White Collar Crime
Soal:
1. Pilihlah
satu topik terkait white collar crime sebagai bahan penulisan mini paper anda.
Pilihan konsep tersebut adalah (1) Occupational Crime, (2) Bureaucrational
Crime, (3) Corporate Crime, (4) Governmental Crime, (5) Cyber Related Crime.
2. Setelah
saudara menentukan 1 (satu) pilihan topik mulailah menulis (4-6 lembar isi
saja). Tulisan tersebut harus memuat:
·
Konsep/teori terkait topik pilihan anda
·
Tokoh/ahli yang terkemuka dalam konsep
tersebut
·
Identifikasi
kejahatan white collar crime yang konsisten dengan teori/konsep tersebut
3. Saudara
dapat menggunakan referensi dari kerja kelompok saudara namun tidak boleh ada
kesamaan penulisan sehingga dapat dianggap sebagai plagiarisme
Occupational Crime dalam Tipologi White
Collar Crime oleh Gottschalk: Studi Kasus Korupsi Ratu Atut
Pendahuluan
Kejahatan
menjadi suatu fenomena yang dapat ditemukan di berbagai lapisan masyarakat
termasuk lapisan masyarakat kelas atas, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan
secara tradisional, seperti kemiskinan, atau faktor-faktor kebutuhan yang
bersifat individual. Dalam survei yang dilakukan oleh Lembaga Trasparansi
International mengenai indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) pada tahun 2015 Indonesia menempati
peringkat ke-88 dengan skor CPI 36.[1] Skor maksimal CPI adalah
100 yang berarti semakin besar skor yang didapat maka semakin bersih dari
korupsi. Walaupun mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 yaitu peringkat
107, namun kejahatan korupsi yang terjadi dalam pemerintahan ini semakin marak
diberitakan di Indonesia yang kemudian menjadikan masyarakat mengalami krisis
kepercayaan terhadap pemerintah. Konsepsi mengenai Kejahatan kerah putih (White Collar Crime) telah ada sejak
tahun 1939 yang didefinisikan oleh Edwin H. Sutherland sebagai : a violation of criminal law by the person of
the upper socio-economic class in the course of his occupational activities (Suatu
bentuk kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki status sosial tinggi
dan dihormati yang berhubungan dengan pekerjaannya)[2]. Yang berarti bentuk kejahatan kerah putih merupakan kejahatan
yang dilakukan oleh individu-individu tertentu dan khusus. Kekhususan tersebut
terletak pada status sosial ekonomi yang bersangkutan, yang berasal dari
ekonomi atas dan berkaitan dengan aktivitas pekerjaannya dan atau jabatan yang
bersangkutan.[3]
Petter
Gottschalk dalam artikel berjudul Crime:The
Amount and disparity of sentencing- a comparison of corporate and occupational
white collar criminals, membedakan kejahatan kerah putih menjadi 2 yaitu
untuk kepentingan pribadi yang disebut dengan kejahatan okupasi (occupational crime) dan kepentingan
sekelompok orang di sebuah perusahaan (corporate
crime). Dalam perkembangannya kejahatan okupasi memiliki pengaruh yang
menguntungkan bagi pelakunya, sehingga tingkat perkembangannya semakin
meningkat dibanding kejahatan korporat.
Pembahasan
Kejahatan
kerah putih merujuk pada posisi kerja seperti dalam posisi eksekutif, yang
mengacu pada tingkat atas dalam kejahatan kerja (Collins & Schmidt,1993).[4] Perbedaan antara kejahatan
korporasi dan kejahatan okupasi adalah pada tujuan kepentingan yang ada,
kejahatan korporasi untuk kepentingan organisasi, kejahatan okupasi untuk
kepentingan individu sendiri (Hansen, 2009).[5] Sebagian besar individu
atau kelompok-kelompok kecil yang bekerja memiliki hubungan dengan kejahatan
okupasi ini. Termasuk di dalamnya kegiatan menggelapkan uang dari majikan,
mencuri barang dagangan, penggelapan pajak penghasilan, memanipulasi penjualan,
penipuan (Bookman,2008). Kejahatan okupasi terkadang berlabel kejahatan elit.
