De-escalating Conflict


De-escalating Conflict
Disusun: Monika dan Noer Fibi



BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam sebuah kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari adanya sebuah konflik. Konflik bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Beragam macam konflik sering kerap sekali muncul yang mana biasanya didasari oleh adanya perbedaan nilai –nilai kepentingan. Konflik tidak hanya terdiri dari dua pihak atau lebih, namun konflik bisa saja terjadi dalam bentuk suatu komunitas. Selain itu, Konflik mengacu pada perbedaan tujuan yang berbeda dalam memperjuangkan kepentingan yang lebih mengedepankan emosi dari pada akal, yang mengekspresikan dengan kekerasan baik verbal atau non verbal. Bukan hanya itu, konflik biasanya didasarkan pada sebuah perbedaan tujuan, sasaran, atau harapan diantara para individu atau kelompok mengalami ketidaksepakatan dalam hal berpendapat. Dalam sebuah konflik, terdapat dua hal yang perlu menjadi perhatian yaitu escalating dan descalating. Esacalating merupakan tahap dimana konflik menjadi semakin parah dan descalating merupakan tahap dimana konflik tersebut berangsur-angsur membaik atau cara untuk menururnkan konflik terjadi. Fokus pembahasan makalah kali ini ialah mengenai bagaimana proses deskalasi suatu konflik itu terjadi, terdapat tiga proses yang mendukung diantaranya proses internal, interaksi, dan melibatkan pihak dari luar kelompok yang bertikai.
Deskalasi suatu konflik tidak hanya didukung oleh proses yang ada tetapi juga didukung oleh perubahan kondisi. Perubahan ini dapat dilihat pada kasus di Afrika antara kulit hitam dan kulit putih, kasus Palestina dan Israel di mana konflik di antara mereka  menjulang tinggi dan bahkan dikategorikan sebagai isu internasional yang menjadi banyak perhatian. Terdapat beberapa perubahan kondisi yang dapat memicu terjadinya deskalasi konflik yaitu perubahan internal, hubungan, dan konteks. Deskalasi suatu konflik juga bisa terjadi melalui kebijakan.
Menurut Wirutomo (2012)  Indonesia memang memiliki cerita sendiri mengenai sebuah konflik itu terjadi. Isi dari pada tulisa itu diantaranya adalah:
ciri sekaligus masalah sosiologis masyarakat Indonesia yang paling utama adalah masyarakat yang secara formal berada dalam suatu negara kesatuan, namun memiliki stratifikasi, diferensiasi, heterogenitas serta pluralitas (kemajemukan) yang tinggi. Dengan kata lain, Indonesia merupakan negara kesatuan dengan kompleksitas sosial budaya yang tingggi, sehingga cenderung memiliki berbagai kerawanan dalam proses integrasinya.
Oleh karena itu,  potensi konflik yang mengganggu integrasi bangsa Indonesia tidak lepas dari kompleksitas yang terkandung di negara bangsa ini sendiri. Mengacu pada kondisi seperti ini, maka tidak mengherankan bahwa dalam perjalanan sejarahnya bangsa ini mempunyai warna gelap yang ditimbulkan oleh berbagai konflik.
1.2 Permasalahan     
Salah satu konflik yang paling menonjol dalam masyarakat Indonesia adalah konflik etnis. Hal ini pun ditegaskan oleh Huntington (1997) yang memberi penegasan bahwa adanya kompleksitas sosial dan budaya (different cultural entities) dapat membawa suasana konflik antar kelompok etnis. Dalam masyarakat multi-etnik, isu diskriminasi terhadap kelompok etnik tertentu terutama yang minoritas, juga menjadi masalah penting untuk dipecahkan dalam pertumbuhan masyarakat Indonesia ke depan (Wirutomo 2012). Jika masalah ini tidak dipecahkan, maka hubungan antar kelompok etnis akan terus berada dalam ranah konflik. Oleh karena itu, de-eskalasi konflik merupakan sesuatu yang penting.
            Konflik antara etnis Tionghoa dan pribumi merupakan konflik yang telah merasuk dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Sejak zaman kolonial kedua pihak telah berada dalam posisi yang berlawanan. Bahkan meledaknya api kebencian pada peristiwa kerusuhan 1998 dapat dikatakan sebagai puncak dari konflik keduanya di mana etnis Tionghoa harus menelan kerugian baik dari segi materi maupun psikis pada peristiwa traumatis tersebut. Apa yang dilakukan oleh kelompok pribumi merupakan ledakan dari kebencian terhadap etnis Tionghoa selama berpuluh-puluh tahun yang telah tertanam dalam benak mereka. Namun demikian, ada berbagai proses pasca kerusuhan tersebut yang membawa pada de-eskalasi konflik keduanya.

