REFORMASI 1998 SEBAGAI BENTUK PERUBAHAN SOSIAL DAN PENANGANAN KONFLIK TERHADAP ETNIS TIONGHOA


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Suatu masyarakat ialah sekelompok manusia yang hidup bersamaan dan berinteraksi satu sama lain. Namun, kebersamaan yang mereka miliki tentunya tidak terlepas dari adanya perubahan sosial yang dan pada akhirnya menimbulkan dampak positif dan negatif. Perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat dan meliputi perubahan dalam aspek kehidupan yang ada. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Selo Soemardjan (2002) perubahan sosial adalah “segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan perilaku diantara kelompok dalam masyarakat”. Dalam kaitannya dengan Indonesia, dapat dilihat bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, budaya, etnis, agama, dan golongan yang berbeda. Namun, di satu sisi dari keberagaman tersebut yang sebenarnya menyimpan suatu potensi konflik. Potensi konflik tersebut dapat mengganggu integrasi bangsa Indonesia yang tidak lepas dari kompleksitas yang ada di negara ini sendiri. Melihat pada kondisi seperti ini, maka tidak mengherankan bahwa dalam perjalanan sejarahnya bangsa ini mempunyai warna gelap yang ditimbulkan oleh berbagai konflik yang ada di dalamnya.
Salah satu konflik yang paling menonjol dalam masyarakat Indonesia adalah konflik etnis. Hal ini pun ditegaskan oleh Huntington (1997) yang memberi penegasan bahwa adanya kompleksitas sosial dan budaya (different cultural entities) dapat membawa suasana konflik antar kelompok etnis. Dalam makalah kali ini akan dibahas mengenai perubahan sosial yang terjadi yaitu jenis perubahan dalam jangka waktu cepat (revolusi) yang kemudian memicu konflik khususnya pada etnis Tionghoa pada tahun 1998.

Rumusan Masalah
Bagaimana perubahan sosial tahun 1998 mempengaruhi konflik terhadap etnis Tionghoa di masyarakat Indonesia saat ini?


BAB II
PEMBAHASAN

 Perubahan Sosial
            Perubahan sosial yang ada tidak terlepas dari konsep mengenai ruang lingkup dan jangka waktu terjadinya. Wilbert Moore dalam Laurer mendefinisikan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur sosial atau bentuk-bentuk interaksi sosial dalam masyarakat. Selo Soemarjan (1964:487) mengatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi lebih dahulu dalam suatu lembaga masyarakat, yang kemudian mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat itu. Dalam hal ini berpengaruh dalam nilai-nilai, perilaku dan tindakan serta dalam sistem kemasyarakatan dan juga aspek-aspek lain yang ada dalam masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan (1986:303) perubahan sosial bisa disebabkan dari berbagai sumber seperti pertambahan penduduk yang akan menimbulkan perubahan ekologi dan dapat menyebabkan perubahan tata hubungan antar kelompok-kelompok sosial. Sehingga Lauer (1993:5) mengatakan bahwa perubahan sosial bisa disebut sebagai suatu konsep yang serba menyeluruh dan difokuskan kepada perubahan fenomena sosial di berbagai kehidupan manusia dari tingkat individual hingga tingkat dunia. Sedangkan menurut Parson (1994) sumber perubahan sosial didasarkan pada dua sumber yaitu exogenous (luar) dan endogenous (dalam). Perubahan dari dalam terjadi karena adanya perubahan demokrasi serta adanya perubahan struktur, sikap, nilai, dan budaya sosial. Sumber perubahan dari luar menyangkut kemajuan teknologi yang lahir di era modern.
Menurut Eisenstadt (1986) dalam proses perubahan ada perubahan jangka waktu atau kurun waktu tertentu, dan dua istilah yang berkaitan dengan jangka waktu perubahan sosial yang ada di masyarakat, yaitu ada evolusi dan revolusi. Adanya evolusi atau perubahan dalam jangka waktu yang relative lama, itu akan tetap mendorong masyarakat ataupun sistem-sistem sosial yang ada atau unit-unit apapun untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pemikiran ini dipengaruhi oleh pemikiran oleh Charles Darwin. Masyarakat yang berkembang dengan paradigma ini akan melalui seleksi alam. Herbert Spencer, August Comte dan Durkheim juga memiliki pandangan yang sama terkait dengan perkembangan berbentuk garis lurus. Sedangkan perubahan dalam kurun waktu yang relative cepat (revolusi) yang disebabkan oleh berbagai aksi sejumlah kekuatan-kekuatan sosial seperti demografi, ekologis dan kelembagaan yang kemudian dari satu bagian sistem dapat mempengaruhi seluruh bagian lainnya. Adanya perubahan yang terlalu cepat memberikan implikasi terhadap masyarakat sebagai penerima perubahan, bagi masyarakat yang tergolong belum cukup siap dengan itu semua, maka akan terjadi semacam konflik dengan kelompok-kelompok pengubah. Revolusi dapat dibahas dalam dua perspektif yaitu filsafat sejarah dan sosiologi. Berdasarkan filsafat sejarah berarti mempunyai bentuk terobosan yang radikal terhadap kesinambungan jalannya sejarah. Sedangkan perspektif sosiologi memandang revolusi sebagai bentuk penggunaan kekuatan massa terhadap penguasa untuk melakukan perubahan mendasar dan terus-menerus.