Hansen (2009) berpendapat bahwa masalah kejahatan di dalam pekerjaan dilakukan
oleh orang yang memiliki kepercayaan dalam organisasi. Heath (2008) menemukan
bahwa kejahatan okupasi yang lebih berat cenderung dilakukan oleh individu yang
memiliki akses kuat terhadap rantai komando atas dalam perusahaan.
Petter
Gottschalk dalam penelitiannya di Norwegia terhadap 305 sampel yang diteliti
menghasilkan data bahwa 263 kasus tergolong occupational
crime dan 42 kasus corporate crime.
Sebagian
besar negara-negara maju telah mengalami sejumlah kasus kejahatan okupasi dalam
beberapa dekade terakhir. Peltier-Rivest (2009) mendefinisikan penipuan kerja
sebagai penggunaan kedudukan seseorang untuk memperkaya diri pribadi melalui
penyalahgunaan yang disengaja atau kesalahan sumber daya organisasi yang
memperkerjakan. Kecurangan yang dilakukan biasanya dilakukan oleh karyawan,
manajer, eksekutif atau oleh pemilik organisasi yang korbannya adalah
organisasi itu sendiri yang dianggap sebagai penipuan kerja atau penipuan
internal. Hal yang dapat dilakukan berupa penipuan laporan keuangan, angka laba
yang tidak akurat (Pickett & Pickett, 2002).[6] Peltier-Rivest (2009)
mempelajari karakteristik organisasi yang menjadi korban penipuan kerja.
Kategori yang paling sering terkena penipuan dalam penelitian ini adalah
penyelewengan aset (81% kasus), korupsi (35%), dan laporan penipuan (10%).
Penyelewengan aset berupa uang tunai ataupun non tunai. Skema kas mencakup
pencurian uang tunai, skimming atau penipuan dalam biaya pengeluaran. Skema
non-kas yang ada meliputi pencurian persediaan, peralatan, informasi
kepemilikan, dan surat-surat berharga. Korban yang sering terkena penipuan
kerja adalah perusahaan swasta, lembaga pemerintah, dan perusahaan publik.[7]
Di
Indonesia perkembangan kejahatan white collar crime dalam bentuk kejahatan
okupasi mengalami peningkatan dalam bentuk korupsi yang diberitakan oleh media.
Tidak hanya itu, tingkat kejahatan okupasi di Indonesia berkembang juga dari
segi pelaku yang melakukan kejahatan. Tingkat partisipasi perempuan dalam
sektor publik khususnya pemerintahan semakin meningkat sehingga tingkat pelaku
perempuan juga semakin meningkat.[8] Hal ini berbeda dengan
penelitian Gottschalk dari 305 sampel yang ada sebagian besar pelakunya adalah
laki-laki dan hanya sedikit pelaku perempuan. Penelitian yang dilakukan
Gottschalk di Norwegia pada tahun 2011 tersebut mendeteksi bahwa penjahat kerah
putih perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki. Salah satu penyebabnya
adalah karena Norwegia sebagai negara yang egaliter.
Di
Indonesia peran perempuan sudah mulai diakui salah satu contohnya adalah mantan
Gubernur Banten yaitu Ratu Atut Choisiyah yang telah menjabat selama 8 tahun
menjadi Gubernur Banten kemudian terkena 2 kasus kejahatan okupasi di tahun
2012 diantaranya kasus sengketa pemilukada Banten. Ratu Atut bersama adiknya
menyuap sebesar 1 milyar kepada Akil Muktar (yang kala itu menjabat menjadi
ketua MK) melalui seorang advokat yaitu Susi Tur Andayani. Kasus kedua yaitu
korupsi pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan Provinsi Banten 2011-2013
yang sampai saat ini masih ditelusuri kasusnya oleh kepolisian.[9] Friedrichs (2009)
mengklaim adanya kebijakan konvensional yang menunjukkan bahwa perempuan
jumlahnya lebih sedikit dibanding laki-laki dalam mayoritas penjahat.