1.3 Pertanyaan Permasalahan
            Berdasarkan rumusan permasalahan di atas makalah ini akan berusaha menjawab beberapa pertanyaan. Adapun pertanyaan tersebut adalah.
1.      Apa kategori konflik antara etnis Tionghoa dan pribumi?
2.      Apa yang dilakukan oleh pihak luar (pemerintah) untuk mengatasi puncak konflik keduanya yang nampak pada kerusuhan 1998 sehingga tercipta de-eskalasi konflik?
3.      Bagaimana kondisi sosial-politik memengaruhi de-eskalasi konflik keduanya pasca kerusuhan 1998?

















BAB II
KONSEP
2.1 Proses De-eskalasi

2.1.1 Proses Internal:
Berkontribusi terhadap anggota kelompok lawan untuk mempertimbangkan tanggung jawab mereka sendiri terhadap konflik, yang tentu saja bukan sekadar menyalahkan pihak lain.
v  Proses Sosial Psikologis, berhubungan dengan proses:
Ƙ  Disonansi Kognitif
Teori disonansi kognitif menunjukkan bahwa jika individu dapat dibawa untuk membuat gerakan damai terhadap musuh, mereka akan cenderung untuk membenarkan tindakan mereka dan menghargai apa yang telah mereka lakukan. Tujuan yang hendak mereka capai, menjadi kurang atau tidak terlalu berharga.
Ƙ  Entrapment
Proses ini memberikan kesadaran pada tiap-tiap pihak, dan berujung pada peredaman konflik. Dimana, adanya paksaan untuk mengikuti konflik, paksaan ini akhirnya membuat individu sadar dan mempertimbangkan kembali konflik yang dilakukan.
Ƙ  Proses Kognitif dan Afektif
Orang-orang yang mewakili kelompok-kelompok konflik dalam hubungan permusuhan dapat dipilih dengan cara yang mengurangi kemungkinan bahwa mereka cenderung sangat dipengaruhi oleh proses emosional, yang melepaskan mereka untuk terlibat dalam konflik destruktif. Proses Kognitif dan Afektif  juga merupakan proses bersimpati dan berempati terhadap pihak lain.
v  Proses Organisasi
Ƙ  Proses ini mempertimbangkan cost yang dikeluarkan, apakah cost ini berbanding lurus dengan reward yang didapat. Sedikitnya reward yang didapat ini akan menjadikan anggota dalam kelompok memberontak, sehingga konflik selesai. Satu sisi, pemimpin cenderung menginginkan konflik tetap berjalan, tetapi anggota cenderung oposisi.

