“Multikulturalisme di Indonesia”



PENDAHULUAN
Kebudayaan dibentuk tidak hanya berdasarkan persamaan tapi juga dari perbedaan sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Keragaman budaya sangat penting untuk dikembangkan dan perlu pula dihormati, dilestarikan sebagai kekayaan karena setiap kebudayaan tidak tunggal dan terbentuk dalam interaksinya dengan budaya lain. hal ini yang menimbulkan konsekuensi bahwa hegemonisasi kebudayaan dan pemaksaan identitas perlu ditolak. Suatu kenyataan yang sulit diingkari bahwa bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, ras, suku, dan lain sebagainya sehingga bangsa  Indonesia secara sederhana disebut sebagai masyarakat multikultural. Keragaman budaya menjadi modal sekaligus potensi terjadinya konflik Di dalam sebuah kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari adanya sebuah konflik. Konflik bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Beragam macam konflik sering kerap sekali muncul yang mana biasanya didasari oleh adanya perbedaan nilai –nilai kepentingan. Konflik tidak hanya terdiri dari dua pihak atau lebih, namun konflik bisa saja terjadi dalam bentuk suatu komunitas. Suatu masyarakat ialah sekelompok manusia yang hidup bersamaan dan berinteraksi satu sama lain. Namun, kebersamaan yang mereka miliki tentunya tidak terlepas dari adanya perselisihan, dimana pada akhirnya menimbulkan konflik. Konflik disini dapat bersumber dari masalah yang berskala kecil, ataupun besar. Hal tersebut juga berpengaruh pada dampak kehidupan, salah satunya pada hak setiap orang atas rasa aman dan tenteram. Namun, pada akhirnya, dimana ada perselisihan tentunya ada upaya dari beberapa pihak untuk mencegah dan menyelesaikan konflik tersebut. Selain itu, Konflik mengacu pada perbedaan tujuan yang berbeda dalam memperjuangkan kepentingan yang lebih mengedepankan emosi dari pada akal, yang mengekspresikan dengan kekerasan baik verbal atau non verbal. Bukan hanya itu, konflik biasanya didasarkan pada sebuah perbedaan tujuan, sasaran, atau harapan diantara para individu atau kelompok mengalami ketidaksepakatan dalam hal berpendapat


