narapidana tersebut
memperbaiki perilaku narapidana ataupun mengurangi tingkat residivisme.[5]
Didalam
penjara narapidana mengalami banyak tekanan diantaranya pembatasan hak-hak. Deprivasi
yang dialami oleh narapidana adalah[6]:
1. Deprivation
of liberty (pergi kemana yang disukainya)
2. Deprivation
of goods and services (memanfaatkan barang dan layanan)
3. Deprivation
of heterosexual relationship (menikmati hubungan heterosexual)
4. Deprivation
of autonomy (untuk tidak dikuasai oleh aturan-aturan yang ketat)
5. Deprivation
of security (untuk mempunyai rasa aman dalam lingkungannya)
Hal
inilah yang dianggap Sykes membuat seorang terpidana cenderung menjadi
seseorang yang susah diatur dan kadang melawan kepada petugas. Menurut Arif
Gosita[7] usaha
penegakan hukum kerapkali pelaksanaannya malahan menimbulkan akibat-akibat yang
tidak diinginkan yang merugikan, menimbulkan korban fisik, mental dan sosial.
Selanjutnya dalam pelaksanaan hukum terjadi apa yang dikatakan dengan
“kejahatan terhadap para penjahat” (crime against criminals). Maka timbullah
apa yang dinamakan viktimisasi struktural. Artinya, penimbulan korban oleh
sistem-sistem struktur yang ada, yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu
demi kepentingan sendiri atau orang lain. Berdasarkan Tesis yang berjudul upaya
perwujudan kompensasi oleh Ahmad Yusuf, Kematian Warga Binaan Pemasyarakatan
meliputi: a. Sakit biasa b.Kecelakaan (karena perkelahian), c. Bunuh Diri, d.
HIV/AIDS Positif.
BAB III
ANALISIS
Orang
tahanan atau narapidana, direnggut kebebasannya oleh negara atas dasar hukum.
Kemungkinan untuk menerima resiko diperlakukan buruk, diinterogasi dengan
menggunakan kekerasan untuk memperoleh pengakuan, disiksa, penghilangan secara
paksa, hingga kepada menerima kondisi tempat tahanan yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia, sangat mudah dan terbuka menimpa mereka. Apalagi
sudah terlanjur berkembang opini dalam masyarakat, bahwa orang-orang yang sudah
hilang kemerdekaannya itu memang sudah tidak mempunyai hak apapun lagi.[8] Dalam
pidana penjara ini menimbulkan derita lai khususnya di dalam penjara. Salah
satunya yaitu akses kesehatan dalam penjara yang menjadi masalah pemidanaan di
Indonesia yang juga berkaitan dengan hak asasi manusia. Penegakan hukum dari
satu pihak bisa kita lihat sebagai perlindungan atas beberapa hak asasi yang
dimiliki para warga masyarakat dari tindakan yang merugikan oleh sesamanya.
Sedangkan dari pihak lain dapat kita lihat bahwa justru dalam penegakkan hukum
ini mudah sekali terjadi penyimpangan atau bahkan pelanggaran atas hak asasi
manusia.
Kewajiban
negara untuk menegakkan hak-hak asasi manusia tertulis dalam mukaddimah
Universal Declaration of Human Rights yaitu “Pernyataan umum tentang hak-hak
asasi manusia ini sebagai pelaksanaan umum bagi semua bangsa dan semua negara,
dengan tujuan bahwa setiap orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan
senantiasa mengingat pernyataan ini akan berusaha untuk mempertinggi
penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan tindakan
progresif yang bersifat nasional maupun internasional.[9] Leonard
Broom dan Philip Selznick[10] mengemukakan
pandangannya mengenai penanganan masalah hukum secara administratif. Disebut
administratif dikarenakan
·
Para petugas mempunyai tugas-tugas
tertentu untuk dilaksanakan dan tujuan-tujuan yang harus dicapai, mereka tidak
pasif sebagai penentu keadilan
·
Para petugas menjadi milik organisasi
yang mempunyai persoalan-persoalan intern dan bergantung pada desakan atau
tekanan dari luar.