2.1.2        Proses Interaksi:
Interaksi dengan lawan juga memiliki kontribusi terhadap peredaman konflik. Meliputi timbal balik dalam interaksi, isu penahanan, dan yang menghubungka antar musuh.
-          Timbal Balik dalam Interaksi (Recprocity in Interaction)
Pada proses ini melihat ‘apakah yang dikonflikan begitu penting atau berharga?’. Fokus dari analisis ini adalah pada perjuangan yang saling meredam. Peredaman ini lebih kearah membangun pihak yang berkonflik, dari pada secara sepihak memaksakan peredaman. Tiga proses yang berhubungan dengan interaksi ini membantu mencegah konflik desktruktif meningkat dan pemaksaan sepihak. Antara lain:
-          Bereaksi ekuivalen
Masing-masing pihak bereaksi secara terukur dan setara dengan yang lain. Satu atau kedua belah pihak menghindari bertindak dengan cara-cara yang mereka pikir mungkin provokatif atau dapat mengundang sebuah langkah memperluas kekuasaan oleh pihak lain.
-          Learning Struggle and Adversary
Mempelajari konflik secara umum atau perjuangan tertentu mencakup berbagai fenomena. Di sini, mengacu pada lawan memahami lebih banyak tentang satu sama lain dan konflik yang mereka lakukan, saat mereka bertengkar dan berinteraksi dalam sengketa yang berulang. Menghindari tindakan provokasi konflik lebih tinggi.
-          Mengembangkan norma-norma bersama
Pihak lawan terkadang mengembangkan norma-norma bersama dalam memandu mereka di wilayah pertengkaran. Aturan mereka sendiri mungkin menjadi perdebatan untuk sementara waktu, tetapi setelah disepakati, mereka memberikan bimbingan untuk melancarkan konflik yang menghambat pihak lawan untuk meningkat sangat jauh.

v  Isu Penahanan
Pada proses ini, tujuan perlu berfokus pada goal yang hendak dituju, dan tidak meluas ke fokus lain.
v Developing Ties Between Adversaries
Pada proses ini, akan ada interaksi antara masing-masing pihak lawan. Interaksi ini nantinya akan membentuk ikatan, dan kelompok sendiri yang terdiri dari dua belah pihak yang berkonflik. Kelompok ini menjadi mediator antara kedua belah pihak tersebut.
2.1.3 Processes of Involvement with other Parties
Pada proses ini, menyebutkan bahwa masih adanya pihak diluar pihak yang berkonflik. Pihak lain ini bisa menunjukan jalan keluar maupun bisa memberi saran, atau bisa juga menjadi mediator diantara kedua belah pihak. Proses ini meyakini bahwa masih ada pihak yang lebih tinggi, atau diatas kedua belah pihak yang berkonflik.
2.2 Perubahan Kondisi
De-eskalasi sebagai penurunan konflik terjadi sebagai akibat dari berubahnya kondisi yang mendasari munculnya suatu konflik di tempat terjadinya konflik. Kondisi yang berubah dan berkelanjutan tersebut membantu memberikan kontribusi terhadap de-eskalasi konflik. Maka dari itu, de-eskalasi ini memakan waktu yang tidak sedikit karena juga menjalani sebuah transformasi.  Perubahan kondisi tersebut akan diketahui dengan melihat hubungan antara mereka dan pihak-pihak luar yang tidak terkait secara lngsung dengan konflik.

2.2.1 Perubahan Internal
Perubahan internal menjadi salah satu factor penting dalam proses de-eskalasi dari suatu konflik. Setiap kelompok berusaha untuk percaya pada tujuan yang akan dicapai dalam suatu konflik. Namun, de-eskalasi akan muncul ketika terdapat ketidakpuasan dari intenal kepada kelompok terhadap kebijakan yang ada. Sebagai contoh yaitu menurunnya atau memudarnya  ideologi komunis dan sistem Soviet diantara warga Negara Uni Soviet saat perang dingin dengan AS. Contoh lainnya yaitu kebijakan apartheid di Afrika Selatan.  Ketika itu terjadi ketidaksetaraan antara kulit putih dan kulit hitam namun dengan seiring berjalannya waktu ketergantungan antara kulit putih dan kulit hitam terus terjadi sehingga pemerintah akhirnya memutuskan untuk membuat peraturan yang menghapus ketidaksetaraan antara kulit putih dan kulit hitam. Selain itu perubahan internal dari pihak lawan juga dapat memicu terjadinya de-eskalasi konflik, Karena perubahan konstituen yang terjadi pada lawan memicu perubahan nilai dan tujuan pada kelompok tersebut