ISI
Multikulturalisme di Indonesia
Indonesia dengan keberagamannya dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Bangsa Indonesia secara historis memiliki nenek moyang sama (monokultural), yaitu bangsa Melayu Austronesia. Kemudian datangnya ras luar, agama-agama luar, kolonialisme dan globalisme akhirnya menjadi masyarakat multikultur. Multikulturalisme Indonesia ditandai dengan hasil budaya dengan ciri khas budayanya masing-masing sangat mudah dibedakan. Multikulturalisme dapat dimaknai sebagai “pandangan dunia atau world view of politics recognition”, terhadap ideologi, realitas pluralis, dan kebhinekaan dalam kehidupan masyarakat.[1] Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan tentang ragam kehidupan di dunia, atau kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan tentang adanya keragaman, kebhinekaan, pluralitas, sebagai realitas utama dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial- budaya, dan politik yang mereka anut.[2]
Munculnya identitas Indonesia disebabkan oleh faktor geografis, sistem budaya lokal yang berkembang, agama-agama besar, pengaruh kolonial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi. Paham terhadap perbedaan dengan sadar untuk memberikan kesetaraan pada golongan minoritas merupakan dasar multikultuuralisme.[3] Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.[4] Keragaman budaya pada dasarnya adalah memperkaya khasanah bangsa dan menjadi modal berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun, dalam kenyataannya kondisi aneka budaya sangat berpotensi memecah-belah dan menjadi potensi bagi terjadinya konflik dan kecemburuan sosial (konflik yang mengatasnamakan agama, antar suku, antar golongan, antar etnis, radikalisme, antar ras), semakin mekarnya gejala primordialisme, sektarianisme, separatisme, gerakan radikal islam atau isis  yang menggugat pancasila yang berujung pada menipisnya semangat nasionalisme kebangsaan. Hal ini menimbulkan berbagai persoalan dan potensi konflik yang kemudian berujung pada perpecahan. Terjadi konflik dalam isu SARA hal ini diindikasi dari mulai tumbuhnya berbagai organisasi kemasyarakatan, profesi, agama, dan organisasi atau golongan yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompok yang mengarah pada konflik SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Contohnya, sentimen ras yang ada di dalam masyarakat menjadikan kalangan Tionghoa sebagai sasaran tembak dari masyarakat yang tidak puas dan sekaligus sasaran pengalih yang cukup efektif untuk mengaburkan kekeliruan yang dibuat oleh pejabat-pejabat negara di tengah krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak tengah tahun 1997. Tekanan secara sosial dari kelompok pribumi pasca kerusuhan pun mereda karena ada intervensi dari pemerintah yang mulai mengakui kebudayaan etnis Tionghoa, seperti kebijakan Keppres No 6 / 2000, ditetapkannya hari raya imlek sebagai libur nasional, dan kebijakan yang mengizinkan penggunaan bahasa mandarin dan berbagai simbol kebudayaan etnis Tionghoa. Terkait hal ini tentu saja kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah merupakan suatu kebijakan jangka panjang untuk meredakan tensi konflik.
Hal ini menjadi penting untuk mengembangkan pendidikan multikultural, yakni sebuah proses pendidikan yang memberi peluang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama, yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak sama bagi etnik minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia internasional. Pengembangan multikulturalisme mutlak harus dibentuk dan ditanamkan dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk. Jika hal tersebut tidak ditanamkan dalam suatu masyarakat yang majemuk, agar kemajemukan tidak membawa pada perpecahan dan konflik. Indonesia sebagai bangsa yang multikultural harus mengembangkan wawasan multikultural tersebut dalam semua tatanan kehidupan yang bernafaskan nilainilaikebhinekaan. Membangun masyarakat multikultur Indonesia harus diawali dengan keyakinan bahwa dengan bersatu kita memiliki kekuatan yang lebih besar.


PENUTUP
Karakteristik masyarakat multikultural di Indonesia belum bisa dikatakan sebagai masyarakat multikultural yang sempurna. Karena masih ditemukanya dominasi suatu kelompok atas kelompok lainnya, sehingga struktur sosial yang ada lebih banyak menguntungkan pihak yang mendominasi, dan konflik sosial yang muncul masih sering berlanjut dengan kekerasan.
Sebagai bangsa yang pluralistik, dalam membangun masa depan bangsa dipandang perlu untuk memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama yang ada di Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan masyarakat. Berbagai kebudayaan itu jalan beriringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan konteks itu pula maka ribuan suku bangsa sebagai masyarakat multikultural yang terdapat di Indonesia serta potensi-potensi budaya yang dimilikinya harus dilihat sebagai aset negara yang dapat didayagunakan bagi pembangunan bangsa ke depan. Intinya adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi berkembangnya masyarakat multikultural yang masing-masing harus diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan mereka


[1] Hendar Putranto, “Wacana Multikulturalisme dilihat dari Perspektif Historis-Politis”, dalam Andre Ata Ujan, et al. Multikulturalisme: Belajar Hidup dalam Perdebatan. Jakarta: Indeks, 2011, h.159.  
[2] Azyumardi Azra, Merawat Kemajuan Merawat Indonesia: Seri Orasi Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 2007, h.10.
[3] Hendar Putranto, “Wacana Multikulturalisme dilihat dari Perspektif Historis-Politis”, dalam Andre Ata Ujan, et al. Multikulturalisme: Belajar Hidup dalam Perdebatan. Jakarta: Indeks, 2011, h.37  
[4] Parsudi Suparlan. Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.

Komentar

Postingan Populer