Perubahan sosial yang berdampak negatif
Coser dalam Setiadi (2011:345) mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya. Lawang (1994:53) berpendapat konflik juga diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.

Dahrendorf (dalam Ritzer, 2005:157) mengatakan bahwa masyarakat berada dalam keadaan yang berubah secara seimbang. Ia menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial dan konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan. Kalau konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif. Teori konflik Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran Lewis Coser yang memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo. Tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian realitas sosial, konflik juga menyebabkan perubahan dan perkembangan. Singkatnya, Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.
Soerjono Soekanto (1992:86) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras
3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.

Konflik Etnis Tionghoa di Indonesia
Konflik yang terjadi pada individu atau kelompok tersebut jika tidak dikelola dan dibiarkan  begitu saja akan semakin meningkat permasalahannya dan sulit untuk diselesaikan. Individu maupun kelompok merasa konflik harus segera diakhiri agar tidak terjadi pertikaian ataupun kerugian lain bagi pihak tertentu. Konflik dapat meningkat jika individu dan pihak lainnya tidak dapat menyelesaikan masalahnya baik melalui mediasi ataupun tidak. Selain itu, meningkatnya intensitas suatu konflik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor proses sosial-psikologi seseorang dan juga perkembangan suatu organisasi yang ada di masyarakat. Peningkatan konflik yang terjadi biasanya memicu lingkungan social yang ada disekitarnya tersebut menjadi turut serta dalam permasalahan konflik ini. Namun, meningkatnya suatu konflik tidak hanya dikonotasikan ssebagai suatu hal negatif, akan tetapi ada pula hal-hal positif yang dapat digunakan oleh pihak yang terlibat dalam suatu konflik, seperti koalisi ataupun aliansi.
Menurut Wirutomo (2012)  Indonesia memang memiliki cerita sendiri mengenai sebuah konflik itu terjadi. Isi dari pada tulisa itu diantaranya adalah:
ciri sekaligus masalah sosiologis masyarakat Indonesia yang paling utama adalah masyarakat yang secara formal berada dalam suatu negara kesatuan, namun memiliki stratifikasi, diferensiasi, heterogenitas serta pluralitas (kemajemukan) yang tinggi. Dengan kata lain, Indonesia merupakan negara kesatuan dengan kompleksitas sosial budaya yang tingggi, sehingga cenderung memiliki berbagai kerawanan dalam proses integrasinya.
Oleh karena itu,  potensi konflik yang mengganggu integrasi bangsa Indonesia tidak lepas dari kompleksitas yang terkandung di negara bangsa ini sendiri. Mengacu pada kondisi seperti ini, maka tidak mengherankan bahwa dalam perjalanan sejarahnya bangsa ini mempunyai warna gelap yang ditimbulkan oleh berbagai konflik. Etnis Cina atau Tionghoa menjadi suku pendatang di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda. Namun setelah beratus-ratus tahun dan turun-temurun, etnis ini menjadi salah satu etnis yang cukup besar di Indonesia. Sayangnya besarnya etnis Tionghoa tidak diimbangi dengan keharmonisan dengan suku-suku asli Indonesia yang biasa disebut pribumi. Dalam jurnalnya, Erika Revida menyantumkan pernyataan dari Tungadi (1980), “faktor-faktor penghambat integrasi antara orang Cina (Tionghoa) dan pribumi adalah adanya perbedaan orientasi, adat istiadat, bahasa, agama, struktur ekonomi, serta partisipasi dalam bidang politik” (Revida, 2006:23).