2.2.2 Perubahan Hubungan

Terjadinya perubahan hubungan yaitu ketika salah satu pihak tidak memiliki jalan keluar lain untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Hal tersebut akan menjadi awal dari negosiasi untuk penyelesaian konflik. Terdapat aspek alternative yang disepakati bersama antara kedua pihak yang berkonflik. Hal yang terpenting adalah setiap pihak saling berkomitmen untuk menerima legitimasi dan tidak mengancam satu sama lain, dengan keseimbangan kekuatan tersebut maka setiap pihak akan mendapatkan tujuan yang ingin dicapai.
Sebagai contoh di Afrika Selatan hubungan sosial dan ekonomi antara warga kulit hitam dan kulit putih telah mengalami perubahan pada taun 1980 saat terjadi Apharteid. Walaupun kebijakan Apharteid terus berjalan, integrasi dan kesalingtergantungan kedua kelompok tersebut semakin kuat Para warga kulith hitam telah bermigrasi ke pusat-pusat kota dan, terintegrasi di kawasan industri dan perumahan melanggar peraturan pemerintah terhadap apharteid. Kemudian pemerintah pun membuat kebijakan tentang kesetaraan kulit putih sehingga para penduduk kulit putih  menganggap Afrika Selatan sebagai tanah air dan warga kulit putih antusias menerima hal tersebut.

2.2.3 Perubahan Konteks
Keadaan konteks sosial mempunyai peran yang cukup besar dalam peredaman suatu konflik. Kondisi lingkungan dari pihak-pihak yang berkonflik membuat pihak yang berkonflik tersebut untuk menyelesaikan konfliknya atau minimal mengurangi konflik. Sebagai contohnya adalah ketika pertentangan Soviet dan Cina semakin memuncak dimana di tahun 1969 ada kemungkinan untuk terjadi pertumpah darahan. Maka kedua negara tersebut memutuskan untuk melunak kepada Amerika untuk membantu salah satu dari kedua negara tersebut. Pada saat itu Amerika sedang mempunyai urusan yang pelik dengan Vietnam. Saat itu presiden yang terpilih, Richard M. Nixon, melihat jika cara terbaik untuk keluar dari permasalah tersebut adalah dengan memberi dukungan kepada Soviet sehingga saat itu yang dipilih oleh Amerika adalah Soviet.

2.3 Kebijakan De-eskalasi
            Kebijakan sangat diperlukan untuk meredakan konflik ketika sudah mencapai titik tertentu. Namun, terdapat asumsi bahwa dengan menggunakan salah satu cara saja ternyata belum mampu menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi, maka dari itu terjadilah perubahan terhadap suatu kebijakan. Perubahan terhadap kebijakan inilah yang akan memicu terjadinya konflik. Dengan keadaan seperti itu, sangat dibutuhkan juga suatu kebijakan dalam menghadapinya.

2.3.1 Parameter Analitik
Terdapat empat tahap yang berbeda yang menjadi awwal penyebab meningkatnya sebuah konflik: 1.) Peningkatan awal dengan peningkatan yang sedikit, 2.) mulai meningkat dengan peningkatan yang cukup tajam, 3.0 keadaan dimana terdapat sebuah keadaan perlindungan dari kejadian yang sedang terjadi, 4.) pemaksaan atau pembebanan, keadaan pemaksaan tersebut bisa saja merupakan suatu percikan yang akan menimbulkan konflik.