Perbandingan yang ada bahkan 1 banding 6 untuk laki-laki. Dodge (2009)
berpendapat bahwa peranan perempuan dalam kejahatan kerah putih telah muncul
sebagai topik utama dalam abad ke-21, tetapi hal ini masih menjadi hal yang
kurang diperhatikan dalam kriminologi.
Penutup
Kejahatan
kerah putih merupakan kejahatan yang didefinisikan sebagai kegiatan
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan
atau akses terhadap organisasi bisnis tertentu yang didalamnya memiliki untung
yang besar dan perilakunya memiliki efek kerugian tidak langsung pada
masyarakat. Kejahatan yang paling banyak terjadi di Indonesia dan Norwegia
adalah kejahatan okupasi yang bertujuan untuk memperkaya diri demi kepentingan
pribadi. Penjelasan mengenai kejahatan kerah putih masih bias gender. Dimana
peningkatan jumlah kejahatan okupasi yang ada juga berkaitan dengan peningkatan
pelaku kejahatan kerah putih wanita, namun hal ini tidak berlaku di negara
Norwegia yang merupakan bentuk negara yang egaliter. Proses keterbukaan
kesempatan bagi perempuan dalam berpartisipasi di sektor pekerjaan, politik dan
sosial nantinya akan menyebabkan semakin besar pula kemungkinan terjadinya
perempuan menjadi pelaku kejahatan kerah putih.
Daftar
Pustaka
Arnulf J. Ketil dan Gottschalk
Petter, Principals, Agents and
Entrepreneurs in White-Collar Crime: An Empirical Typology of White-Collar
Criminals in a National Sample, Oslo: BI Norwegian Business School, 2012
Hasan Ramdhan. 2014. Jurnal Perempuan: Perempuan dan Korupsi.
Petter Gottschalk. Policing White Collar Crime. CRC Press: Taylor & Francis Group.
Sutherland. Edwin H, 1983. White Collar Crime, Version Sutherland, New Haven and London: Yale
University Press
Yosafat
Rizanto. 2009. Tesis: Implementasi Sistem
Pemasyarakatan dikaitkan dengan pembinaan terhadap narapidana kasus White
Collar Crime. Universitas Indonesia.
http://www.jurnalperempuan.org/perempuan-dan-korupsi.html
diakses pada 21 Oktober 2016 pukul 02:40
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/063544863/ratu-atut-kini-tersangka-3-kasus-korupsi-banten diakses
pada 21 Oktober 2016 pukul 01:40
https://m.tempo.co/read/news/2016/01/27/063739957/ini-daftar-peringkat-korupsi-dunia-indonesia-urutan-berapa diakses pada 20 Oktober 2016
pukul 23:42
[1] https://m.tempo.co/read/news/2016/01/27/063739957/ini-daftar-peringkat-korupsi-dunia-indonesia-urutan-berapa
diakses pada 20 Oktober 2016 pukul 23:42
[2]
Sutherland.
Edwin H, 1983. White Collar Crime, Version Sutherland, New Haven and London:
Yale University Press hlm 7
[3]
Yosafat Rizanto. 2009. Tesis: Implementasi Sistem Pemasyarakatan dikaitkan
dengan pembinaan terhadap narapidana kasus White Collar Crime. Universitas
Indonesia. Hlm 29
[4] Petter
Gottschalk. Policing White Collar Crime. hlm 32
[5] Ibid.,hlm
45
[6] Ibid.,hlm
9-10
[7] Ibid.,
hlm 45
[8] Hasan
Ramdhan. 2014. Jurnal Perempuan: Perempuan dan Korupsi. http://www.jurnalperempuan.org/perempuan-dan-korupsi.html
diakses pada 21 Oktober 2016 pukul 02:40
[9] http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/063544863/ratu-atut-kini-tersangka-3-kasus-korupsi-banten
Komentar