Sebagai
konsekuensinya maka orang-orang yang menentukan nasib orang lain tadi tidak
sebagai penimbang yang betul-betul bebas tetapi selaku pegawai yang mau tidak
mau harus menjaga kemauan organisasi. Maka usaha pihak kepolisian dan lembaga
pemasyarakatan untuk menanggulangi kejahatan dan pembinaan warga pemasyarakatan
tidak lepas dari nilai-nilai yang ada dalam organisasi kepolisian dan lembaga
pemasyarakatan. Pelanggaran hak asasi manusia dalam kehidupan bagi petugas LP,
dengan terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang
narapidana dalam penjara dan perbuatan oknum petugas LP terhadap Warga Binaan
Pemasyarakat baik dalam bentuk kekerasan atau penganiayaan. Petugas LP
melakukan pembiaran dengan tidak merawat dan mencegah para tahanan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain (bunuh diri dan yang mati diakibatkan
penyakit). Kebutuhan pokok lainnya seperti makanan yang dijatah dan tidak
memiliki kandungan gizi yang memadai. Narapidana yang sehat dan sakit
dikelompokkan dalam sel yang sama.
Contoh
kasus yang dilansir oleh CnnIndonesia[11].
IW yang merupakan salah satu penghuni LAPAS Narkotika di Cipinang, sebagai
narapidana yang terkena HIV, narapidana seringkali mendapat perlakuan
diskriminatif dari sesama pengguni lapas. Kepala Poliklinik LP Narkotika
Cipinang, Yusman, mengatakan sepanjang 2014 setidaknya tercatat sudah 10
tahanan yang meninggal karena virus HIV di LP Narkotika Cipinang. Hal itu
terhitung sejak Januari-November 2014. Berdasarkan data dari Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi Jakarta, per November 2014 tercatat 744 tahanan di
enam rutan dan lapas wilayah DKI Jakarta dinyatakan positif HIV/AIDS. Sementara
itu, terdapat 194 dari 2.700 tahanan LP Narkotika Cipinang yang menderita
HIV/AIDS. Kepala Poliklinik LAPAS juga mengatakan mayoritas narapidana
yang menderita HIV/AIDS tertular penyakit tersebut melalui jarum suntik.
Angkanya cukup tinggi, yakni mencapai 98 persen. Untuk mengatasi penyebaran
virus, pihaknya melakukan beberapa tahapan pengobatan. Petugas kesehatan LP
awalnya melakukan pemeriksaan pada seluruh narapidana yang baru masuk tahanan.
Kemudian, narapidana yang memiliki potensi virus HIV akan mengikuti program
Provider Intensive Therapy and Counseling (PTIC). Kesehatan narapidana/tahanan
berhubungan erat dengan kesehatan dalam masyarakat. Tanpa intervensi kesehatan
masyarakat yang tepat, Lapas/rutan dapat menjadi tempat yang potensial bagi
penyebaran HIV. Walaupun demikian, dengan langkah-langkah yang tepat
Lapas/Rutan juga dapat menawarkan peluang pencegahan yang baik.[12]
Proses penyebaran HIV/
AIDS di dalam Lapas/rutan.
Dengan
tingginya resiko penyebaran HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan tentunya karena
Lapas/ rutan terdapat faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya penyebaran dan
penularan HIV/AIDS.[13]
Lapas/rutan menempatkan orang dalam keadaan yang berisiko tinggi terhadap
penularan penyakit karena:34 a) Tingkat hunian yang sesak, yang menyebabkan
iklim kekerasan serta sanitasi yang buruk. b) Kontrol infeksi yang buruk:
fasilitas kesehatan & pengawasan infeksi sangat terbatas. c) Penggunaan
narkoba melalui jarum suntik secara bersama. Bila ada pengguna jarum suntik di
masyarakat, maka kemungkinan juga akan ada penggunaan jarum suntik di dalam
Lapas/rutan.