Etnis Cina semakin berkembang banyak dan besar hingga memiliki peran yang sangat besar terhadap kehidupan di Indonesia, terutama di bidang ekonomi. Yang menyebabkan etnis Tionghoa mempunyai konsentrasi besar dalam ranah perdagangan-bisnis adalah posisi struktural mereka di masyarakat. Sejak zaman kolonial hingga rezim Soeharto mereka hanya punya ruang gerak di sektor ekonomi. Mereka bahkan tidak diperkenankan memasuki area pertanian (berdasarkan Undang-Undang Agraria 1870) dan memasuki wilayah desa (PP No. 10 Tahun 1959). Orang-orang Tionghoa mempunyai kepentingan dan berusaha untuk mendapatkan logika perdagangan dimana hal ini mendatangkan kesejahteraan maka kemudian muncullah kecemburuan sosial diantara penduduk pribumi. Hal ini diperparah dengan eksistensi orang-orang Tionghoa yang dianggap tidak asli. Dengan demikian penduduk pribumi pun menganggap orang Tionghoa sebagai pihak luar yang mendominasi kesejahteraan di Indonesia dan membuat mayoritas pribumi kelas bawah tidak bisa mencicipi kesejahteraan. Berdasarkan hal tersebut,  pembatasan ruang gerak bagi kelompok Tionghoa di sektor ekonomi yang membuat mereka dapat merasakan kemakmuran ditambah dengan tekanan terhadap kebudayaan mereka yang dianggap tidak berasal dari dalam Indonesia mendorong kebencian terhadap mereka. Hal ini membuat tekanan tidak hanya datang karena ketimpangan ekonomi, tetapi juga dari aspek kultural.
            Puncak dari kebencian kelompok pribumi pecah dalam bentuk kerusuhan tahun 1998 yang meninggalkan efek traumatis di kalangan orang-orang Tionghoa. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia yang dipicu oleh tragedi Trisakti dimana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.  Pada kondisi ini etnis Tionghoa yang menerima serangan (violence attack) menjadi korban dan mengalami kerugian. Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan 13-15 Mei 1998 (Dalam Catatan Komnas Perempuan), fakta menunjukkan setidaknya ada 85 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, mayoritas adalah dari etnis Tionghoa; 52 perkosaan gang rape, 14 perkosaan dengan penganiayaan, 10 penganiayaan serta 9 pelecehan seksual. Etnis Tionghoa menjadi target di dalam kerusuhan ini; hal ini juga terlihat dari fakta bahwa sejumlah besar korban perkosaan adalah perempuan etnis Tionghoa. Kelompok etnis ini memang sering menjadi kambing hitam dalam situasi krisis ekonomi di Indonesia.
Kelompok etnis Tionghoa sebelum tahun 1998 secara khusus mengalami diskriminasi yang dikukuhkan lewat kebijakan negara, antara lain sebagai satu-satunya kelompok etnis yang diwajibkan memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan untuk dapat menikmati layanan publik dan tidak diperbolehkan menggunakan simbol-simbol etniknya di dalam masyarakat, seperti bahasa dan agama/keyakinan. Sentimen ras yang ada di dalam masyarakat menjadikan kalangan Tionghoa sebagai sasaran tembak dari masyarakat yang tidak puas dan sekaligus sasaran pengalih yang cukup efektif untuk mengaburkan kekeliruan yang dibuat oleh pejabat-pejabat negara di tengah krisis ekonomi yang menghantam Indonesia sejak tengah tahun 1997. Tekanan secara sosial dari kelompok pribumi pasca kerusuhan pun mereda karena ada intervensi dari pemerintah yang mulai mengakui kebudayaan etnis Tionghoa, seperti kebijakan Keppres No 6 / 2000, ditetapkannya hari raya imlek sebagai libur nasional, dan kebijakan yang mengizinkan penggunaan bahasa mandarin dan berbagai simbol kebudayaan etnis Tionghoa. Terkait hal ini tentu saja kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah merupakan suatu kebijakan jangka panjang untuk meredakan tensi konflik.