Starting Levels
Tahapan pertama konflik terjadi pada level yang sederhana yang diakibatkan oleh adanya perlawanan dari pihak lawan yang ingin menentang demi mencapai tujuannya. Biasanya cara yang digunakan mulai dari melakukan tuntutan, memberikan tanggapan terhadap suatu peristiwa bahkan mungkin saja bisa mengancam untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkannya. Apabila terjadi perlawanan balik, maka hal ini tentunya akan dapat menyebabkan konflik
Selanjutnya konflik akan terjadi di sebuah tahap dimana seseorang mendominasi orang lain. Hal ini dapat menimbulkan konflik karena pada keadaan ini pihak yang didominasi tentunya merasa kebebasannya dirampas dan hak-hak lainnya juga dikuasai oleh pihak yang mendominasi. Selain itu pihak yang mendominasi biasanya cenderung lebih mengeksploitasi pihak yang didominasi karena power yang dimilikinya. Adanya ketidakadilan dari kondisi ini, maka akan mengakibatkan suatu pertentangan dari pihak yang didominasi yang berujung kepada terjadinya sebuah konflik.
Kebijakan de-escalation memiliki beberapa tujuan: mencegah terjadinya kerusakan, menghentikan kekerasan yang terjadi secara berkelanjutan, mengurangi perselisihan antar satu pihak dengan pihak yang lainnya, dan memberikan pemecahan masalah.
2.3.2 From Low Level of Escalation
Short Term:
1.      Partisans Policies: Salah satu cara dari partisans ini adalah mengurangi kekerasan. Kekerasan yang ada di tengah-tengah masyarakat biasanya akan menimbulkan konflik. Selain itu cara lain yang dapat digunakan adalah mengurangi desas-desus atau gosip yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Adanya desas-desus merupakan salah satu peluang untuk memunculkan konflik.
2.      Intermediaries policies: Dalam penyelesaian sebuah konflik pada kebijakan ini menggunakan mediasi sebagai fasilitator dalam menengahi konflik. Keberadaan dari mediator bisa berupa penengah, pengumpul informasi dari masing-masing pihak yang sedang bertikai, fasilitasi, konsultatif dalam meredakan sebuah konflik.
Long Term:
Dalam jangka panjang, pengelolaan konflik dapat dilakukan dengan cara mengurangi kesenjangan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Cara ini merupakan salah satu metode dalam penanganan konflik. Selain itu juga menciptakan identitas bersama yang tidak dikelompokkan berdasarkan aspek ekonomi, sosial dan budaya.

2.3.3 From Sharp Escalation
Short Term:
Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya peningkatan konflik adalah dengan mengikuti waktu. Maksudnya adalah adanya waktu masing-masing pihak untuk merenungkan perselisihan yang sedang terjadi.
Long term:
Cara untuk mendorong de-eskalasi dari eskalasi adalah dengan mengembangkan institusi  dan lembaga-lembaga prosedur yang dapat mengurangi peristiwa ini. hal ini bisa dilakukan dengan memperbaiki komunikasi antara kelompok yang berkonflik.. Strategi jangka panjang lainnya adalah untuk mengembangkan kelompok, jaringan atau organisasi termasuk orang-orang yang berasal dari pihak yang bertentangan. Dalam ini orang tersebut memiliki fungsi sebagai wakil atau penasehat utama kepada mereka. Agar mereka saling mengenal satu sama lain, dengan saling mengenal diasumsikan bahwa hal tersebut akan mengurangi konflik. Selain itu hal yang harus dicegah agar konflik tidak berlanjut adalah dengan mencegah tindakan – tindakan yang sifatnya provokatif.

2.3.4 From Protracted Struggle
Short Term:
1.      Partisan’s policy: Pada skala yang besar, konflik yang komunal sangat tergantung pada sentimen pangkat dan keanggotaan dari pihak yang bertentangan. Oposisi internal yang signifikan berfungsi untuk mengakhiri perselisihan yang panjang. Para pemimpin yang harus meyakinkan kembali kepada pengikut mereka sendiri bahwa langkah yang diambil akan menghasilkan apa yang mereka inginkan dan juga meyakinkan kembali lawan mereka tidak akan kehilangan apa yang mereka cari.
2.      Intermediary’s Policies: Ketika musuh dibekukan dalam ketidakpercayaan, mediator dan perantara lainnya sering memainkan peran penting dalam memfasilitasi negosiasi de-eskalasi secara langsung maupun tidak langsung.