Pada
keadaan yang sulit untuk memperoleh jarum suntik maka jarum suntik yang ada pun
digunakan secara bergantian dan bersama-sama. Indikasi penggunaan jarum suntik
di dalam Lapas/rutan dapat didasarkan pada beberapa fakta, antara lain:
·
Karena beberapa narapidana/tahanan yang
mengalami kondisi ketagihan sehingga berusaha memasukkan narkoba kedalam
Lapas/rutan;
·
Adanya indikasi keterlibatan petugas
pada kasus masuknya narkoba ke dalam Lapas/rutan;
·
Diketemukannya peralatan suntik,
sabu-sabu dan ganja di dalam Lapas/rutan;
·
Hasil tes urine terhadap narapidana/tahanan
yang hasilnya positif menggunakan narkoba;
·
Narapidana lebih cerdik walau secanggih
alat yang dipergunakan oleh petugas mencegah masuknya narkoba.35
·
Penyuntikan yang tidak aman: peralatan
menyuntik susah didapatkan dan menyebabkan narapidana menggunakan jarum suntik
(atau peralatan buatan sendiri dari ujung bolpoin) secara bergantian tanpa
membersihkannya terlebih dahulu.
·
Perilaku seksual yang tidak aman dan
pemerkosaan: hubungan seks di antara laki laki sangat umum, namun tidak
tersedia kondom.
Hubungan
seksual antar narapidana/tahanan kerap kali menimbulkan Infeksi Menular Seksual
(IMS), dulu disebut penyakit kelamin adalah penyakit yang salah satu
penularannya melalui hubungan seksual. IMS terjadi di Lapas/rutan, karena
kemungkinan narapidana telah terinfeksi IMS sebelum masuk dan/atau melalui
hubungan seks di dalam Lapas/rutan. Hubungan seks di dalam Lapas/rutan bisa
terjadi atas dasar suka sama suka, terpaksa karena intimidasi, alasan
perlindungan dan pemerkosaan. Penelitian di seluruh dunia menunjukkan hubungan
seks antara pria dengan pria di dalam Lapas/rutan adalah hal yang biasa. Dan
karena kondom jarang tersedia, maka risiko tertular/menularkan IMS dan HIV/AIDS
merupakan suatu realitas bagi para narapidana.
BAB
IV
KESIMPULAN
Berdasarkan
makalah diatas dapat disimpulkan bahwa penjara menjadi suatu tempat pelaku
kejahatan belajar tingkat kejahatan yang lebih tinggi. Di dalam penjara,
narapidana pun harus beradaptasi dengan lingkungan penjara yang baru sehingga
tak sedikit narapidana yang akan terkena beberapa penyakit dari penjara seperti
HIV/AIDS yang menjadi salah satu penyebab kematian dalam penjara. Faktor
kesehatan seperti tindak lanjut dari kedokteran setempat dan petugas penjara
yang menggabungkan antara narapidana yang sehat dengan narapidana yang sakit
menjadikan penyebaran virus ini semakin meluas. Penyebab lainnya yaitu
perlakuan yang buruk dari petugas penjara yang bertindak semena-mena terhadap
narapidana. Faktor makanan yang sedikit dengan kondisi penjara yang semakin
penuh sehingga narapidana putus asa dan mengakhiri hidupnya, dengan cara bunuh
diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang menyebabkan
narapidana dalam penjara mengalami kematian. Penjara yang harusnya menjadi
suatu tempat reintegrasi kembali kepada masyarakat malahan menjadi suatu tempat
pemutusan rantai kehidupan dengan masyarakat.
Daftar
Pustaka
Anha Gonggong
dkk. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Dwi Jaya Karya.