Menurut Kribergh alasan mengapa  kelompok Tionghoa  seperti itu dikarenakan mereka memiliki tujuan yang berbeda dengan kelompok pribumi adalah karena orang Tionghoa memiliki interest untuk mencapai kemajuan di bidang ekonomi karena memang di situ mereka ditempatkan sehingga mereka menguasai sektor ini. Sebaliknya masyarakat pribumi kelas bawah menginginkan kesejahteraan dan apa yang mereka inginkan digagalkan oleh kelompok Tionghoa
Kebijakan-kebijakan dibuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Tionghoa sebagai bentuk apresiasi terhadap mereka, namun di sini tidak terlihat adanya aspek mutual understanding (saling pengertian). Upaya understanding lebih diarahkan bagi penduduk pribumi agar dapat memahami dan selanjutnya mengakui eksistensi orang-orang Tionghoa yang ditekan begitu lama di dalam sejarah. Hal ini dapat terjadi karena kelompok Tionghoa paling banyak mendapatkan tekanan karena mereka memang ditekan dari dua arah. Pertama mereka dibatasi oleh pemerintah masa lalu sehingga ruang geraknya hanya sebatas pada ranah ekonomi perdagangan. Hal ini membuat mereka menjadi sangat makmur, tapi di satu sisi hal ini memunculkan ketimpangan yang melahirkan kecemburuan sosial. Tekanan dari pemerintah juga terdapat di ranah budaya karena kebudayaan Tionghoa pada masa orde baru dilarang. Kedua mereka mendapat tekanan dari sesama karena kecemburuan sosial akibat ketimpangan dari segi ekonomi ditambah anggapan bahwa mereka bukan bagian dari masyarakat (nonpribumi) karena aspek kultural.
            Hubungan antara kelompok Tionghoa dengan pribumi dapat dikatakan lebih baik pasca reformasi terlebih adanya pengakuan terhadap kebudayaan mereka yang sebelumnya dilarang karena tidak dianggap sebagai bagian dari kebudayaan pribumi. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik saat itu. Semangat reformasi membawa kepada pengakuan akan keberagaman yang sebelumnya dilarang pada masa Orde Baru karena pada masa kejayaan Soeharto itu hubungan antar etnis yang dikenal hanya sebatas pribumi dan nonpribumi sehingga tidak ada etnis pribumi yang menonjol saat itu.
Konteks sosial-politik yang lebih terbuka bagi keragaman membuat proses de-eskalasi konflik antara etnis Tionghoa dengan pribumi menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan semua pihak (termasuk etnis Tionghoa) mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya dalam masyarakat. Konteks ini pun mendukung strategi dan kebijakan yang bersifat mendorong de-eskalasi konflik dengan adanya pengakuan bagi etnis Tionghoa. Bahkan etnis Tionghoa pun dapat merambah ke arena politik karena dari 100 partai politik terdapat tiga yang didominasi oleh kelompok Tionghoa dan hal ini sangat kontras dengan masa Orde Baru di mana ruang gerak mereka hanya terkurung di sektor ekonomi, sebab mereka tidak diperkenankan merambah ke wilayah politik (Jurnal Antropologi 2003:2). Walaupun telah mendapatkan pengakuan, namun sentimen anti Tionghoa atau kebencian terhadap mereka masih nampak. Frase “Waspada Cina” atau dikotomi pribumi dan nonpribumi yang masih sering dikumandangkan adalah secuil bukti adanya gesekan dalam hubungan sosial. Hal ini mungkin tidak separah apa yang terjadi sebelumnya karena iklim sosio-kultural masa kini (sesuai semangat reformasi) lebih membuka kesempatan pada etnis Tionghoa untuk tampil dengan berbagai pernak-pernik kebudayaannya dan keberadaan mereka pun lebih dihargai. Akan tetapi, bukan berarti konflik tidak akan mengerucut dan terciptanya kerusuhan seperti tahun 1998. Hal ini sendiri ditegaskan oleh Kriesberg (1998) bahwa the changing conditions create opportunities, but no guarantees, for successful de-escalating efforts. Sisa-sisa kebencian yang masih nampak merupakan wujud dari masa transisi dalam hubungan antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi.