Long Term:
Partisan’s Policies: Kebijakan de-eskalasi jangka panjang bertujuan untuk memperkuat identitas bersama. Di luar pelaku, hal ini juga dapat menumbuhkan de-Eskalasi dalam jangka panjang. Mereka berperan sebagai pihak yang berkepentingan, mencari sesuatu hal untuk bisa menghentikan apa yang mereka anggap sebagai kondisi yang mengerikan dan membawa hasil yang adil . Perantara juga sering mengejar strategi  de-eskalasi jangka panjang. Ini termasuk tindakan untuk mengembangkan pemahaman yang lebih baik dan untuk mendorong pengakuan  untuk kepentingan bersama. Hal ini termasuk mengadakan dialog kelompok, dan dialog untuk memecahkan masalah. Mereka juga mungkin memerlukan program bantuan berskala besar untuk membantu mengembangkan institusi yang kemudian institusi tersebut dapat mengelola konflik-konflik sosial atau untuk membantu mengurangi masalah-masalah ekonomi.
































BAB III
PEMBAHASAN

Konflik antara etnis Tionghoa dengan pribumi merupakan konflik yang telah terjadi lama karena telah ada sebelum Indonesia merdeka dan berpuncak pada Mei 1998. Oleh karena itu, konflik ini terjadi lintas generasi (protracted struggle). Basis yang menjadi konflik antara keduanya adalah ekonomi (kesejahteraan). Etnis Tionghoa mempunyai kepentingan di dunia ekonomi bisnis dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan logika perdagangan di mana hal ini mendatangkan kemakmuran dalam kehidupan mereka. Sementara itu orang-orang pribumi (golongan ekonomi lemah) menjadi cemburu karena posisi subordinat mereka dalam dimensi ekonomi dan hal ini membuat mereka jauh dari kesejahteraan. Dengan demikian akar dari konflik keduanya adalah kondisi kesejahteraan yang terbentuk melalui posisi keduanya dalam dimensi ekonomi.
            Yang menyebabkan etnis Tionghoa mempunyai konsentrasi besar dalam ranah perdagangan-bisnis adalah posisi struktural mereka di masyarakat. Sejak zaman kolonial hingga rezim Soeharto mereka hanya punya ruang gerak di sektor ekonomi. Mereka bahkan tidak diperkenankan memasuki area pertanian (berdasarkan Undang-Undang Agraria 1870) dan memasuki wilayah desa (PP No. 10 Tahun 1959). Kemudian karena orang-orang Tionghoa menduduki posisi yang lebih tinggi dalam area ekonomi yang membuat mereka memperoleh kesejahteraan, maka kecemburuan sosial terlihat di antara penduduk pribumi. Hal ini diperparah dengan eksistensi orang-orang Tionghoa yang dianggap tidak asli. Dengan demikian penduduk pribumi pun menganggap orang Tionghoa sebagai pihak luar yang mendominasi kesejahteraan di Indonesia dan membuat mayoritas pribumi kelas bawah tidak bisa mencicipi kesejahteraan. Berdasarkan hal tersebut,  pembatasan ruang gerak bagi kelompok Tionghoa di sektor ekonomi yang membuat mereka dapat merasakan kemakmuran ditambah dengan tekanan terhadap kebudayaan mereka yang dianggap tidak berasal dari dalam Indonesia mendorong kebencian terhadap mereka. Hal ini membuat tekanan tidak hanya datang karena ketimpangan ekonomi, tetapi juga dari aspek kultural.
            Puncak dari kebencian kelompok pribumi pecah dalam bentuk kerusuhan tahun 1998 yang meninggalkan efek traumatis di kalangan orang-orang Tionghoa. Pada kondisi ini etnis Tionghoa yang menerima serangan (violence attack) menjadi korban dan mengalami kerugian. Oleh karena itu, simpati pun muncul bagi mereka. Tekanan secara sosial dari kelompok pribumi pasca kerusuhan pun mereda karena ada intervensi dari pemerintah yang mulai mengakui kebudayaan etnis Tionghoa, seperti kebijakan Keppres No 6 / 2000, ditetapkannya hari raya imlek sebagai libur nasional, dan kebijakan yang mengizinkan penggunaan bahasa mandarin dan berbagai simbol kebudayaan etnis Tionghoa. Terkait hal ini tentu saja kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah merupakan suatu kebijakan jangka panjang untuk meredakan tensi konflik.  Menurut Kribergh alasan mengapa  kelompok Tionghoa  seperti itu dikarenakan mereka memiliki tujuan yang berbeda dengan kelompok pribumi adalah karena orang Tionghoa memiliki interest untuk mencapai kemajuan di bidang ekonomi karena memang di situ mereka ditempatkan sehingga mereka menguasai sektor ini. Sebaliknya masyarakat pribumi kelas bawah menginginkan kesejahteraan dan apa yang mereka inginkan digagalkan oleh kelompok Tionghoa