1995
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan. Jakarta:
Akademika Presindo 1993 hlm 122
Departemen
Kehakiman, Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan. Pasal 1 ke-7 dan ke-8
Eko Widianto. https://nasional.tempo.co/read/news/2016/07/18/058788504/ratusan-narapidana-malang-terkena-leptospirosis-dua-tewas
diakses pada 23 Okt. 16 pukul 13:49
Elsam.
Hak-hak Narapidana. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 1996
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141201152047-20-15000/sepuluh-napi-lp-cipinang-meninggal-karena-hiv-aids/
diakses pada 25 Oktober 2016 Pukul 12:07
Kemal
Darmawan, Teori Kriminologi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000)
Kenneth
J.Peak, Justice Administration, Police, Courts and Corrections Management,
Prentice Hall, (New Jersey:1995) hlm 66
Leonard Broom & Philip Selnick dikutip oleh
Henkie Lilikwata dalam Prosedur Penahanan Amara Harapan dan Kenyataan. Bahana.
Buletin Informasi No.5 Tahun I, November-Desember Jakarta: Pusat Pelayanan dan
Keadilan Hukum
Leonard
Otland, Justice, Punishment, Treatment, The Correctional Process, The Free
Press. 1973, hlm 174. Sebagaimanan dikutip oleh Made Darma Weda, dalam buku,
Kriminologi cet ke 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)hlm 122
Mardjono
Reksodiputro. Bunga Rampai dalam Sistem Peradilan PIdana. Jakarta: Pusat
pelayanan keadilan dan Pengabdian hukum Hlm 164
Yusuf,
Ahmad. Upaya Perwujudan Kompensasi Terhadap Pihak Keluarga/Ahli Waris Korban
“Kematian Dalam Tahanan atau Penjara”. Tesis.2005. Universitas Indonesia
[1] Elsam.
Hak-hak Narapidana. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 1996
[2] Eko
Widianto. https://nasional.tempo.co/read/news/2016/07/18/058788504/ratusan-narapidana-malang-terkena-leptospirosis-dua-tewas
diakses pada 23 Okt. 16 pukul 13:49
[3] Leonard
Otland, Justice, Punishment, Treatment, The Correctional Process, The Free
Press. 1973, hlm 174. Sebagaimanan dikutip oleh Made Darma Weda, dalam buku,
Kriminologi cet ke 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)hlm 122
[4] Departemen
Kehakiman, Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan. Pasal 1 ke-7 dan ke-8
[5] Kenneth
J.Peak, Justice Administration, Police, Courts and Corrections Management,
Prentice Hall, (New Jersey:1995) hlm 66
[6] Mardjono
Reksodiputro. Bunga Rampai dalam Sistem Peradilan PIdana. Jakarta: Pusat
pelayanan keadilan dan Pengabdian hukum Hlm 164
[7] Arif
Gosita, Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Presindo 1993 hlm 122
[8] Elsam,
Hak-hak narapidana, Jakarta 1996
[9] Anha
Gonggong dkk. Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Dwi
Jaya Karya. 1995
[10] Leonard
Broom & Philip Selnick dikutip oleh Henkie Lilikwata dalam Prosedur
Penahanan Amara Harapan dan Kenyataan. Bahana. Buletin Informasi No.5 Tahun I,
November-Desember Jakarta: Pusat Pelayanan dan Keadilan Hukum
[11] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20141201152047-20-15000/sepuluh-napi-lp-cipinang-meninggal-karena-hiv-aids/
diakses pada 25 Oktober 2016 Pukul 12:07
[12]
Departemen Kesehatan, ”Estimasi Nasional Infeksi HIV Pada Orang Dewasa
Indonesia, Tahun 2003". Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan,
2003
[13] 33
Strategi Penanggulangan HIV/ AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga
Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009, (Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jendral
Pemasyarakatan), 2005, hal. 11-12
Komentar