BAB III
PENUTUP

Perubahan sosial yang ada di Indonesia tahun 1998 dan merupakan bagian dari perubahan dalam jangka waktu yang cepat yang menimbulkan dampak positif dan negatif. Perubahan ini merupakan bagian dari pergerakan sosial yang dipelopori oleh mahasiswa yang bertransformasi menjadi Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). Hal ini memuncak dengan terjadinya demonstrasi, penjarahan besar-besaran dan kriminalitas menyebar di Ibukota. Hal ini menimbulkan dampak kepada kaum minoritas yaitu etnis Tionghoa yang menjadi korban dalam kejadian tersebut. Konflik antara etnis Tionghoa dengan pribumi merupakan konflik yang telah terjadi lama karena telah ada sebelum Indonesia merdeka dan berpuncak pada Mei 1998. Oleh karena itu, konflik ini terjadi lintas generasi (protracted struggle). Basis yang menjadi konflik antara keduanya adalah ekonomi (kesejahteraan). Konflik ini tidak bisa diberhentikan melainkan konflik bisa merendam kembali apabila permasalahan dapat di netralisir agar tidak mengalami permasalahan yang berkelanjutan. Fokus mengenai kasus tersebut, hubungan antara etnis Tionghoa dengan pribumi yang tidak mulus telah ada sejak zaman penjajahan dan hal ini terus dianggap permasalahan yang familiar di karalangan masyarakat khususnya Indonesia. Basis permasalahan mengenai konflik dari keduanya adalah berawal dari masalah ketimpangan kesejahteraan akibat posisi dalam sektor ekonomi. Hal ini semakin memuncak ketika tidak adanya pengakuan secara kultural sehingga ada tekanan bagi orang-orang Tionghoa untuk melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi sekaligus menegaskan benang perbedaan mereka dengan penduduk pribumi. Kondisi ini menyebabkan mereka dianggap sebagai pihak luar yang mendominasi kesejahteraan.
             Dengan demikian, upaya yang dilakukan pemerintah untuk meredakan konflik adalah dengan menghasilkan beberapa kebijakan yang mendukung eksistensi etnis Tionghoa beserta dengan atribut budayanya yang sempat dilarang. Hal ini merupakan strategi agar etnis Tionghoa dianggap sama layaknya kelompok etnis lain yang dapat mengekspresikan kebudayaannya terlebih ini merupakan bagian dari semangat reformasi. Semangat reformasi menekankan adanya demokrasi dan kebebasan dari setiap pihak untuk mengekspresikan keberadaannya dalam lingkungan sosial politik tanpa ada tekanan. Oleh karena itu, era reformasi bersifat mendukung kebijakan yang diterapkan untuk menginklusikan etnis Tionghoa ke dalam masyarakat sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang utuh.




Daftar Pustaka
Coppel, Charles A. (2003). “Kendala-kendala Sejarah dalam Penerimaan Etnis Cina di Indonesia yang Multikultural”, Jurnal Antropologi Indonesia. (http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3464)
Craib, Ian. (1992). Teori-teori Sosial Modern, Jakarta: CV. Rajawali
Eisenstdat S. N (1987). Revolusi dan Transformasi Masyarakat. Jakarta: CV Rajawali
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. (2004). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
Ian Craib.(1995) Teori-teori Sosial Modern, Jakarta: CV. Rajawali
Kriesberg, L. (1998). Constructive Conflict : From escalation to resolution. New Jersey : Prentice-Hall
Kusno, Abidin. (2009). Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif. Yogyakarta : Penerbit Ombak
Lauer, H. Robert,(2001). Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Lawang, Robert. (1994) Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi, Jakarta:Universitas Terbuka
Parson, Talcott. (1994). A Functional Theory of Change, dalam Eva Etzioni-Havely dan Amitai Etzioni, Social Change: Sources, Patterns and Consequences. New York: Basic Book
Revida, E. (2006). Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Cina dengan Pribumi di Kota Medan Sumatera Utara. Jurnal Harmoni Sosial
Robert H Lauer. (1993). Perspektif tentang perubahan sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Selo Soemardjan dan Soleman Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakata: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Selo Soemarjan. (1986) . Perubahan sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soerjono Soekanto. (1992). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Suryadinata, Leo. (2003).  “Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme?”, Jurnal Antropologi Indonesia, (http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3464)
Sztompka, Piotr.(1993). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Wirutomo, Paulus. (2012). Sistem Sosial Indonesia. Ed. ke-2. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia

Komentar

Postingan Populer