Kebijakan-kebijakan dibuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Tionghoa sebagai bentuk apresiasi terhadap mereka, namun di sini tidak terlihat adanya aspek mutual understanding (saling pengertian). Upaya understanding lebih diarahkan bagi penduduk pribumi agar dapat memahami dan selanjutnya mengakui eksistensi orang-orang Tionghoa yang ditekan begitu lama di dalam sejarah. Hal ini dapat terjadi karena kelompok Tionghoa paling banyak mendapatkan tekanan karena mereka memang ditekan dari dua arah. Pertama mereka dibatasi oleh pemerintah masa lalu sehingga ruang geraknya hanya sebatas pada ranah ekonomi perdagangan. Hal ini membuat mereka menjadi sangat makmur, tapi di satu sisi hal ini memunculkan ketimpangan yang melahirkan kecemburuan sosial. Tekanan dari pemerintah juga terdapat di ranah budaya karena kebudayaan Tionghoa pada masa orde baru dilarang. Kedua mereka mendapat tekanan dari sesama karena kecemburuan sosial akibat ketimpangan dari segi ekonomi ditambah anggapan bahwa mereka bukan bagian dari masyarakat (nonpribumi) karena aspek kultural. Dengan demikian apa yang dipaparkan Kriesberg tidak sepenuhnya sejalan dengan strategi de-eskalasi terkait konflik antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi.

            Hubungan antara kelompok Tionghoa dengan pribumi dapat dikatakan lebih baik pasca reformasi terlebih adanya pengakuan terhadap kebudayaan mereka yang sebelumnya dilarang karena tidak dianggap sebagai bagian dari kebudayaan pribumi. Sesungguhnya hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik saat itu. Semangat reformasi membawa kepada pengakuan akan keberagaman yang sebelumnya dilarang pada masa Orde Baru karena mada masa kejayaan Soeharto itu hubungan antar etnis yang dikenal hanya sebatas pribumi dan nonpribumi sehingga tidak ada etnis pribumi yang menonjol saat itu.
Konteks sosial-politik yang lebih terbuka bagi keragaman membuat proses de-eskalasi konflik antara etnis Tionghoa dengan pribumi menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan semua pihak (termasuk etnis Tionghoa) mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat. Konteks ini pun mendukung strategi dan kebijakan yang bersifat mendorong de-eskalasi konflik dengan adanya pengakuan bagi etnis Tionghoa. Bahkan etnis Tionghoa pun dapat merambah ke arena politik karena dari 100 partai politik terdapat tiga yang didominasi oleh kelompok Tionghoa dan hal ini sangat kontras dengan masa Orde Baru di mana ruang gerak mereka hanya terkurung di sektor ekonomi, sebab mereka tidak diperkenankan merambah ke wilayah politik.
Walaupun telah mendapatkan pengakuan, namun sentimen anti Tionghoa atau kebencian terhadap mereka masih nampak. Frase “Waspada Cina” atau dikotomi pribumi dan nonpribumi yang masih sering dikumandangkan adalah secuil bukti adanya gesekan dalam hubungan sosial. Hal ini mungkin tidak separah apa yang terjadi sebelumnya karena iklim sosio-kultural masa kini (sesuai semangat reformasi) lebih membuka kesempatan pada etnis Tionghoa untuk tampil dengan berbagai pernak-pernik kebudayaannya dan keberadaan mereka pun lebih dihargai. Akan tetapi, bukan berarti konflik tidak akan mengerucut dan terciptanya kerusuhan seperti tahun 1998. Hal ini sendiri ditegaskan oleh Kriesberg (1998) bahwa the changing conditions create opportunities, but no guarantees, for successful de-escalating efforts. Sisa-sisa kebencian yang masih nampak merupakan wujud dari masa transisi dalam hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi.







                                                            



























BAB IV
KESIMPULAN

Konflik tidak bisa diberhentkan melainkan konflik bisa merendam kembali apabila permasalahan dapat di netrlisir agar tidak mengalami permasalahan yang berkelanjutan. Fokus mengenai kasus tersebut, hubungan antara etnis Tionghoa dengan pribumi yang tidak mulus telah ada sejak zaman penjajahan dan hal ini terus dianggap permasalahan yang familiar di karalangan masyarakat khususnya Indonesia. Oleh karena itu konflik merupakan permasalahan yang bisa dibilang akan terjadi terus meneurs pada ranah kehidupan. Basis permasalahan megenai konflik dari keduanya adalah berawal dari masalah ketimpangan kesejahteraan akibat posisi dalam sektor ekonomi. Hal ini semakin memuncak ketika tidak adanya pengakuan secara kultural sehingga ada tekanan bagi orang-orang Tionghoa untuk melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi sekaligus menegaskan benang perbedaan mereka dengan penduduk pribumi. Kondisi ini menyebabkan mereka dianggap sebagai pihak luar yang mendominasi kesejahteraan.
             Dengan demikian, upaya yang dilakukan pemerintah untuk meredakan konflik adalah dengan menghasilkan beberapa kebijakan yang mendukung eksistensi etnis Tionghoa beserta dengan atribut budayanya yang sempat dilarang. Hal ini merupakan strategi agar etnis Tionghoa dianggap sama layaknya kelompok etnis lain yang dapat mengekspresikan kebudayaannya terlebih ini merupakan bagian dari semangat reformasi. Semangat reformasi menekankan adanya demokrasi dan kebebasan dari setiap pihak untuk mengekspresikan keberadaannya dalam lingkungan sosial politik tanpa ada tekanan. Oleh karena itu, era reformasi bersifat mendukung kebijakan yang diterapkan untuk menginklusikan etnis Tionghoa ke dalam masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang utuh.

Daftar Pustaka:
Kriesberg, L. (1998). Constructive Conflict : From escalation to resolution. New Jersey : Prentice-Hall
Kusno, Abidin. (2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Wirutomo, Paulus. (2012). Sistem Sosial Indonesia. Ed. ke-2. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
 Coppel, Charles A. 2003. “Kendala-kendala Sejarah dalam Penerimaan Etnis Cina di Indonesia yang Multikultural”, Antropologi Indonesia.
Suryadinata, Leo. 2003.  “Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme?”, Antropologi Indonesia,

Komentar

Postingan Populer